Wednesday, December 24, 2003 

KISAH DUA KOTA ATAU SERIBU KOTA ?
(Judul pertama pinjam dari Charles Dickens dan yang kedua dari Didi Kempot)
TENTANG SUPORTER INDONESIA



Anda kenal Dimas Aditya Firmansyah ?
Anda sebagai suporter sepakbola Indonesia, sebaiknya mencatat nama dan peristiwa yang menimpa dirinya. Itu saja dulu. Cerita ini pun masih berkait dengan cerita lalu saya mengenai dunia kereta api dan dunia suporter sepakbola Indonesia.

Kaitan ini makin mencuat ketika sobat saya Agus Gigi Yulianto di postingnya di milis ASSI, saat menanggapi posting saya tanggal 17/12/2003 (KRL Hantu Bogor-Jakarta). Dirinya mengajukan pertanyaan kritis yang bagus. Ia menanyakan apa benang merahnya antara interaksi suporter, dunia kereta api dan bonek yang menjadi inti ceritaku berjudul KRL Hantu Bogor-Jakarta yang lalu itu ?

Makasih Gigi, untuk atensi dan pertanyaan kritismu yang mencerahkan ini. Pertanyaan kritis Gigi itu diposkan tanggal 19/12/2003. Esoknya (20/12) di Perpustakaan Wonogiri, ketika saya membuka-buka Harian Solopos (19/12/2003), yang mengutip sumbernya dari Kantor Berita Antara, rupanya saya telah mendapatkan bahan jawaban. Koran lokal Solo itu selain membahas acara pertemuan SIWO PWI Jawa Timur, Pemda dan Persebaya dalam membahas suporter Persebaya, juga memberikan benang merah, bahkan darah merah, atas pertanyaan Gigi di atas.

Eureka !

Mungkinkah ini mukjijat ? Ketika dunia langsung menyediakan jawab. Jawaban untuk Gigi. Mungkin juga untuk Anda, milister ASSI lainnya. Yang pasti Gigi, benang merah yang masih samar-samar dalam ceritaku yang kau tanyakan itu rupanya harus diperjelas dengan cerita sedih, cerita tragis dan sekaligus kronis menyangkut perangai suporter sepak bola Indonesia.

Dimas Aditya Firmansyah tewas di Cirebon, 13 Desember 2003 yang lalu.
Meninggal pada usia 15 tahun.

Dimas mengalami kecelakan kereta api ketika ia dan kawan-kawannya sedang berangkat menuju Jakarta untuk menjadi suporter tim kesayangannya berlaga di final Piala Emas Bang Yos I/2003.

Dimas berasal dari Surabaya.
Dimas suporter Persebaya
Dimas warga Bonekmania !

Adik Dimas, selamat jalan untuk menemui Tuhan.
Kami mendoakan semoga kau diterima di sisiNya, sebaik-baiknya.
Semoga keluarga yang kau tinggalkan, dikaruniai Tuhan dengan ketabahan.

***

Musibah sedih tewasnya Dimas di atas, entah kenapa, justru tidak (mungkin saya tidak tahu atau terlewatkan ?) dimuat dalam surat kabar Surabaya. Padahal, dalam harian Jawapos (19/12) itu termuat berita mengenai rencana penyelenggaraan acara diskusi bertopik “Menuju Suporter Yang Tertib dan Simpatik” di Surabaya (19/12). Penyelenggaranya SIWO PWI Cabang Jawa Timur dan Persebaya. Akan tampil sebagai pembicara Walikota bBambang DH, Kapowiltabes Surabaya, Manajer Persebaya Saleh Ismail Mukadar dan Anwar Hudiyono, Pemred Harian Surya.

Di saat menjelang kompetisi LI 2004 bergulir, acara di atas yang menyangkut upaya perbaikan perangai sampai citra suporter sepakbola Indonesia umumnya, Bonek Surabaya khususnya, patutlah disyukuri. Semoga hal-hal positif dari Surabaya itu nantinya mampu menular, tidak hanya menyebar ke dua kota tetapi sampai lebih dari seribu kota di tanah air kita.

Yang menarik, di koran yang sama dimuat sebuah gagasan menarik dalam rangka memperbaiki perilaku dan citra Bonek Surabaya. Saya sebagai seorang epistoholik (pencandu menulis surat-surat pembaca ke pelbagai media massa), menemui gagasan di atas dari kolom surat pembaca, rubriknya disebut “Gagasan” dalam koran Jawapos (19/12/2003).

Penulisnya Ari Budi S. (Gading Fajar A 2-46, Buduran, Sidoarjo 61252), mengusulkan agar suporter Persebaya itu dibuatkan kartu keanggotaan khusus. Bekerjasama dengan fihak bank, sehingga kartu anggota itu sekaligus pula sebagai ATM. Secara lebih detil, selain diminta membayar, para calon anggota itu diseyogyakan menyertakan surat bersih diri pula ketika menyodorkan aplikasinya.

Gagasan yang hebat. Bagaimana pendapat Anda ? Apakah Anda langsung merasa gatal untuk menvonis sebagai hal yang tidak mungkin ? Radio BBC (21/12/2003) menceritakan pertaruhan perusahaan film kecil New Line Cinema, juga sutradara Peter Jackson, dalam menggarap novelya JRR Tolkien, The Lord of the Rings. Sebab ketika gagasan untuk menfilmkan novel ini, dalam bentuk 3 film sekuel yang digarap sekaligus, banyak major studio (perusahaan film besar) memberikan reaksi yang tipikal :

“Ini tidak mungkin “
“Ini gila-gilaan !”
“Anda semua akan mampus !”

Sebagai seseorang yang getol sebagai ideabreeder, penangkar gagasan, saya menyukai ajaran pakar kreativitas Roger von Oech (bukunya, “A Whack On The Side Of The Head : How to Unlock Your Mind for Innovation”) yang menyarankan agar kita tak cepat-cepat menghakimi sesuatu gagasan. Sebab gagasan itu ibarat sebutir telur, sangat ringkih dan mudah pecah. Ia harus diperlakukan secara hati-hati. Dengan selalu memberinya kehangatan, mengeraminya, maka dari telur yang lemah itu akan hadir makhluk hidup yang baru. Kembali ke New Line Cinema dan Peter Jackson, perjudian dan keberanian mereka menantang resiko berbuah manis yang menggemparkan : sekuel film The Lord of The Rings meledak di dunia !

Sobat-sobat, itulah laporan saya ihwal suporter sepakbola yang pertama. Berupa cerita sedih dan cerita gembira, dari Surabaya. Itu kisah dari kota pertama. Kisah dari kota keduanya, adalah bersumber dari Semarang. Dari koran Radar Solo (19/12/2003) diwartakan bahwa kelompok suporter PSIS, Panser Biru, telah bertemu dengan Komisi E DPRD Kota Semarang.

Dalam acara silaturahmi itu, Andi Putra Alam yang Ketua Panser Biru, mengajukan permintaan agar Panser Biru memperoleh dana dari APBD. Besarnya untuk tahun 2004, sebesar Rp. 250 juta. Andi Putra Alam, entah dari sumber mana, mengajukan alasan yang melandasi permintaannya itu dengan merujuk bahwa Pasoepati dan Slemania juga mendapat beaya dari APBD kota setempat.

Presiden Pasoepati, Satryo Hadinegoro, ketika ditanyakan komentarnya mengenai hal di atas, ia tertawa. “Itu berita bagus. Tetapi berita bahwa Pasoepati mendapat dana APBD itu salah besar !”. Well, hallo Benny Hendityas atau Mas Pei, apakah Slemania benar telah mendapat dukungan APBD dari Pemkot Kota Sembada Anda ?


Berita agak terlambat saya laporkan, muncul dari Pasoepati.
Dari Harian Solopos (8/12/2003), dengan kepala berita “Pasoepati Ingin Kembali ke Khitah”, diungkapkan bahwa dalam acara Halal Bihalal Pasoepati dicetuskan keinginan Pasoepati ingin mengembalikan jati dirinya ke kelompok suporter yang tidak mengutamakan bisnis (profit-oriented). Pasoepati ingin menjadi kelompok suporter yang peduli pada perkembangan olahraga di Solo dan sekitarnya. Pasoepati ingin kembali ke khitah sebagai barisan suporter sejati.

Iqbal dari Semanggi (HP 08121525xxx) dalam kolom Solopos menulis : Ayo para simpatisan Pasoepati lama, kita rapatkan barisan untuk kembali ke khittah sebagai supporter. Kami rindu gegap gempita Pasoepati seperti waktu mendukung Pelita Solo !


Demikianlah, rupanya pada saat menjelang akhir tahun 2003 ini di tiga kota, Surabaya, Semarang dan Solo, tertabur peristiwa dan gagasan mengenai masa depan suporter sepakbola Indonesia. Semangat kembali ke khittah di Solo itu akan kita tunggu : kembali ke khittah seratus persen, 50 persen atau malah khittah bohongan bin palsu, semuanya pantas ditunggu tak perlu pakai nafsu.

Apa pendapat Anda mengenai gagasan menarik dari Surabaya, Semarang dan Solo di atas ? Saya tunggu. Yang pasti : Selamat Hari Natal 2003 dan Selamat Tahun Baru 2004 untuk Anda semua.


Sobat Anda,

Bambang Haryanto
Penulis HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri 22/12/2003

P.S. Hello Gigi, apa bisa artikel ini kau e-mailkan untuk milis Solomania ? Thanks.






Wednesday, December 17, 2003 

KRL HANTU BOGOR-JAKARTA
DAN SUPORTER SEPAKBOLA INDONESIA


Bogor geger. Diserang UFO ?
Makhluk-makhluk aliens itu konon tidak menyerang Istana Bogor atau ikut mengeduk harta karun di Istana Batutulis, juga bukan mengobrak-abrik pepohonan tinggi atau makam mBah Jeprak di Kebon Raya Bogor. Melainkan beraksi di Stasiun Bogor, minggu lalu.

Aksinya menakjubkan : dini hari tiba-tiba KRL Bogor-Jakarta, tanpa awak dan tanpa penumpang, bisa jalan sendiri. Atas kesigapan penjaga lintasan pertama di Bogor yang mengontak penjaga-penjaga lintasan berikutnya, membuat kereta api slononk boy itu mampu mencapai Manggarai, Jakarta, dan tidak mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Apakah aliens yang menyopiri KRL ajaib itu ? Ataukah hantu ?
Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.

Tapi ngomong-ngomong, apakah Anda punya pengalaman unik tentang KRL Bogor-Jakarta itu ? Saya pernah terjatuh di Stasiun Cawang. Gara-garanya, akibat berjubelnya penumpang, saya terlambat turun. Saya loncat ketika kereta sudah kembali bergerak. Saya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kelingking tangan kiri agak terkilir. Hanya itu. Tentu saja, malu jadi tontonan banyak orang. Tetapi saya yakin, orang-orang itu akan kembali berfokus pada isi benak masing-masing. Artinya, musibah yang saya alami itu bakal tidak menjadi hal penting bagi mereka. Juga tidak berharga untuk jadi sekedar gurauan atau bahan cerita di kantor mereka.

Tetapi di bulan Agustus 2001, di Asrama Haji Cempaka Putih saat menjelang Deklarasi ASSI, saya mendengar kisah sedih seputar KRL Bogor-Jakarta yang sama. Salah seorang pentolan suporter Jakarta tewas akibat kecelakaan menyangkut KRL tersebut. Bahkan kalau dirunut ke belakang lagi, juga tercatat peristiwa kecelakaan tertabrak KRL Bogor-Jakarta hingga menewaskan enam suporter PSIS (Panser Biru belum lahir, bukan ?) dan juga seorang suporter kelompok yang sama harus tewas karena dihakimi massa di stasiun Manggarai.

Kereta api di Indonesia rupanya tak sepi dari cerita-cerita menyangkut ulah suporter sepakbola Indonesia. Bagi saya sebagai warga Pasoepati, interaksi dengan PT KAI terasa monumental. Yaitu ketika pertama kali Pasoepati melawat ke Surabaya, 6/4/2000. Dengan tema From Solo With Love kita mencarter 12 rangkaian gerbong senilai 27 juta rupiah yang bahkan disebut sebagai Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.

KLB ini berangkat dan pulang berdasarkan jam yang ditentukan oleh Pasoepati sendiri. Esoknya pun, Pasoepati dapat bonus. Harian Surya (7/4/2000) memuat pernyataan Sugeng Priyono, Wakil Kepala Stasiun Kereta Api Gubeng. Ia semula merasa was-was ketika melihat kedatangan ribuan suporter Pelita Solo. Maklum saja, ribuan suporter fanatik tersebut mengenakan kaos merah dengan dandanan aneh-aneh sambil mengibarkan bendera kesebelasan yang didukungnya. “Tapi alhamdullilah, ternyata mereka tidak bertingkah macam-macam. Baru kali ini saya melihat suporter bersikap santun”, ujar Sugeng Priyono.

Tetapi toh di sebalik cerita manis di atas juga ada berita lain yang tak masuk koran. Tapi masuk Tabloid BOLA (14/4/2000) : sekitar 10 menit kereta meninggalkan Stasiun Gubeng menuju pulang, kereta mendapatkan sambitan batu. Tiga baris kursi di depan saya, seorang warga suku Pasoepati Lovina (Jagalan), Rudi, alis kirinya harus dijahit karena tersambar batu-batu tersebut.

Peristiwa yang menimpa Rudi di kereta api tadi pasti hanya cerita kecil sekali bila dibandingkan dengan cerita-cerita yang dimuat dalam buku berjudul Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997), yang menyajikan cerita dan analisis seru mengenai pendukung fanatik tim runner-up Piala Emas Bang Yos 2003 yang baru usai itu. Buku ini saya beli di kaki lima Stasiun Cawang, 15 Agustus 2002. Terdapat 13 tulisan di dalamnya.

Buku tipis dengan sampul berwarna kehijauan dan merah, didominasi gambar bola yang superimpose dengan gambar tengkorak, merupakan kumpulan artikel dari pelbagai kalangan di Jawa Timur. Ada akademisi, pejabat, anggota LSM dan wartawan. Bagi saya yang menarik, adalah tulisan Guru Besar Hukum Unair, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto. Saya pribadi belum kenal Prof. Tandyo, tetapi Ibu Tandyo pernah mengikuti kelas di mana saya menjadi asisten mata kuliah fotografi untuk presentasi audio-visual di kampus Rawamangun, Jakarta, sebelum pindah ke Depok.

Kalau di artikel sebelumnya muncul pernyataan keras dari Basofi Sudirman, Gubernur Jawa Timur saat itu yang menyebut para bonek juga sebagai boling (bondho maling) yang harus ditindak keras, maka Prof. Soetandyo menuliskan bahwa “tindakan tegas saja tak cukup”. Menurutnya, para bonek itu toh anak-anak kita, sehingga harus direngkuh dan di-openi, sebab mereka bagian dari warga masyarakat kita yang terampas. Terampas sumber dayanya, pendidikannya, asosiasi sosialnya, dan pertumbuham kejiwaannya.

Bahkan disebutnya, yang masuk kategori bonek itu bukan hanya suporter sepak bola. Anak-anak muda yang suka bertualang seperti mendaki tebing sampai arung jeram pun, termasuk bonek. Juga anak-anak muda Surabaya yang ikut memanggul bedil dalam revolusi. Bedanya, jiwa petualang para bonek satu ini masih terarah. Sedangkan bonek yang ngeluruk ke Stadion Senayan, nonton sepakbola, selain tidak terarah, juga termasuk kategori bonek akut dan kronis.

Bonek akut dan kronis, menurut Prof Tandyo, memerlukan pendekatan khusus. Mereka dibimbing untuk terwadahi dalam organisasi fans club, memiliki aktivitas konkret, terstruktur dan diakui keberadaannya. Saluran semacam itu akan lebih positif daripada membiarkan mereka mengorganisir diri dan memberikan kesempatan munculnya tindak anti-ketertiban.

Pendekatan terhadap bonek akut dan kronis seharusnya dilakukan dalam dua bentuk. Untuk mereka yang akut dan sering jadi trouble maker, tindakan tegas kepadanya pantas dilakukan. Tetapi untuk bonek kronis, tindakan tegas saja tidak cukup. Mereka harus pula dibimbing, diorganisir, diarahkan dan diawasi.

Pendeknya, faktor-faktor tertentu yang membentuk struktur perilaku bonek harus diputus rantainya. Itu artinya, mengatasi bonek merupakan pekerjaan raksasa karena tak ada bedanya dengan program pemerintah dalam mengentas kemiskinan.

Apakah ada kemiripan antara problem bonek yang diutarakan oleh Prof. Tandyo tadi dengan persoalan dalam kelompok suporter Anda ? Silakan Anda bercerita. Sementara itu, bagian lainnya dari buku itu, semoga dapat saya ceritakan lagi kepada Anda, di lain kesempatan. Sekian dulu obrolan saya, minggu ini.

Au Revoir !


Sobat Anda,

Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri 17/12/2003


P.S. Mengapa saya memakai salam Au Revoir, berbahasa Perancis ? Bukan karena ikut demam film Eifel…I’m In Love (novel dan skenarionya ditulis cewek tingkat satu program diploma bahasa Perancis UI), tetapi karena organisasi saya Epistoholik Indonesia ternyata juga diminati seseorang madame yang nulis e-mail dari Paris !





Monday, December 15, 2003 

PERSIB-O-HOLIC, ALCOHOLIC, EPISTOHOLIK, SPORTIVOHOLIC ?


Darah baru. Ide-ide baru.
Akhir-akhir ini di milis ASSI kita telah tampil milister-milister (mohon dikoreksi kalau istilah ini kurang tepat) baru. Sangat menggembirakan. Mungkin penilaian saya keliru, sebab siapa tahu sobat-sobat yang saya anggap wajah baru itu sebenarnya warga lama tetapi selama ini terlalu berendah hati dengan memilih sebagai “lurker” semata. Istilah “lurker” adalah sebutan untuk peserta/anggota milis di mana mereka merasa sudah cukup senang untuk hanya menjadi pembaca saja. Tetapi bagi saya, keberadaan sobat-sobat “lurker” itu kadang mengejutkan.

Sebab saya pernah disapa seseorang (suporter) yang namanya sama sekali tidak pernah muncul dalam diskusi di milis ASSI kita ini. Tapi, surprisenya, ia bisa menceritakan topik-topik yang pernah muncul dalam konferensi meja bundar antarsuporter Indonesia a la digital di milis yang dimandori Sam Idoer van Aremania yang unix ini.

Nama milister ASSI baru yang bagi saya unik, adalah Persib-O-Holic. Ketika dunia suporter Indonesia sejak tahun 2000 seolah inflasi istilah “mania” (gara-gara kharisma kera-kera Ngalam : Aremania !), nama berakhiran “oholic” itu cukup menggelitik. Memang akhiran mania dan oholic itu artinya bermiripan, yaitu obsesi, kecanduan, kegetolan atas sesuatu.

Sebagai contoh, saya ambil dari kamus unik yang rasanya cocok dimiliki mereka yang ingin tampil di kuis Who Wants To Be a Millionaire-nya RCTI. Kamus itu karya Irene M. Frank, “On The Tip of Your Tongue”, Signet Book, 1990. Saya beli tanggal 14/4/1991 di TB Gramedia Matraman, Jakarta. Pada hal 160-162 terdapat daftar istilah untuk obsesi, kecanduan atau kegetolan atas………


buku disebut bibliomania
membeli apa saja : onlomania
menulis : graphomania/scribomania
wanita sangat bernafsu terhadap pria : nymphomania
pria sangat bernafsu terhadap wanita : satyromania
musik : melomania/musicomania
merasa penting sendiri : megalomania
merasa sebagai Tuhan : theomania
ngomong jorok : coprolalomania
penis : mentulomania
nafsu sex : erotomania
organ sex : edeomania
kata-kata : logomania/verbomania
alcohol : dipsomania/potomania
rindu rumah : philpatridomania
kerumunan orang : demomania/ochlomania
(masih banyak lagi…)

Istilah berakhiran “oholic” pertama kali saya temui dari kata alcoholic, orang yang kecanduan minuman beralkohol. Di kalangan suporter Indonesia, saya kira tak sulit menemukan kaum alcoholic ini. Di kalangan Pasoepati Solo, minuman beralkohol yang dirasa murah meriah disebut ciu cangkol. Saya tidak tahu berapa persen kadar alkoholnya, tetapi cairan coklat keruh berbau keras itu akan menyala bila disundut korek api. Dengan beverage tradisional itu, beberapa warga Pasoepati sering mengajak pesta kelompok suporter lainnya yang datang ke Solo. Lalu cerita-cerita mengenai suporter tamu yang teler atau mabuk berat, sudah menjadi bahan guyonan tersendiri di kalangan Pasoepati.

Istilah alcoholic yang saya ketahui itu berasal dari Alcoholic Anonymous/AA (Mereka Yang Kecanduan Alkohol Tanpa Nama). Ini sebuah gerakan swadaya masyarakat di AS yang menghimpun para pencandu minuman keras untuk saling berbagi pengalaman, bagaimana menyembuhkan ketergantungan mereka terhadap minuman yang berpotensi merusak hati/liver itu.

Mereka bertemu secara teratur, dipandu relawan yang psikolog, guna saling mengingatkan dan saling menguatkan demi keberhasilan mereka masing-masing demi terbebas dari cengkeraman alkohol. Well, apakah ASSI kita ini perlu ditambah dengan divisi AASI : Alcoholic Anonymous Suporter Indonesia ?

Istilah berakhiran “oholic” lainnya, saya temukan tahun 1992. Gara-garanya majalah Time (6/4/1992) memberi julukan manis manis untuk seseorang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di pelbagai media massa. Julukan itu adalah epistoholik. Dari asal kata epistle, surat.

Tokoh unik dan mengesankan yang diberi label epistoholik oleh majalah Time itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari Mumbay, India. Beliau sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat ia muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat, dan prestasinya ini tercatat di buku Guinnes Book of World Records Versi India.

Kini, di bulan November 2003 yang lalu, menurut Mid-day (http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm), ia sudah menulis surat pembaca sebanyak 5.000 buah, semuanya berbahasa Inggris, dan dikirimkan ke pelbagai surat kabar di dunia.

Kepada wartawan Pooja Kumar (5 November 2003) ia bilang : “Writing letters has become an obsession for me and not a single day passes by without me spotting at least three of my letters in dailies. It is because of my faith in the immense impact of the media that I choose to address these issues.”


Saya sebagai logomania/verbomania plus graphomania/scribomania, sejak tahun 1992 sudah langsung terkena virusnya Bapak Parakal ini. Saya yang memang suka menulis di kolom-kolom surat pembaca, selain menulis artikel/buku, tergerak merintis pendirian Epistoholik Indonesia/EI di tahun 1994. Yaitu upaya menghimpun para penulis surat pembaca se-Indonesia. Ide itu saya lontarkan di koran-koran, dan mendapatkan sambutan.

Sayang, realisasi ide itu tak berlangsung lama saat itu. Saat itu saya berdomisili di Jakarta, merasa kekurangan waktu dan sarana. Komunikasi masih memakai layanan snail-mail (surat keong – baca : Pak Pos !), lamban dan mahal. Mesin ketik juga manual. Tetapi toh ada seseorang dari Medan, mengadopsi ide tersebut. Sapi punya susu, kerbau punya nama (apa kebalik ?), Bang Medan itu tampil ke depan untuk memproklamasikan diri sebagai ketua organisasi semacam EI ini. Salah satu kiprah awalnya, ia akan mengajukan proposal ke Sekretariat Negara RI untuk minta sumbangan dana bagi operasi organisasinya tersebut.

Saya pasif atas prakarsa Bang Medan itu. Ada perbedaan visi di antara kita. Sebab sejak awal saya mengangankan EI sebagai jaringan yang independen, warganya juga independen, sehingga bebas bersuara atau menulis kritik kepada (terutama) pemerintah Orba (saat itu). Tetapi oleh Bang Medan itu kok tiba-tiba dibelokkan untuk mau terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang ditukar dengan bantuan/kucuran rupiah ? Entah kenapa, rupanya upaya Bang Medan yang berbaik hati meneruskan gagasan EI saya itu, juga memudar.

Kini di tahun 2003, ketika komunikasi makin murah, instan dan canggih telah hadir, yaitu Internet, membuat embrio EpistoholikIndonesia/EI dulu itu menggoda lagi di benak saya. Dan saya memutuskan mempromosikan EI kembali. Dimuat di suratkabar Bernas (Yogya), Suara Merdeka (Semarang) dan Solopos (Solo), kini ada sekitar 10 orang dari Solo, Yogya, Sukoharjo, Wonogiri (selain saya), Pekalongan, Purbalingga, juga Jakarta, menyatakan bergabung dalam jaringan EI.

Kalau Anda sempat membaca Tabloid BOLA (2 Des 2003), di kolom “Forum Pembaca”, ada seorang anak muda mahasiswa Arsitektur UNS (sekaligus pencinta/penulis sastra, yang berarti kalau menurut tesis multiple intelligence-nya Howard Gardner dirinya memiliki skill visual-spatial dan verbal, “kombinasi minat yang hebat !”) bernama Wahyu Priyono, telah ikut berbaik hati mempromosikan Epistoholik Indonesia.

Surat di BOLA itu atas prakarsanya sendiri. Saya tak nyangka, kalau Tabloid BOLA jadi incaran Wahyu untuk mempromosikan EI. Kebetulan sih, dia juga seorang warga Pasoepati, tetapi seingatku (sorry, Wahyu…), aku justru belum pernah ketemu secara tatap muka dan pribadi selama aku berkiprah di Pasoepati.

Makasih berat, Wahyu. Gara-gara kedahsyatan Internet maka Wonogiri dan Karangpandan bisa muncul sedikit sebagai “center of gravity”-nya para epistoholik Indonesia. Gara-gara surat Wahyu itu pula, aku bisa dikontak lagi sama Aan Permana/Garut, sobat lama yang dulu pernah ngobrol via e-mail gara-gara tulisanku di BOLA, tahun 2000 lalu, bab julukan nama-nama untuk pemain Pelita Solo.

Wahyu yang antusias bergabung dalam EI, aku rasa sebagai pribadi anak muda yang rada unik. Sebab warga jaringan lainnya, seperti halnya Pak Parakal, banyak yang sudah sepuh, kaum wredatama dan manula. Ada yang sudah berusia 80 tahun, Hadiwardoyo (Kaliurang), tetapi semangat belajarnya untuk mengenal hal-hal baru sungguh mengagumkan. Termasuk memutuskan memiliki acoount e-mail pribadi gara-gara semangatnya untuk bergabung dalam EI. Kunjungi situsnya di : http://hwar.blogspot.com.

EI memang membidik, antara lain, para senior seperti Pak Hadiwardoyo itu. Ide EI diilhami isi bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital, bahwa Internet mampu menyambungkan komunikasi antargenerasi, kaum pensiunan dengan generasi anak-cucu mereka. Para pensiunan itu adalah the untapped resources, sumber daya intelektual dan kebijakan yang belum digali. Padahal mereka itu memiliki kecerdasan, wawasan, pengalaman, wisdom, juga optimisme, sampai perasaan semakin dekat sama Tuhan, yang alangkah baiknya bila kita-kita yang lebih muda ini sudi belajar banyak dari mereka.

Untuk menghormat dan menghargai dedikasi mereka, telah saya rintis pembuatan situs untuk menghimpun dan memajang karya surat-surat pembaca mereka. Silakan kunjungi di : http://epsia.blogspot.com dan tersedia links untuk situs mereka.

Untuk semua itu, ya saya harus sedikit kerja bakti, belajar telaten dan sabar dalam memindahkan isi surat-surat para senior itu ke bentuk digital. Walau hanya mampu mengetik 2 jari saja, saya ketik kembali karya-karya mereka. Di situlah saya mendapatkan hikmah dan ganjaran : saya tak sengaja malah jadi banyak belajar dari gagasan dan wisdom mereka !

Begitulah, gara-gara munculnya sobat baru di milis ASSI yang berjulukan Persib-O-holic, telah memicu saya untuk bercerita tentang epistoholik. Siapa tahu, wabah oholic-oholic ini akan juga merasuki kalangan suporter sepakbola Indonesia di ajang Liga Indonesia 2004 mendatang.

Sehingga kita tidak hanya kenal dan berkawan dengan Persib-O-holic, Slemanoholic, Soloholic, Petroholic dan Nurdin Holic (he-he-he), moga-moga suporter Indonesia nantinya juga kecanduan sportivitas yang bagaimana kalau kita sebut saja dengan: Sportivoholic ?



Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 8/12/2003.












Thursday, December 04, 2003 

BERAPA TAHUN USIA E-MAIL ANDA ?
CERITA JADI SUPORTER JARAK JAUUUUH OLIMPIADE ATLANTA


Siapakah pemain sepakbola yang berlaga di LI dan memiliki account e-mail ? Saya ingat hanya satu nama : Jacksen F. Tiago, yang kini jadi pelatih Persebaya. Anda bisa menambahkannya ? Kita tunggu.

Tetapi ngomong-ngomong, sudah berapa tahun e-mail Anda ? E-mail saya yang humorline@hotmail.com, akan tepat berusia 4 tahun nanti pada tanggal 31 Desember 2003. Dengan e-mail itu, pada bulan puasa tahun 2001, saya mendapat hadiah sumpah serapah dari seseorang dari kelompok suporter yang pernah merasa disakiti oleh Pasoepati. Kiriman sumpah-serapah itu saya print, lalu ditempel di papan pengumuman markas Pasoepati. Nama dan alamat e-mail pengirimnya, saya hapus. Melalui e-mail itu pula, saya memperoleh kabar baik : diundang sebagai finalis The Power of Dreams Contest 2002.

E-mail tersebut saya buat di Wonogiri, di sebuah warnet yang pertama ada di kota kecil ini. Warnet itu kini sudah bubar. Sebelumnya, di tahun 1998 saya sudah memiliki e-mail bambangharyanto@hotmail.com, planetsolo@hotmail.com dan planetsolo@bumi.net.id. PlanetSolo adalah embrio situs untuk memfasilitasi interaksi komunitas wong Solo di Internet, bekerjasama dengan ISP BumiNet Solo, tetapi kehabisan nafas dan terhenti.

Saya menggunakan e-mail yang pertama kali, tahun 1996, justru sebagai suporter guna mendukung sukses kontingen tim olahraga Indonesia yang saat itu berlaga di Olimpiade Atlanta 1996. Beberapa hari setelah Jakarta diguncang huru-hara 27 Juli 1997, saat Kantor PDI Jl. Diponegoro diserbu, perusahaan komputer IBM menyelenggarakan pameran di Gedung Bapindo, dekat Pintu I Senayan, Jakarta. Saya ikut nonton.

Ternyata di sana ada 4 komputer yang disediakan untuk para pengunjung yang berkenan menulis e-mail guna mendukung tim Olimpiade mana pun (termasuk Indonesia) di Atlanta. Saat itu IBM memang menjadi sponsor utama TI untuk Olimpiade Atlanta. Konon di perkampungan atlet di Atlanta telah disediakan puluhan komputer, namanya Surf Shack, di mana para atlet dan ofisial dapat membaca posting e-mail dari para suporternya di tanah air masing-masing.

Saya pun segera menulis e-mail untuk mendukung sukses pasangan emas bulutangkis di Olimpiade Barcelona, Alan dan Susi, juga Ricky dan Rexy, dan pejudo Krishna Bayu. Termasuk juga titip salam untuk Broto Happy W., wartawan tabloid BOLA, yang saat itu juga bertugas meliput di Atlanta. Dia itu adalah adik saya. Saat itu saya juga menulis surat pembaca di BOLA dan Suara Karya, menghimbau salah satu sponsor tim Olimpiade Indonesia, Citibank, menyelenggarakan open house dan menempatkan beberapa unit komputer di lobby kantornya untuk menampung dan meneruskan e-mail dukungan dari Indonesia ke Atlanta.

Kebiasaan menulis e-mail untuk atlet, juga melalui situsnya IBM, juga saya ulangi ketika berlangsungnya Olimpiade Sidney 2000. Saya sadar, atlet-atlet kita masih gaptek, tetapi dengan mengirim dukungan jarak jauh yang entah dibaca atau tidak, saya sudah merasakan bahagia karena telah melaksanakan tuntutan jiwa saya sebagai seorang suporter olahraga Indonesia.

Dengan e-mail itu pula, kini, saya merasa dapat karunia, berupa kesempatan untuk berinteraksi dengan Anda-Anda semua di milis ASSI kita ini. Apakah milis kita ini akan segera pindah host ? Dan kini, saudara saya Sam Idoer yang moderatornya sedang melakukan uji coba ?

Dengan segala kekurangan, sambil ingat hukum Metcalf (apa saya salah tulis ?) bahwa jaringan akan semakin bermanfaat seiring dengan meningkatnya warga jaringan (node = A point in a computer network where communication lines, such as telephone lines, electric cables, or optical fibers, are interconnected.)-nya, maka saya berusaha merekrut warga-warga baru agar sudi menyumbangkan buah pikirnya di milis kita ini. Saya yakin, Anda pun juga senang hati melakukan hal yang sama.

Di luar kiprah dalam dunia suporter, saya juga mengkampanyekan manfaat e-mail dan Internet pada umumnya, kepada komunitas, yang bisa saya jangkau dan bahkan juga kepada keluarga besar saya.

Ada sedikit cerita, nama kakek saya Martowirono, oleh para cucu dan cicit telah dijadikan sebagai nama payung untuk organisasi kekerabatan. Formilnya, Trah Martowirono. Inggrisnya mungkin, The Big Family of Martowirono. Kebetulan tahun 2003 ini, keluarga ibu dan ayah saya (anak IV Martowirono) kejatuhan giliran sebagai host pertemuan trah. Pertemuan ke-17 itu sudah berlangsung di kampung Kajen, Wonogiri, 27/1/2003. Di forum seperti ini, saya juga kembali gatal untuk mempromosikan kedahsyatan Internet. Skenario show pun dirancang.

Kebetulan suami dari sepupu saya sudah menjalani tahun ketiganya sebagai konsultan pertanian internasional (dibawah FAO/PBB) di Phnom Penh, Kamboja. Ia lulusan UGM dan S-2 dari Universitas di Bangkok. Dengan kontak-kontak e-mail sebelumnya, maka pada tengah-tengah acara pertemuan warga trah itu dilangsungkanlah session balas-balasan e-mail antara Kajen, Wonogiri, Indonesia dengan Phnom Penh, Kamboja.

Begitulah, berkat teknologi maka jarak ribuan kilometer kini bukan lagi halangan untuk berinteraksi, asal ada niat, cinta dan atensi. Pada acara yang sama juga diresmikan logo resmi dan situs Trah Martowirono di Internet.

Anda punya cerita seru tentang account e-mail Anda ? Saya tunggu.
Sampai jumpa di obrolan mendatang. Eh, di medali untuk pemenang Turnamen Sepakbola Piala Emas Bang Yos kok ada gambar wajah Bang Yos dimana pada topinya tertera mencolok tiga bintang (letnan jenderal) segala ?


Sobat Anda,

Bambang Haryanto
Penulis buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 4/12/2003



----------------

Nikmatnya sahur bersama The Jakmania !

Di masa kompetisi LI lagi vakum saat ini, senang juga melihat aksi rekan-rekan suporter The Jakmania di RCTI, selama dua hari (16-17/11/2003). Rupanya bung Hendarmin dari RCTI Sports kurang berani maksimal menyediakan jatah sahur, sehingga sobat-sobat The Jakmania yang meramaikan babak play-off Piala Eropa saat itu nampak sudah ramai, tapi rasanya kurang banyak. Mungkin kalau The Jaks sebanyak separo kapasitas stadion Lebak Bulus ikut merubung pelataran “Kampung Ramadhan”, apa mungkin RCTI menjadi bangkrut ?

Fenomena The Jaks meramaikan acara sepakbola di RCTI itu pantas disambut gembira oleh komunitas suporter sepakbola Indonesia. Kalau ngikuti tren siaran di TV akhir-akhir ini, nampak bahwa acara-acara TV dewasa ini semakin condong untuk melibatkan kerumunan (crowds) sebanyak mungkin. Kerumunan itu tampil di depan kamera dengan berstatus ganda, ya sebagai penonton dan sekaligus jadi aktor. Jadi persis sama dengan fenomena suporter Indonesia akhir-akhir ini di pelbagai stadion Indonesia, bukan ?

Ada tantangan dan peluang menggelitik di depan : apakah kita para suporter Indonesia mampu untuk lebih jeli menggarap fenomena tren siaran televisi di atas secara lebih agresif, kreatif, dan tentu saja sportif (menjauhkan dari aksi kekerasan), untuk perkembangan sisi positif suporter dan dunia sepakbola Indonesia ?

Anda punya gagasan ? Kita tunggu.

Kabar lain : makasih untuk sobat Zaldi dan Dannie (Aremania) yang telah berbaik hati memberikan info sebenarnya mengenai situasi Stadion Gajayana. Saya senang karena dugaanku salah besar.

Selamat datang kembali untuk Benny Hendityas di forum milis kita ini. Dulu ketika Benny complain ke saya mengenai adanya gangguan komunikasi e-mailnya, yang bisa aku lakukan saat itu adalah melaporkannya ke Pekanbaru. Ke Sam Rudi. Maaf, aku belum membalas obrolanmu secara personal saat itu pula. Sokurlah, masalah itu kini sudah beres, bukan ?

Oh ya, mengenai pertanyaan Benny seputar nasib buku saya, wah, aku berterima kasih atas atensi hebat dan menggembirakan ini. Sayang, saat ini aku belum mampu memberi kabar gembira untuk Benny dan rekan-rekan lainnya. Sebab aku belum beruntung.

Bulan Agustus lalu, naskahnya aku serahkan ke suatu penerbit di Yogya. Aku sih berharap akan diperiksa selama 2 minggu, lalu kalau gol maka buku itu akan ikut meramaikan Konggres PSSI, 19-21 Oktober 2003 lalu. Impian itu berantakan, karena naskah Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati (judul ini diilhami buku tentang bencana crash-nya pesawat yang membawa tim Grande Torino, 1949, di Turin yang dampaknya jauh lebih mendalam ketimbang jatuhnya pesawat tim MU di Muenchen!) ditolak penerbit.

Aku sempat mengalami shock 2-3 hari. Déjà vu ! Dulu aku merasakan hal yang sama ketika 2 bukuku sebelumnya, juga ditolak penerbit yang pertama. Ya sudah, kini saya ya harus berjuang kembali untuk menjajakan naskah tersebut. Usai Lebaran, roda “salesman buku suporter” harus menggelinding lagi.


Walau demikian, ada spin-off, cipratan keuntungan kecil-kecilan dari proses menulis buku itu. Antara lain aku dipaksa mempelajari (lagi) seluk-beluk bisnis buku. Termasuk, misalnya kiat-kiat merancang judul buku. Kalau mempelajari sesuatu dan tidak aku sebarkan kepada orang lain, rasanya tak enak, maka aku ya harus menuliskannya. Hasilnya muncul di harian JawaPos edisi Minggu (26/10/2003) tulisanku berjudul “Misteri Judul Buku Yang Menjual”, dimuat. Rupanya tulisan itu memunculkan heboh, maka di JawaPos (16/11/03) kemarin, ada yang menanggapinya. Beni Setia, pengarang dari Caruban, Jawa Timur. Tulisanku dikritik habis.

Sokurlah, mungkin karena kecipratan hikmah puasa, aku bisa kewl (baca : cool) melahap kritik tersebut. Kalau kita dipuji-puji kan cenderung kepala kita membesar dan otak kita menjadi “tumpul”, maka kritikan itu justru memaksa otak kita untuk berfikir lagi. Hasilnya, ya sebuah tulisan lagi.

Begitulah, sobat, sambil terus getol ngobrolin bab suporter di masa kompetisi dalam negeri yang kosong ini, kini aku punya “bisnis” sampingan lain lagi : jadi tukang selidik dan bedah-bedah aneka aspek bisnis buku…..

Sampai obrolan mendatang, sahabat.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1424 H.
Mohon Maaf Lahir dan Bathin Atas Segala Khilaf Saya, Baik Yang Disengaja Atau pun Yang Tidak Disengaja.

Hasta Luego, Amigo !


Sobat Anda,

Bambang Haryanto
Penulis buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 17/11/2003




"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates