SOLUSI KEMELUT PERSIS, PSFC DAN PASOEPATI
Pelita Solo datang ke Solo dan pergi dari Solo karena alasan bisnis. Persijatim lalu datang ke Solo juga dengan alasan sama. Mereka merangkul Pasoepati, dan bukan dengan Persis, juga dengan alasan bisnis. Pada konstelasi terakhir ini, segitiga antara PSFC, Pasoepati dan Persis, ternyata banyak ganjelan. Ketika sebagai pemrasaran saat dilangsungkan diskusi “Kiat Hebat Menjual Persis Solo” di Hotel Kusuma Sahid (18/1/2003) sudah saya utarakan bahwa kehadiran PSFC adalah “musuh” utama Persis dalam memperebutkan atensi komunitas sepakbola di Solo. Bahkan secara kurang ajar dan nakal, saya usulkan pula saat itu agar nama Persis dilikuidasi. Lalu diganti nama lain yang lebih marketable dan berorientasi ke masa depan, demi upaya memenangkan perang perebutan atensi itu. Alasan pergantian nama itu telah saya tulis dalam buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati yang kini dalam pertimbangan penerbit.
Saat itu, ketika forum membincangkan problem berat Persis (baca : dana !), saya ingat Ketua Umum Persis hanya memberikan sasmito, tidak berterus terang dan lugas, menyatakan bahwa sebenarnya Persis membutuhkan dukungan PSFC, fihak yang saat itu hanya diwakili para pentolan Pasoepati yang merupakan Panpel PSFC. Warning Ketua Umum Persis ini rupanya tidak sampai ke sasaran. Saya tidak tahu, apakah sesudah diskusi itu lalu ada rembugan lanjutan yang serius antara kedua belah fihak itu. Tetapi mencermati kiprah Pasoepati selama jadi Panpel yang ternyata belum menerapkan transparansi untuk warganya sendiri, maka saya kira mereka juga tidak ada kontak dengan Persis untuk mencari jalan terbaik guna tercapainya tujuan mengembangkan sepakbola Solo dengan pendekatan win-win antara mereka. Sebab tahu-tahu, kita terkaget, dengan meledaknya pernyataan Walikota agar PSFC hengkang dari Solo seusai LI 2003.
Apakah keputusan ini sudah final, tak ada diskusi lagi ? Saya tidak tahu. Tetapi kalau saya boleh usul, dari kacamata seorang suporter, dalam menyikapi kemelut ini sebaiknya Pasoepati legowo dan mau berkorban. Kuncinya, mau kembali ke khittah semula, Pasoepati sebagai suporter sejati saja. Jangan tanyakan apa yang bisa Solo berikan pada kita, tapi tanyakan pada diri apa yang bisa kita berikan untuk Solo tercinta !
Bisnis ke-panpel-an Pasoepati seyogyanya diserahkan agar menjadi proyeknya Persis Solo. Kalau pun ada tenaga Pasoepati yang ingin terus mencari rejeki jadi panpel, silakan, tetapi masuklah melalui koridor dan atas nama Persis Solo. Bukan atas nama Pasoepati. Lalu, silakan Persis Solo, PSFC, Pemkot dan DPRD, duduk satu meja, mencari jalan terbaik untuk semua fihak, satu momen penting yang selama ini rasanya belum pernah terjadi. Saya berharap, usulan di atas akan baik bagi Pasoepati, Persis dan Solo FC di hari-hari mendatang. Kalau PSFC tak jadi pergi, Pasoepati juga tidak jadi mati, bukan ?
Umpama usulan ini tidak menjadi kenyataan, saya tidak apa-apa. Hanya sangat menyayangkan, bila perginya PSFC nanti harus ada yang merasa luka hati. Sebab Persis Solo yang kini lagi menggeliat kecil, di masa depan bebannya akan tambah berat. Dalam menyangga beban berat, alangkah baiknya, bila fihak Persis bercakrawala pemikiran sebagai insan olahraga yang lebih menasional, bukan sebagai politikus dengan Soloisme yang sempit, dengan lebih dini dan intensif menggalang network, teman, sahabat dan bukan membuat musuh-musuh baru yang tidak perlu. Seribu teman kurang banyak, satu musuh itu sudah terlalu banyak !
Suka atau tidak suka, di jajaran PSFC toh terdapat jaringan personil yang lebih dulu malang-melintang di sepakbola di Indonesia. Sehingga jauh lebih baik bila mereka nanti berdiri di belakang kita pada saat Persis membutuhkan bantuan atau advokasi, ketimbang mereka hanya sebagai fihak yang pernah kita sakiti yang suatu saat tergoda “bayar utang” yang tak perlu atas hal-hal yang pernah kita lakukan terhadap mereka walau atas nama heroisme, demi Solo atau Persis sekali pun !
Bambang Haryanto
Suporter Pasoepati dan Sekjen ASSI
Sedang merampungkan buku
Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati
Pelita Solo datang ke Solo dan pergi dari Solo karena alasan bisnis. Persijatim lalu datang ke Solo juga dengan alasan sama. Mereka merangkul Pasoepati, dan bukan dengan Persis, juga dengan alasan bisnis. Pada konstelasi terakhir ini, segitiga antara PSFC, Pasoepati dan Persis, ternyata banyak ganjelan. Ketika sebagai pemrasaran saat dilangsungkan diskusi “Kiat Hebat Menjual Persis Solo” di Hotel Kusuma Sahid (18/1/2003) sudah saya utarakan bahwa kehadiran PSFC adalah “musuh” utama Persis dalam memperebutkan atensi komunitas sepakbola di Solo. Bahkan secara kurang ajar dan nakal, saya usulkan pula saat itu agar nama Persis dilikuidasi. Lalu diganti nama lain yang lebih marketable dan berorientasi ke masa depan, demi upaya memenangkan perang perebutan atensi itu. Alasan pergantian nama itu telah saya tulis dalam buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati yang kini dalam pertimbangan penerbit.
Saat itu, ketika forum membincangkan problem berat Persis (baca : dana !), saya ingat Ketua Umum Persis hanya memberikan sasmito, tidak berterus terang dan lugas, menyatakan bahwa sebenarnya Persis membutuhkan dukungan PSFC, fihak yang saat itu hanya diwakili para pentolan Pasoepati yang merupakan Panpel PSFC. Warning Ketua Umum Persis ini rupanya tidak sampai ke sasaran. Saya tidak tahu, apakah sesudah diskusi itu lalu ada rembugan lanjutan yang serius antara kedua belah fihak itu. Tetapi mencermati kiprah Pasoepati selama jadi Panpel yang ternyata belum menerapkan transparansi untuk warganya sendiri, maka saya kira mereka juga tidak ada kontak dengan Persis untuk mencari jalan terbaik guna tercapainya tujuan mengembangkan sepakbola Solo dengan pendekatan win-win antara mereka. Sebab tahu-tahu, kita terkaget, dengan meledaknya pernyataan Walikota agar PSFC hengkang dari Solo seusai LI 2003.
Apakah keputusan ini sudah final, tak ada diskusi lagi ? Saya tidak tahu. Tetapi kalau saya boleh usul, dari kacamata seorang suporter, dalam menyikapi kemelut ini sebaiknya Pasoepati legowo dan mau berkorban. Kuncinya, mau kembali ke khittah semula, Pasoepati sebagai suporter sejati saja. Jangan tanyakan apa yang bisa Solo berikan pada kita, tapi tanyakan pada diri apa yang bisa kita berikan untuk Solo tercinta !
Bisnis ke-panpel-an Pasoepati seyogyanya diserahkan agar menjadi proyeknya Persis Solo. Kalau pun ada tenaga Pasoepati yang ingin terus mencari rejeki jadi panpel, silakan, tetapi masuklah melalui koridor dan atas nama Persis Solo. Bukan atas nama Pasoepati. Lalu, silakan Persis Solo, PSFC, Pemkot dan DPRD, duduk satu meja, mencari jalan terbaik untuk semua fihak, satu momen penting yang selama ini rasanya belum pernah terjadi. Saya berharap, usulan di atas akan baik bagi Pasoepati, Persis dan Solo FC di hari-hari mendatang. Kalau PSFC tak jadi pergi, Pasoepati juga tidak jadi mati, bukan ?
Umpama usulan ini tidak menjadi kenyataan, saya tidak apa-apa. Hanya sangat menyayangkan, bila perginya PSFC nanti harus ada yang merasa luka hati. Sebab Persis Solo yang kini lagi menggeliat kecil, di masa depan bebannya akan tambah berat. Dalam menyangga beban berat, alangkah baiknya, bila fihak Persis bercakrawala pemikiran sebagai insan olahraga yang lebih menasional, bukan sebagai politikus dengan Soloisme yang sempit, dengan lebih dini dan intensif menggalang network, teman, sahabat dan bukan membuat musuh-musuh baru yang tidak perlu. Seribu teman kurang banyak, satu musuh itu sudah terlalu banyak !
Suka atau tidak suka, di jajaran PSFC toh terdapat jaringan personil yang lebih dulu malang-melintang di sepakbola di Indonesia. Sehingga jauh lebih baik bila mereka nanti berdiri di belakang kita pada saat Persis membutuhkan bantuan atau advokasi, ketimbang mereka hanya sebagai fihak yang pernah kita sakiti yang suatu saat tergoda “bayar utang” yang tak perlu atas hal-hal yang pernah kita lakukan terhadap mereka walau atas nama heroisme, demi Solo atau Persis sekali pun !
Bambang Haryanto
Suporter Pasoepati dan Sekjen ASSI
Sedang merampungkan buku
Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati