Friday, June 18, 2010 

Ora Nonton Piala Dunia, Ora Pateken !



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com

Galilah sumur sebelum haus.
Sukses masa lalu pegangan jelek sukses masa depan.
Kedua nasehat mulia itu saya abaikan.

Dampaknya, hari-hari ini saya terkena hukumannya : sebagai penggemar sepakbola tetapi tidak bisa menonton helat akbar Piala Dunia 2010 Afrika Selatan itu pula.

Nasehat pertama itu merupakan pepatah Cina. Terkait Piala Dunia 2010, jauh-jauh hari saya tidak menggali sumur itu terlebih dahulu. Saya abai terhadap realitas bahwa akses siaran televisi dari kota saya, Wonogiri, memiliki kendala yang kronis. Masuk area blank spot. Karena topografi Wonogiri kota yang terkepung gunung, membuat akses siaran itu mengalami kendala berat.

Selama ini, entah mengapa, pemerintah daerah tak hirau akan hal itu. Mereka nampak tidak ada prakarsa untuk misalnya, mendesak fihak televisi swasta agar membangun pemancar penguat di gunung-gunung sekitar pusat Kota Gaplek ini. Kemungkinan lain, karena rakyat sudah dianggap mampu menemukan solusinya sendiri : dengan memakai jasa operator televisi kabel lokal.

Operator televisi kabel ini oleh bos media raksasa Rupert Murdoch disebut sebagai splendid entrepreneur. Lima tahun lalu saya telah menulis surat pembaca, tentang hal itu seperti di bawah ini :


Murdoch vs SCTV dan TV7
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Jumat, 23 Desember 2005

Berita majalah Gatra (8/10/2005) mengenai kiprah raja media Rupert Murdoch memiliki sebagian saham televisi swasta AnTV, mengingatkan kiat bisnisnya yang unik. Seperti diceritakan oleh majalah Business Week (6/3/1995) saat siaran televisi satelitnya Star TV dicuri oleh penduduk di India dan dijual kembali melalui jaringan kabel, Murdoch justru membiarkan hal itu.

Para pencuri siarannya tersebut justru ia sebut sebagai wiraswastawan yang cerdas, splendid entrepreneur. Karena dengan semakin meluasnya jangkauan siaran bagi Star TV membuka peluang Murdoch untuk menaikkan biaya pemasangan iklan di stasiunnya tersebut.

Kiat cerdas Murdoch itu di dalam negeri justru disingkiri oleh stasiun televisi SCTV dan TV 7 yang masing-masing memiliki hak eksklusif dalam menyiarkan Piala Dunia Sepakbola 2006 dan Liga Inggris. Seperti di daerah saya, yang topografinya terkepung pegunungan membuat sebagian besar siaran televisi nasional sulit masuk. Termasuk SCTV dan TV 7.

Kami sedikit berlega hati ketika muncul wiraswastawan cerdas yang membisniskan siaran satelit seperti yang disebut Rupert Murdoch. Dengan biaya ringan, tiap rumah tangga kini dapat lebih jelas menonton televisi lewat jaringan kabel. Tetapi untuk acara sepakbola pada kedua stasiun tersebut telah dilakukan pengacakan, yang membuat kami tidak bisa menonton Liga Inggris dan terancam besar kemungkinan tidak bisa nonton Piala Dunia 2006 nanti.

Bisakah kedua stasiun televisi tersebut segera membangun stasiun penguat sehingga membuka akses warga kota kami untuk bisa nonton siaran sepakbola yang mereka pancarkan ?


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Syukurlah, siaran Piala Dunia 2006 Jerman di Wonogiri saat itu bisa terakses melalui jasa operator televisi kabel lokal. Dari awal sampai saat Italia berjaya sebagai juara. Tetapi sukses di masa lalu itu, ternyata kemungkinan tidak terulang pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kali ini. Gelagatnya sudah tercium sejak hari pertama Piala Dunia 2010 digulirkan.

Pathet Lao. Pada pertandingan pertama, Afrika Selatan-Mexico (11/6/2010), saluran RCTI dan GlobalTV blank, kosong melompong. Syukurlah, di terminal angkot Wonogiri ada siaran nonton bareng yang diselenggarakan Supermi. Saya ikut menonton bersama ribuan warga Wonogiri. Saat pulang, tetangga saya mengeluarkan pesawat televisi di halaman rumah dan ditunggui beberapa orang. Di Bauresan, ada poskamling dengan pesawat televisi, juga diminati warga sekitar.

Apakah sudah normal siaran sepakbolanya ? Betul juga rupanya. Dalam pertandingan kedua, dini hari, Uruguay vs Perancis (12/6/2010), siaran itu telah hadir. Tetapi yang muncul di layar televisi Wonogiri adalah TV3 Laos. Tulisan yang muncul di layar seperti huruf Palawa atau huruf Jawa. Saya saat itu tergoda untuk merasa sebagai warga negara Laos ketimbang sebagai warga negara Republik Indonesia. Apa boleh buat !

Satu-dua hari kemudian, televisi Laos itu terus saja muncul, membuat saya terpercik ide : ingin mempelajari istilah-istilah pertandingan sepakbola dalam bahasa dari negeri pemilik gerakan Pathet Lao dukungan Vietnam Utara yang berkuasa di Laos sejak 1975 itu. Rasanya ingin pula bisa berteriak dalam bahasa Laos ketika favorit saya Jerman (14/6), berkat gol-gol dari Podolsky, Klose, Muller dan Cacau, telah menekuk Australia 4-0.

Tetapi sedih juga, karena Australia itu separo mewakili Asia dan menyingkirkan Indonesia dalam babak kualifikasi. Tim Cahill yang dapat kartu merah benar-benar tak berkutik di kaki anak-anak negeri asal Franz Beckenbauer yang oleh Henry Kissinger dijuluki sebagai The Emperor of Soccer, Sang Kaisar Sepakbola, ketika berlangsung Piala Dunia 2006 di Jerman.

Kejutan terjadi di dini hari, saat tayangan Korea Utara yang dengan gagah berani dan ulet melawan Brasil (16/6) walau kalah 1-2. Karena saat itu di layar telah muncul siaran dari RCTI. Ada rasa lega, ada harapan bahwa hari-hari ke depan siaran seperti Piala Dunia 2006 akan berlangsung lancar dan normal.

Karena sehari sebelumnya, saat Selandia Baru vs Slowakia, saluran dari Laos itu malah menghilang. Digantikan sajian siaran dengan logo "MRTV," yang dari iklannya sepertinya saluran itu dari negeri Burma. Tayangannya pun hitam putih. Dini hari (17/6), tidur saya kebablasan. Tidak menonton tuan rumah Afrika Selatan saat dibantai Diego Forlan dkk. dengan 3 gol tanpa balas. .

Berkah terselubung. Tuan rumah Afrika Selatan yang kesakitan didera kekalahan itu mengingatkan saya akan artikel yang ditulis kolumnis sepakbola Rayana Djakasurya di majalah Esquire edisi Indonesia, terbitan Juni 2010. Pada majalah yang sama, pada artikel tentang epidemi kerusuhan suporter di Indonesia yang berjudul "Menghapus Noda Merah," halaman 144-147, pendapat saya yang masih pendapat lama dan klise tentang situasi mutakhir dunia suporter sepakbola Indonesia dimuat. Nama saya disebut tiga kali :-)

Edisi itu lalu saya komentari isinya dan saya kirimkan kepada Syarief Hidayatullah, Junior Editor. Tak sangka, ia malah menawari saya 'pekerjaan' sebagai komentator kritis untuk tiap-tiap terbitan Esquire Indonesia.

Untuk itu ia akan mengirimi majalah tersebut secara gratis setiap bulannya. Dan bahkan -bila saya sempat- Syarief pun mengajak saya untuk bisa ngopi pagi di Jakarta, guna membicarakan majalah ini, dan topik terkait lainnya. Balasan semacam ini merupakan kehormatan, karena sebenarnya majalah ini sudah sangat bagus sajiannya. Well, mungkinkah itu berkah terselubung bagi saya dari Piala Dunia ?

Bagi saya, edisi Juni itu merupakan sebagai edisi encounters of the third kinds bagi minat saya. Karena, antara lain, meliput tiga topik yang saya sukai. Antara lain, tentang komedi, dengan sajian profil dan wawancara mendalam dengan Tina Fey, komediene top AS yang kelahiran 18 Mei 1970. Kemudian topik teknologi informasi, ada profil Onno W. Purbo dan ulasan menguak eforia digitalisasi media yang menderu-deru di Indonesia saat ini.

Dan tentu saja, tentang sepakbola. Selain reuni dengan sobat saya yang pencinta sepakbola dan sineas Andibachtiar Yusuf yang terpilih sebagai salah satu dari 10 best dressed real men 2010 dengan foto kerennya terpajang di edisi itu pula, hadir pula Rayana Djakasurya dengan judul tulisan "Mimpi Menjadi Tuan Rumah." Bung Ray ini seolah menertawakan impian, tegasnya (menurut saya sebagai) tipuan kehumasan, yang dilakukan oleh para petinggi organisasi sepakbola Indonesia ketika berambisi mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Sambil mengutip peringkat timnas kita yang kini hanya mampu pada posisi 135 Ranking FIFA, ia pun menyeletuk : "Jika tim nasional Garuda kalah dengan angka lima belas gol tanpa balas, hal ini akan menjadi masalah besar dan kutukan yang bisa saja diberikan FIFA."

Merujuk kekalahan tuan rumah Afrika Selatan, saya menerawang : untuk tiga kali pertandingan di babak penyisihan, bisa jadi Indonesia akan mengalami kebobolan 45 gol tanpa balas di ajang seakbar Piala Dunia. Lalu saya ingat obrolan dengan Ponaryo Astaman, 6 November 2006 di Solo, bahwa pemain sepakbola Indonesia tidak pernah di-drill peraturan yang baku dan benar dalam bermain sepakbola.

Yang terjadi kemudian betapa para pemain sepakbola kita mematuhi dan menghayati peraturan hanya dijalani dengan proses trial and error belaka. Keadaan kronis ini, bila dinilai secara sarkastis, berpeluang menimbulkan konsekuensi di mana 13 dari 11 pemain kita mudah terancam memperoleh kartu merah dalam laga internasional. Sementara kartu merah lainnya ekstra untuk para pengurus dan kemudian juga bagi suporternya !

Dampak neo-liberalisme ? Hari suram Piala Dunia 2010 di Wonogiri akhirnya tiba. Tanggal 17 Juni 2010, sore hari hari muncul telop di layar televisi. Inti pengumuman itu : "Karena memperoleh larangan dari fihak yang berwenang, terpaksa siaran Piala Dunia tidak bisa kami tayangkan."

Anda mungkin tahu bahwa pemegang lisensi Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ini adalah PT Electronic City Entertainment. Perusahaan ini lalu menunjuk PT Dunia Digital secara eksklusif sebagai pemegang hak siaran satelit dan televisi kabel. Jadi konsumen yang daerahnya termasuk blank spot seperti Wonogiri, harus membeli antene penerima merek Matrix Bola dari PT Dunia Digital itu.

Sementara perusahaan itu juga menegaskan tidak bekerja sama dengan perusahaan televisi kabel mana pun dalam redistribusi siaran 2010 FIFA WORLD CUP SOUTH AFRICA itu. Mereka nampak tidak main-main.

Di Makasar, Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) telah melakukan razia dan penyegelan terhadap PT Prima Vision, sebuah perusahaan TV berlangganan di Makassar. Penyegelan dilakukan karena perusahaan milik Waris Halid ["saudara Nurdin Halid ?"- BH] tersebut diduga melakukan siaran langsung Piala Dunia 2010 secara ilegal. Menyiarkan tanpa ijin, operator televisi kabel dapat didenda sebesar lima milyar.

Kontrak dagang semacam itu yang oleh sebagian orang dapat disebut sebagai perwujudan mazhab ekonomi neo-liberalisme, kemudian membuat sebagian warga rendahan di Wonogiri, juga tak sedikit di bagian dari Tanah Air ini, menjadi mundur untuk kembali memasuki era kegelapan. Istilah "dunia digital" yang bagi saya mudah mengingatkan buku Being Digital (1995) karya nabi media digital Nicholas Negroponte dari Media Lab, MIT, yang bermakna pembebasan, di Indonesia menyiratkan hal sebaliknya.

Ia bilang, "The global nature of the digital world increasingly erode former and smaller demarcations," yang menegaskan betapa dalam dunia digital ini lalu lintas informasi tak ada lagi batas-batasnya. Demikian pula istilah digital selalu berkonotasikan sebagai keadaan di mana sajian informasi serba berkelimpahan, karena unsurnya semata berasal dari butir-butir pasir, quartz, yang melimpah di bumi ini.

Seturut pemikiran besar itu maka dalam laporan majalah Business Week (6/3/1995) dengan judul "The Technology Paradox," dinyatakan bahwa produk-produk teknologi tinggi sekarang ini merupakan produk-produk murahan. Agar laku sebaiknya justru harus diobral murah, karena semakin banyak yang memakai akan semakin bernilai. Kemudian produsennya justru berpeluang menangguk untung jauh lebih besar dengan model bisnis yang lebih canggih lagi. Sekedar contoh, telepon seluler dijual murah, sementara untung ditangguk dari penjualan pulsa !

PT Dunia Digital nampak belum canggih dalam mengelola model bisnis mutakhir itu.Mereka ibarat penjual kelontong, ingin dagangannya cepat-cepat laku. Tidak ada niatan menjaga loyalitas konsumen dalam jangka panjang. Mereka hanya berkonsentrasi untuk menjual pelat-pelat besi dan sinyal-sinyal listrik belaka. Bahkan merek dagang mereka itu justru menyiratkan makna sebaliknya, dengan dampak mengakibatkan warga yang sudah papa dan paling butuh hiburan ternyata tidak semuanya memiliki akses terhadap informasi terkait pesta yang berlabel sebagai piala dunia itu.

Begitulah, barangkali nama-nama dan merek di atas itu mungkin akan sulit kami lupakan. Yang pasti : sukses dan kegembiraan warga biasa di Wonogiri yang bisa menonton siaran Piala Dunia 2006 sepertinya tidak terjadi lagi di tahun 2010 ini.

Nasehat The Rolling Stones. Untuk mencoba mencari solusi, saya telah menulis untuk wall di Facebook, mengirimkannya sebagai message ke Arief Suditomo, Putra Nababan ("gagal"), Y.A. Sunyoto (Pemred Harian Solopos), Restu Santoso (wartawan olahraga koran Seputar Indonesia), Arista Budiyono (suporter dan pengelola situs suporter.info, yang langsung ia pajang !), Broto Happy W. (wartawan Tabloid BOLA), juga Triyanto Hery Suryanto yang pengurus Persiwi Wonogiri dan wartawan koran Solopos. Malam harinya, juga saya kirimkan ke RCTI.

Selain itu saya juga sms ke kandidat calon bupati Wonogiri. Ada dua tokoh. Tokoh pertama, langsung merespons agar saya mencari solusi dan kemudian meminta solusi itu dibincangkan bersama dirinya. Untuk itu kemudian saya mengirimkan email ke PT Dunia Digital untuk minta informasi syarat redistribusi siaran 2010 FIFA World Cup South Africa. SMS untuk kandidat calon bupati Wonogiri yang kedua, saya kirimkan melalui kalangan yang dekat dengan dirinya. Sampai saat artikel ini ditulis (18/6), belum ada kabar kelanjutan.

Galilah sumur sebelum haus.
Saya dan juga warga kota saya, tidak melakukannya.
Tetapi, sudahlah.

Dari pelbagai ikhtiar kecil tersebut di atas, syukurlah saya sudah bersiap untuk mengantisipasi hal terburuk untuk terjadi. Yaitu : tidak bisa memperoleh akses siaran langsung Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kali ini.Lagu topnya Mick Jagger dan kawan-kawan, "You Can't Always Get What You Want," sudah mulai saya putar-putar di rongga kepala ini.

Toh hidup harus terus berjalan. Saya yakin, saya tidak sendirian. Apalagi sebelumnya saya memperoleh email dari rekan saya di Melbourne, Lasma Siregar, berisi cerita tentang jutaan warga Bangladesh yang tak nyaman menonton Piala Dunia 2010. Karena persediaan tenaga listrik negaranya yang cumpen, terbatas.

Tulis Lasma Siregar : "Saat tim kesayangan mereka lagi seru-serunya bermain bola dan kian mendekat kearah gawang lawannya, mendadak lampu padam! Ya ngamuklah para penggila sepakbola dan menyerbu kantor semacam PLN-nya Bangladesh! Mereka diancam kalau terus-terusan begini, 'tahu sendiri-lah !'"

Syukurlah, sejauh ini, tidak ada amuk massa di Wonogiri. Walau konon pernah ada kajian bahwa pesta Piala Dunia mampu menurunkan tingkat tindak kriminalitas, saya tidak tahu apakah akan hadir dampak sebaliknya ketika Piala Dunia 2010 secara praktis memang telah berakhir di Wonogiri ini.

Tiba-tiba saya menjadi ingat Pak Harto. Ucapan khas Pak Harto, yang pernah besar pula di Wonogiri, mungkin dapat dijadikan sebagai terapi rasa kecewa sekadarnya bagi warga kota ini. Kata-kata Pak Harto sebelum lengser 21 Mei 1998 itu kiranya bisa juga saya gunakan untuk meledeki nasib diri sendiri terkait Piala Dunia 2010 kali ini.

Sambil tetap saja dengan tertawa-tawa. Tawa orang yang getol sepakbola tetapi saat Piala Dunia 2010 saat ini harus berusaha hidup tanpa Piala Dunia.

"Ora nonton Piala Dunia, ora pateken !"


Wonogiri, 18 Juni 2010

Labels: , , , , , , , , , , ,

Thursday, June 10, 2010 

Suporter 2.0, Piala Dunia dan Budaya Korupsi Kita





Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


“Sepak bola,” kata Nelson Mandela, “merupakan aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia.”

Merujuk negerinya dengan sejarah kelam tergencet politik apartheid yang panjang, kemudian bangkit dalam rekonsiliasi, dan di bulan Juni 2010 ini menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, ucapan Bapak Afrika Selatan itu terasa membiaskan kebenaran. Indonesia berpuluh tahun lewat telah pula merasakannya.

Itu terjadi pada tahun 1938 ketika ucapan Mandela tersebut punya makna bagi kita. Karena tim Asia pertama yang terjun dalam Piala Dunia 1938 di Perancis itu, walau masih di bawah bendera pemerintahan Hindia Belanda, adalah tim Indonesia yang terdiri beragam etnis bangsa. R.N. Bayuaji dalam bukunya Tionghoa Surabaya Dalam Sepakbola (2010), menyebutkan dalam tim tersebut terdapat pemain orang Belanda, Tionghoa dan Bumiputera.

Kemudian keikutsertaan Indonesia oleh novelis asal Uruguay, Eduardo Galeano, dalam Football in Sun and Shadow (2003) yang menulis panorama sepak bola dunia dengan kaya konteks, berdegup dan indah, telah dicatat sebagai satu di antara tiga kaitan antara Indonesia dan Piala Dunia.

Kaitan pertama, peristiwa di Piala Dunia Perancis tahun 1938 itu pula. Dalam pertandingan pertama di Reims Indonesia ditekuk calon finalis Hungaria 6-0, menjadikan momen itu sebagai pengalaman pertama negara kita ini mencicipi terjun sebagai finalis Piala Dunia.

Selebihnya, dua kaitan sisanya oleh Eduardo Galeano Indonesia hanya menjadi latar belakang peristiwa besar dunia terkait masa kenaikan rezim tiran Soeharto dan Orde Barunya (Piala Dunia 1966 di Inggris) dan sekaligus masa keruntuhannya (Piala Dunia 1998 (Perancis).

Dan hari ini, setelah 72 tahun Piala Dunia 1938 di Perancis itu, mengapa sepakbola Indonesia tidak pernah mampu lagi berbicara di tingkat dunia ? Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, mengungkap bahwa posisi sepak bola Indonesia dalam percaturan dunia kini berada dalam posisi periferi, pinggiran.

Dalam artikel "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia sebagai akibat masih meruyaknya budaya kekerasan di teater sepak bola kita dan belum kokohnya budaya demokrasi di negeri ini.

Seolah memberi garis bawah realitas itu, seorang Emil Salim baru-baru ini menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia ibarat anak-anak yang masih berusia 2-3 tahun.

bambang haryanto,solopos 10 juni 2010,piala dunia 1938,korupsi,suporter 2.0


Teater sepak bola kita, seperti halnya sendi-sendi kehidupan bangsa ini di pelbagai sektor lainnya, makin diperunyam oleh budaya korupsi yang menggurita. “Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara.”

Itulah kenangan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998.

Tetapi di mana kini Indonesia dalam percaturan sepakbola Asia Tenggara ? Tidak membangggakan. Apalagi di Asia, dan tingkat dunia. Sepakbola kita hanya mampu memiliki masa lalu. Dalam artikel itu tersaji gambar pemain Indonesia Rocky Putiray, dengan teks berbunyi : “Pemain Indonesia seperti Peri Shandria yang sedang melompat itu memiliki bakat, tetapi pertandingan seringkali sudah diatur skornya.”

Peter Velappan kemudian melanjutkan bahwa asal-muasal keterpurukan prestasi Indonesia itu bersumber akibat “organisasi persepakbolaannya yang amburadul dan tidak mampu membersihkan borok korupsi yang ada,” sebagaimana keterpurukan prestasi sepak bola di Asia Tenggara selama berpuluh-puluh tahun terakhir ini pula.

Dalam belitan meruyaknya budaya korupsi itu maka sepakbola Indonesia merupakan teater sepakbola penuh rekayasa. Peraturan begitu mudah berganti-ganti, tetapi pada ujungnya hanyalah jeblognya prestasi demi prestasi timnas kita di pertandingan internasional.

Penghamburan uang negara dengan mengirim mereka berlatih ke luar negeri, misalnya ke Belanda, Argentina dan kini ke Uruguay, tidak lain hanyalah tipuan kehumasan untuk memoles citra. Trik semacam ini sudah berlangsung sejak jaman Primavera di era 1980-an dan semuanya berbuah kegagalan.

Kegairahan bangsa Indonesia terhadap sepak bola telah dibajak oleh elite dalam tubuh PSSI untuk kepentingan bisnis rejim mereka sendiri. Bos PSSI, Nurdin Halid pernah bilang dengan bangga bahwa kompetisi di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, baik dalam jumlah klub mau pun luas wilayahnya. Tetapi potensi besar itu selalu saja menjadi mandul ketika timnas kita atau klub-klub kita bertanding melawan tim di kawasan Asia Tenggara dan Asia.

Solusi di masa depan untuk mengatasi jeblognya prestasi sepakbola kita mungkin justru berada di tangan lembaga yang kini sedang mengalami gonjang-ganjing : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kita harapkan lembaga ini, setelah pelbagai badai yang menerpanya lewat, akan membuatnya sosoknya semakin kokoh dan berwibawa. Setelah pelbagai kasus besar yang urgen bisa selesai, kita harapkan KPK akan hadir membongkar gurita-gurita korupsi dalam tubuh persepakbolaan nasional kita.

Sebagai suporter, saya imbau agar organisasi-organisasi suporter sepakbola Indonesia ikut bangkit sebagai kekuatan positif, dengan mulai mengasah diri untuk menjadi sosok Suporter 2.0.

Dapat diibaratkan bahwa Suporter 1.0. mewakili era suporter yang kreatif dan atraktif seperti digelorakan antara lain oleh Pasoepati di tahun 2000, maka Suporter 2.0. harus memanfaatkan kedahsyatan media-media sosial di Internet sebagai sarana aktualisasi kiprah positif mereka.

Termasuk pula menjadi anjing penjaga, watch dog, yang secara kritis mencatat dan melaporkan jalannya roda manajemen klub yang ia dukung untuk diangkat sebagai wacana publik demi terselenggaranya proses check and balances dalam meraih kebaikan dan kesuksesan bersama.

Selamat menikmati Piala Dunia 2010. Sekaligus mari kita banyak belajar dari negerinya Nelson Mandela ini ! [Artikel ini dengan judul “Piala dunia dan Budaya Korupsi Kita,” dimuat di harian Solopos, Kamis, 10 Juni 2010].



Wonogiri, 10/6/2010

Labels: , , , , , , , , , , ,

Sunday, June 06, 2010 

Esquire, Yahoo ! dan Piala Dunia 2010




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Mestakung. Semesta mendukung.
Anda kenal istilah ini ?

Istilah ini dipopulerkan oleh Yohanes Surya, ilmuwan Indonesia yang banyak menelorkan anak-anak muda Indonesia berprestasi menggetarkan dalam lomba-lomba sains di tingkat dunia. Bahkan ia pula mencita-citakan lahirnya pemenang-pemenang Nobel dari Indonesia.

"Kalau kita bercita-cita tinggi," begitu kurang lebihnya beliau selalu berkata, "maka kekuatan dahsyat alam semesta ini akan mendukung keberhasilan kita."

Saya lalu ingat kata-kata serupa dari George Bernard Shaw. Atau Goethe ? Juga Paulo Coelho. Dan kalau Anda rada jeli dalam membaca pelbagai buku-buku motivasi di Indonesia, yang sering dipompa dengan embel-embel sebagai buku-buku laris, variasi dari kredo Pak Surya itu bertebaran dan berdengung di mana-mana.

Ajaibnya, menjelang Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, saya agak-agak GR karena juga ikut kecipratan kesaktian dari kredo inspiratif itu.

Esquire Mewawancara. Mungkin semuanya ini hanya kebetulan. Diawali dengan sekadar niat untuk menghangatkan diri menjelang Piala Dunia 2010, saya memperbarui tampilan foto di akun Facebook saya.

Foto lama saya, yang dijepret Oktober 2009 di Wonogiri, digantikan dengan foto baru yang dijepret di Bogor lebih lama lagi tahunnya, 2002. Begitulah : lama yang baru digantikan dengan yang baru tetapi lama.

Kemudian pada wall pada tanggal 28 April 2010 itu saya tuliskan : "Ziarah teragung suporter sepakbola sejagat adalah saat berlangsungnya Piala Dunia. Merujuk momen ritual sepanjang Juni 2010 nanti, saya mengganti foto diri di Facebook ini dengan foto saat berkostum sebagai suporter sepakbola.

Sekadar cerita, saya tercatat di MURI sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000). Foto ini diambil bulan April 2002 saat membawa trofi sebagai pemenang Honda The Power of Dreams Contest 2002."

Satu-dua hari sesudah pembaruan foto dan misi itu, mestakung pun rupanya terjadi. Saya memperoleh telepon tak terduga. Dari Syarif yang mengatakan dirinya wartawan majalah Esquire Indonesia. Langsung saya katakan, "majalah Anda ini, yang versi aslinya terbitan Amerika Serikat, salah satu majalah favorit saya."

Majalah Esquire adalah majalah pria kelas atas. Terbit pertama kali tahun 1932. Slogannya : Man At His Best. Salah satu artikelnya yang membekas adalah bahasan tentang Sindrom Peter Pan. Artikel panjang lebar itu mengupas sisi-sisi kelam dan problem psikologis lelaki yang tidak mau tumbuh dewasa sebagaimana tokoh fiksi Peter Pan. Sayang, fotokopi artikel itu terselip entah di mana kini.

Syukurlah artikel Tad Friend, "Sitcom, Seriously" (Maret 1993) yang saya fotokopi di perpustakaan American Cultural Center Jakarta (1/4/1993), masih utuh. Tulisan komprehensif ini masih sering saya buka-buka bila menemui sitkom-sitkom gombal, yang digarap tanpa bekal pendekatan intelektual, bersliweran di layar televisi kita.

Wawancara via telepon Jakarta-Wonogiri itu, apa lagi kalau bukan membedah fenomena maraknya tindak anarkis pada sosok suporter sepak bola Indonesia. Suporter dan kekerasan. Kekerasan dan suporter. Dua muka dari keping mata uang yang tidak bisa diubah ?

Jawaban saya untuk masalah itu tetap saja klise.

Gerombolan selalu memicu anonimitas. Gerombolan adalah "an angry group with many hands but no brains. " Mereka merupakan sekelompok orang yang marah, memiliki banyak tangan tetapi sama sekali tidak memiliki otak. Fenomena ini berlaku untuk siapa saja, termasuk para ulama.

Jawaban klise saya lainnya adalah, pendekatan hukum yang tanggung oleh aparat terhadap para pelaku tindak kekerasan berbaju suporter itu tidak membuat efek jera yang efektif.

Contoh lama : Beri Mardias, suporter PSP Padang asal Jatiwaringin, telah tewas dikeroyok suporter Persija (2/2/2002), di Senayan. Atau suporter Persija, Fathul Mulyadin (6/2/08) yang tewas dikeroyok suporter Persipura. Juga terjadi di Senayan.

Tak pernah ada kabar polisi melakukan pengusutan apalagi mengajukan pelakunya ke meja hijau. Terlebih lagi, sobatku sesama suporter sepak bola Indonesia, masihkah kita mengingat mereka itu sebagai manusia ?

Contoh terbaru. Di koran Jawapos, terbaca surat pembaca yang menceritakan teror suporter Aremania ketika berkonvoi merayakan prestasi Arema sebagai juara Liga Super Indonesia. Mereka itu dikeluhkan karena menggedor-gedor mobil yang kebetulan memakai plat polisi L yang ditemui di jalan, walau penumpangnya adalah warga Malang pula. Di dalamnya terdapat anak kecil yang menjerit-jerit ketakutan. Betapa dalam trauma yang akan membekas pada dirinya. Mungkin seumur hidup.

Koran itu lalu menyebut sebagai fihak Aremania yang memberikan jawaban bahwa "aksi itu dilakukan oleh oknum yang ingin mencemarkan nama baik Aremania."

Dirangkul Yahoo ! Usai berurusan dengan Esquire Indonesia, sambil tidak tahu kapan tulisan tentang suporter itu akan diterbitkan walau Syarif berjanji akan mengirimkan majalahnya, angin berkah fenomena mestakung rupanya berlanjut. Kali ini berupa email (4/5/2010) tak terduga dari Ali Zaenal Abidin. Pribadi yang belum saya kenal sebelumnya. Petikan emailnya :

"Halo Bambang. Dari Havas PR, saya mengirim email ini atas nama klien kami, Yahoo! Kami lihat artikel - artikel pada situs Anda sangat menarik dan banyak dikunjungi penggemar sepak bola di Indonesia di mana saya yakin Anda dan pengunjung situs Anda akan tertarik dengan apa yang Yahoo! rencanakan.

Setelah 4 tahun menunggu, Afrika Selatan sudah semakin dekat dan kami ingin menginformasikan sesuatu yang sangat menarik dari Yahoo! di mana Anda juga dapat terlibat di dalamnya.

Beberapa minggu lagi, Yahoo! akan memulai kampanye global dengan acara-acara yang akan diadakan di kota-kota berikut : London, Madrid, Milan, Berlin, Paris, Sao Paulo, Jakarta, dan Seoul. Acara - acara ini akan diadakan di lokasi populer di masing-masing kota bersama penjaga gawang - penjaga gawang masa lalu dan masa kini, untuk memainkan adu penalti dengan anggota media dan publik.

Yahoo! juga menawarkan para sepak bola mania kesempatan untuk ikut serta dalam permainan adu penalti online secara global, di mana pemenang yang dapat memimpin klasemen permainan ini akan ikut serta dalam tendangan penalti sekali seumur hidup melawan penjaga gawang kelas dunia untuk memenangkan Yahoo! Ultimate Sports Pass - memenangkan akses untuk 16 acara olah raga akbar selama 4 tahun ke depan, diakhiri di Brazil tahun 2014.

Meskipun sementara ini kami belum dapat mengumumkan detil acara ini, kami ingin mengetahui apakah Anda tertarik untuk mempromosikan info ini kepada pembaca Anda.

Saya masih memiliki banyak informasi mengenai peluncuran acara ini dalam waktu dekat, tapi semoga informasi yang Anda dapatkan saat ini sudah cukup menarik untuk menjelaskan apa yang akan kita lakukan pada bulan Mei ini.

Tentunya Anda sekarang Anda memiliki banyak pertanyaan yang ingin Anda tanyakan, karenanya jangan ragu untuk menghubungi dan sampaikan pertanyaan- pertanyaan Anda mengenai apa yang sudah kami persiapkan untuk beberapa minggu dan bulan ke depan. "

Terima kasih, Ali Zaenal Abidin.

Dengan sedikit gliyeran, sempoyongan akibat kepala rada-rada membengkak karena bangga, mirip petinju kena punch drunk, saya menjawab : bersedia. Dengan syarat, kalau kegiatan itu disponsori oleh pabrik rokok akan saya tolak. Kembali Ali Zaenal Abidin di email yang saya baca 5 Mei 2010 bercerita :

"Mengenai situs Indonesia yang bekerja sama dengan kami, kami bekerja sama dengan situs - situs yang memfokuskan situs mereka dengan sepak bola. Karena itulah kami melihat situs Anda sebagai situs yang tidak hanya berisi mengenai artikel-artikel sepak bola, tapi juga memiliki banyak pengunjung. Terima kasih, dan dalam waktu dekat ini kami akan mengirimkan info lebih rinci mengenai acara ini."

Musim mabuk sepak bola. Saya pun hanya bisa menunggu. Hingga pada awal Juni 2010 ini saya membaca-baca berita di surat kabar, bacanya di Perpustakaan Umum Wonogiri, tentang kedatangan mantan kiper Arsenal dan Inggris, David Seaman, ke Jakarta.

Dalam foto ia nampak beraksi mengadang tendangan penalti, dengan memakai kaos kuning bertuliskan logo Yahoo ! Apakah acara David Seaman itu yang dimaksud oleh Ali Zaenal Abidin di atas ? Saya tidak tahu. Yang pasti, sejak email 5 Mei 2010 itu saya tidak memperoleh kabar lanjut dari dirinya. OK. Mungkin saya akan dapat kabar baru darinya lagi, menjelang Piala Dunia di Brazil tahun 2014 nanti.

Selain kabar tentang David Seaman, di perpustakaan kota saya itu juga memergoki majalah Intisari edisi Mei dan Juni 2010. Nampaknya juga ikut-ikutan terjun dalam musim mabuk sepak bola. Edisi Mei 2010 memajang artikel "Noda-noda sepak bola" oleh Seno Gumira Ajidarma.

Ia antara lain mengaduk isi buku-bukunya Franklin Foer, How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization (2004), karya Simon Kuper yang Football Against the Enemy (1994), dan juga karya Alex Bellos, Futebol : The Brazilian Way of Life (2002).

Ketika menatap judul paragraf "Korupsi di Negeri Bola" dari artikel itu, saya sudah titip harapan Seno Gumira Ajidarma akan mengupas fenomena korupsi di tubuh sepak bola tanah air. Karena, menurut saya, memblenya prestasi sepak bola kita sejak puluhan tahun terakhir ini, ya akibat menyeruaknya budaya korupsi itu.

Bukankah malah bos PSSI, Nurdin Halid, pernah pula mendekam di penjara akibat kasus korupsi jua ? Saya harus kecewa, karena ia malah membedah selintas korupsi yang terjadi di Brazil sana.

Di halaman lain Intisari edisi Mei 2010 itu Anda dapat menemukan tulisan tentang suporter sepak bola Indonesia. Berjudul, "Penonton Anonim Cenderung Nekat," goresan pena Ira Lathief, kontributor Intisari. Ira ini, kebetulan adalah kenalan maya saya.

Ira yang memiliki blog dengan slogan " think globally, laugh locally" telah pula berkenan menulis endorsement yang inspiratif dan insinuatif untuk buku saya, Komedikus Erektus.

Buku ketiga saya itu, yang oleh wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy dikomentari sebagai buku yang berisi "satir politik jenis baru yang segar, mencerahkan dan cerdas yang sudah lama diakrabi masyarakat Barat," kini dalam perampungan akhir oleh Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania dan menunggu diluncurkan.

Sajian Intisari itu ikut menandai musim mabuk sepak bola yang kini terasa kental mewarnai media massa cetak di tanah air. Koran lokal Solopos misalnya, meluncurkan lembaran khusus yang isinya tentang Piala Dunia 2010. Hanya gelontoran berita dan berita semata. Ibaratnya tinggal menerjemahkan isi dari situs Piala Dunia 2010 dari FIFA dan kantor berita lainnya.

Tak ada semacam sentuhan kreativitas, misalnya mengaitkan mabuk Piala Dunia 2010 itu dengan isu-isu lokal yang relevan. Tak ada kolumnis-kolumnis lokal yang bisa ditampilkan. Juga belum tersedia kolom untuk menfasilitasi kiprah user generated content, di mana para penggila bola lokal dapat riuh-rendah bertukar komentar atau opini. Koran-koran lainnya, misalnya Suara Merdeka, pendekatannya juga kurang lebih sama.

Penumpang istimewa. Kembali ke isi majalah Intisari, tetapi kali ini merujuk ke edisi Juni 2010. Pada halaman 80 terdapat tulisan sehalaman berjudul "Penumpang Berbadan Sehat," oleh Irawan Agung Hidayat, dari Bekasi.

Ia bercerita mengenai penumpang pesawat terbang yang sering terpilih untuk duduk di dekat pintu darurat. Katanya, pilihan itu menandakan sang penumpang bersangkutan sebagai sosok istimewa. Apalagi ruang tempat duduk satu itu lebih longgar, kaki bisa berselonjor, dan si penumpang bersangkutan diam-diam di daulat sebagai "penumpang yang sehat dan fit."

Istilahnya dalam bahasa Inggris : able-bodied passenger. Artinya : bila keadaan darurat tiba-tiba terjadi dalam penerbangan itu, maka sang penumpang istimewa tersebut dinilai mampu bertindak cekatan untuk ikut menyelamatkan jiwa penumpang lainnya.

Tulisan itu membuat saya senyum-senyum.
Bernostalgia.

Tanggal 16 Januari 2005, bersama Mayor Haristanto, dan sama-sama berkostum suporter sepak bola Indonesia, kami berdua terbang menuju Singapura. Untuk mendukung Bambang Pamungkas dkk pada leg kedua final Piala Tiger 2004/2005. Begitu memasuki pesawat, di belakang tiba-tiba sudah terdengar semacam seruan : "Soccer boys ! "Soccer boys !"

Saya menoleh ke arah sumber seruan itu.
Segera kami bertukar senyum. Ada dua orang anak muda.

"Excuse me, guys. Are you Singaporean fans ?," tegurku.
"Yeah !," katanya dengan tatapan ramah.
"OK. See you tonight. Kallang Stadium. Good luck !"

Sayang mereka duduknya di belakang. Di tengah penerbangan saya menengok, mereka malah sedang tertidur. Tetapi kami sempat saling melambai ketika usai mengambil bagasi masing-masing dari ban berjalan. Salah satu bekal kami adalah spanduk ukuran 2 m x 12 meter bertuliskan : "Bangkit Indonesia !"

"There are only two emotions in a plane : boredom and terror."

Itulah kata Orson Welles (1915-1985), aktor dan sutradara film Amerika Serikat. Rasa bosan dan teror merupakan emosi yang menyeruak ketika kita berada dalam penerbangan. Untuk mengusir rasa bosan, sementara di seberang saya nampak sosok lelaki membuka-buka laptopnya, saya pun memutuskan membaca-baca majalah. Lalu tertarik melirik-lirik keterangan yang tertulis di dinding pesawat.

Ada tulisan yang menarik di situ.

Gumam saya kini : "Kalau dalam psike masyarakat sosok suporter identik gerombolan tukang teror dan suka bertindak anarkis, dalam penerbangan yang lalu itu kami sebagai suporter sepak bola Indonesia ternyata mendapatkan pulung kehormatan.

Sebagai able-bodied passenger.
Tempat duduk kami berada paling dekat pintu darurat.
Mungkin ini terjadi semata karena kebetulan belaka.
Atau juga fenomena mestakung ?"

Selamat menyongsong laga akbar Piala Dunia 2010, sobat !


Wonogiri, 6 Juni 2010

["Selamat ulang tahun, semoga berbahagia, sehat-sehat selalu dan panjang umur untuk Krisandari Yuningrum."]

si

Labels: , , , , , , , , , , , ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates