Friday, November 24, 2006 

Reuni Piala Tiger 2005 dan Pasoepati di Stadion Manahan (3-Habis)



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Kartu Merah Ronny Pattinasarany ! Pemain favorit saya dini hari tadi membikin gol. Membobol gawang Carlo Cudicini, kiper Chelsea. Sepak pojok si warrior Torsten Frings ia sambut dengan tandukan mematikan. Dialah Per Mertesacker, bek tengah Werder Bremen, kelahiran Hannover, 29 September 1984. Juga bek andalan Jerman pilihan Jurgen Klinsmann di Piala Dunia 2006.

Momen dini hari 23 November 2006 tersebut cukup menghibur hati. Karena secara tradisional saya condong menjagoi tim-tim Jerman di Liga Champions. Artinya, perebutan satu tempat terakhir menuju 16 Besar dari grup A Liga Champions 2006 ini akan diperebutkan nanti tanggal 5 Desember 2006. Oleh tuan rumah dan juara bertahan Barcelona melawan Tim Borowski, Miroslav Klose, Per Mertesacker, Torsten Frings dkk. dari Werder Bremen yang berasal dari kota industri dan pelabuhan di tepian Sungai Weser, Jerman ini.

Saya sebut menghibur, karena di hari Rabu, 22 November 2006, saya harus kembali mengelus dada melihat sepak terjang timnas U-23 Indonesia di Asian Games 2006 Doha, Qatar. Bobby Satria dkk. kembali takluk dalam pertandingan keduanya. Kali ini dipukul tim Suriah, 1-4. Lebih memalukan lagi, dua pemainnya, Fandy Mochtar dan Zulkifli Syukur, diganjar kartu merah.

Pelanggaran bodoh tersebut (demikian menurut Foppe de Haan, pelatih mereka selama di Belanda) seperti mengulang momen bobrok serupa saat pertandingan pertama. Ketika itu timnas yang berlatih selama 4 bulan di Belanda dan menghamburkan biaya 28 milyar, dipukul tim dari negara yang kini dalam kemelut terancam perang sektarian setelah digencet oleh AS : Irak. Indonesia dilumat 0-6, dengan dua orang pemain kena kartu merah dan kartu kuning terpaksa dikantongi oleh 6 pemain lainnya.

Image hosted by Photobucket.com

Proyek Jalan Pintas Yang Gagal Total. Feri Rotinsulu, kiper timnas U-23 yang diwawancarai BBC Indonesia saat berlatih di Belanda, mengatakan dengan percaya diri bahwa ia dan kawan- kawan telah mengalami banyak peningkatan dan siap untuk merebut juara di Asian Games 2006. Ucapan berbau strategi kehumasan itu akhirnya hanya merupakan pepesan kosong belaka. Sebagaimana termuat di Harian Kompas, 22/11/2006 (gambar), timnas Indonesia U-23 gagal total.

Update : Dalam wawancara dengan BBC Siaran Indonesia, 27 November 2006, Manajer Timnas U-23 Rahim Sukasah ketika disinggung hasil jelek timnya dengan kebobolan 6-0, 4-1 dan 1-1, ia mengatakan “jangan hanya dilihat dari golnya, karena ofisial tim Malaysia juga memuji permainan anak-anak Indonesia.” Lucu. Apa yang layak dipuji dengan kartu merah dan kartu kuning yang diterima oleh timnas kita itu ? Rahim Sukasah juga berkilah, merujuk bahwa anak asuhnya masih muda-muda, berusia 17-20-an, tidak berpengalaman dalam turnamen resmi. Juga waktu persiapan yang mepet. Ia menyebut tim lain sudah dipersiapkan sejak 3-4 tahun lalu, sementara timnas kita persiapannya hanya 4 bulan. Apakah kekeliruan dalam persiapan yang fatal tersebut, yang pasti akan hanya terus berbuah kegagalan total, bakal tidak pernah menjadi pelajaran berharga bagi pengelola persepakbolaan nasional ?


Kekuatiran berat saya itu, ah, kini benar-benar terbukti. Kebenaran isi obrolan saya dengan Ponaryo Astaman di Hotel Agas Solo, 6 November 2006, bahwa sebagai pemain timnas dirinya tidak pernah diberikan sosialisasi peraturan cara-cara bermain sepakbola yang benar, kini rupanya menjadi kenyataan pahit yang harus ditelan. Terbukti para pemain muda kita lebih parah dalam penguasaan hal-hal yang amat fundamental dalam bermain sepakbola.

Ignoransi berakibat fatal itu bahkan mungkin sudah meruyak di teater sepakbola Indonesia lebih lama lagi. Saya ingat peristiwa puluhan tahun lalu, dalam babak penyisihan Piala Dunia, seorang kapten Ronny Pattinasarany juga terkena kartu merah saat bertanding melawan tuan rumah di New Zealand !


Klangenan Raja-Raja Kecil. Malam ini (23/11/06), Radio BBC mewartakan keluhan mantan kapten Manchester United, Roy Keane. Ia yang kini menjadi manajer tim Sunderland mengaku kesal berurusan dengan para pemain sepakbola masa kini. Menurutnya, para pemain tersebut lebih suka membicarakan besarnya gaji atau bayaran ketimbang membicarakan sepakbola.

Wabah “mata duitan” serupa, ah, bukankah kini juga meruyak dalam persepakbolaan di Indonesia ? Bahkan menjadi perdebatan hangat. Menjelang musim kompetisi 2007 banyak tim perserikatan seperti berlomba-lomba meminta dana dari APBD daerahnya. Jumlahnya milyaran. Di masa reformasi ini, ketika rakyat semakin berani berbicara dan itu bagus untuk demokrasi, banyak warga yang bersuara kritis terhadap pengelolaan dana rakyat terkait dengan persepakbolaan di daerahnya.

Rata-rata mereka menyebutkan, bahwa anggaran milyaran itu tidaklah sepadan dengan manfaat yang diberikan oleh tim sepakbola kotanya. Belum lagi mencoloknya aroma KKN terselubung, dimana pengelola manajemen tim bersangkutan paling sering ditangani anak, menantu sampai kerabat sang pemimpin daerah. Belum lagi tudingan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai dalam pemanfaatan dana-dana yang dikeruk dari rakyat itu.

Karut marut itu diawali dari niatan, niat ingsun, tujuan pengelolaan sepakbola di negeri kita yang dikuatirkan telah mengalami pergeseran. Apalagi ketika wacana otonomi daerah begitu gencar, menimbulkan dampak sampingan yang serius, tidak hanya dalam pengelolaan sepakbola, yaitu ketika para penguasa daerah bersangkutan merasa menjadi raja-raja kecil yang totaliter.

Sebagaimana perangai raja-raja di masa lalu, mereka pun cenderung ingin memiliki klangenan, kegiatan yang dapat digunakan untuk menghibur hati. Sokur-sokur bisa memberikan prestise, gengsi dan derajat. Klangenan yang tren, sekaligus mahal masa kini, tentu saja tim sepakbola.

Mungkin karena sudah terlalu lama tim sepakbola kita tidak mampu berbicara di tingkat regional, apalagi di level dunia, hal itu mengakibatkan rasa putus asa yang kronis. Pupusnya harapan dan kuatnya belitan rasa pesimistis, akhirnya hanya mendorong para raja-raja kecil, sang patron persepakbolaan daerah, memilih terkena penyakit miopia. Rabun dekat. Orientasi terhadap tim sepakbolanya hanyalah terbatas agar mampu berprestasi di dalam negeri saja, walau pun untuk tujuan tersebut mereka harus mau merogoh dompet lebih dalam guna mendatangkan para pemain-pemain dari manca negara.

Orientasi ke dalam, inward looking, sikap mental katak dalam tempurung, juga merasuki para petinggi PSSI kita. Mereka terkenal tidak konsisten. Peraturan dan keputusannya selalu berubah-ubah. Pengiriman timnas U-23 untuk berlatih di Belanda, tidak lain hanyalah proyek kehumasan. Pamrihnya, untuk menunjukkan kepada publik bola nasional bahwa mereka telah berbuat sesuatu dalam mempersiapkan keikutsertaan timnas kita dalam ajang internasional resmi. Proyek berbau selebritas. Proyek jalan pintas. Hasilnya, gagal total.


Republik Suporter : Ancaman Disintegrasi Bangsa ? Di tengah ancaman kebangkrutan prestasi persepakbolaan nasional masa kini, ada di mana suara para suporter sepakbola kita ? Kelompok-kelompok suporter di Indonesia itu telah saya juluki sebagai useful idiots, karena sebagai sosok-sosok naif yang mudah dimanfaatkan, mudah dimanipulasi, sehingga tidak mampu kritis terhadap jalannya pengelolaan tim-tim yang mereka dukung. Terutama menyangkut akuntabilitas penggunaan uang rakyat yang bermilyar-milyar dibandingkan dengan manfaatnya secara nasional

Mereka juga terkena wabah miopia. Mereka suka lucu. Sebagian besar mereka tidak mampu menjadi independen. Apalagi adanya peraturan baru dari PSSI yang mensyaratkan kelompok suporter sebagai “bagian” pengelolaan klub atau tim bersangkutan. Akibatnya, kelompok suporter itu bahkan tidak risi lagi untuk ikut menyusu kepada tim yang didukungnya. Misalnya dengan bekerja sebagai panitia pelaksana pertandingan. Pentolan-pentolan suporter yang rutin sebagai tukang kompas, dengan meminta-minta “gaji” dari para pemain untuk memperoleh recehan, merupakan rahasia umum sehari-hari. Tetapi akhir-akhir ini muncul fenomena lain, boleh disebut lucu atau dianggap sebagai hal yang serius, dalam dunia suporter sepakbola kita.

Adalah tokoh kemanusiaan dari Afrika Selatan, Nelson Mandela, yang berkata, “Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia.” Ketika kita didera mabuk sepakbola di tengah demam Piala Dunia 2006, tentulah pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik tersebut tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Tetapi di Indonesia, muncul gambar lain. Setiap kali mengamati siaran langsung pertandingan sepakbola lokal melalui televisi, saya mencatat spanduk-spanduk suporter sepakbola yang memproklamasikan kelompok mereka dengan sebutan republik. Hitung saja berapa banyak “negara suporter” yang mendukung timnya di divisi utama, divisi satu dan dua, yang ada di negara kesatuan Republik Indonesia ini.

Memproklamasikan kelompok suporternya dengan sebutan semacam itu mungkin bermaksud sebagai lelucon. Tetapi mungkin juga tidak. Apalagi bila dikaitkan dengan militansi buta kelompok-kelompok suporter di Tanah Air selama ini, terutama fenomena tawuran antarmereka, yang selalu merambah fihak-fihak lain di luar stadion pertandingan. Baik sebagai pelaku kerusuhan atau pun sebagai korban. Bukankah betapa mengerikan bahwa tawuran antarmereka kini telah diberi label baru, ibaratnya sebagai perang antar negara ?

Image hosted by Photobucket.com

Untuk Indonesia Raya ! Stadion Kallang Singapura, 16 Januari 2005, menjadi saksi militansi suporter Indonesia dalam mendukung timnas di Final Piala Tiger 2005. Saya dan Mayor (kaos putih) berbaur dengan mahasiswa, juga tenaga kerja asal Indonesia, berbagai suku dan asal keturunan, merasakan gairah persatuan menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Sayang, timnas kita dewasa ini sangat jarang berjaya di ajang kompetisi internasional. Orientasi prestasinya cenderung hanya untuk konsumsi dalam negeri, memicu maraknya fanatisme kedaerahan, yang justru mengancam tererosinya rasa kebanggaan dan nasionalisme sebagai satu bangsa.

Fenomena maraknya label republik suporter dan potensinya yang semakin memicu sengitnya perang antarmereka, mengingatkan saya akan tesisnya Nicholas Negroponte, penulis buku terkenal Being Digital (1995) dari Media Lab, Massachusett Institute of Technology (AS), tentang negara-negara bangsa. Menurutnya, negara bangsa itu ibarat kapur barus, dari benda padat yang segera tergerus habis menjadi uap. Timor Leste yang kecil itu saja kini masih terancam terbelah menjadi dua negara.

Lalu bagaimana dengan Indonesia kita ?

Terserah kita. Melalui sepakbola kita bisa meneladani ucapan Nelson Mandela atau melalui sepakbola pula bisa kita tanamkan embrio militansi sampai fanatisme buta terhadap tim daerah kita sehingga mampu menjurus kepada terpecah-belahnya bangsa ini pula. Sampai kapan hal menyedihkan ini berlangsung ? Ayo suporter Indonesia, bangkitkan intelektualitasmu, asah ketajaman daya kritismu !


Budaya Selebritas, Budaya Kriminalitas ! Sikap mental suka menerabas dari pengelola sepakbola kita tersebut sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang marak terjadi dalam dunia para pesohor, selebritas kita. Kehebohan penyelenggaraan pelbagai reality show di televisi kita, sejak Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, KDI, Kondangin, sampai acara kontes untuk para calon pelawak (API) dan bahkan dai, kita dapat menangkap gelombang geriap nafsu anak-anak muda kita yang luar biasa dalam upayanya meraih impian sebagai pesohor, selebritas.

Asal muasal semua gelora nafsu itu mudah ditebak. Yaitu akibat masifnya paparan media massa, terutama televisi, yang setiap hari membom ruang hidup kita dengan acara-acara infotainment, yang berisi informasi segala tetek-bengek kehidupan selebritis. Kebanyakan kandungan informasinya memang tidak ada nilainya, para selebritas yang jadi nara sumber pun banyak yang tidak pintar, tetapi bukan itu pesan utama yang penting dari tayangan televisi. Televisi berbicara dalam bahasa lain.

Ruedi Hofmann dalam bukunya Dasar-Dasar Apresiasi Program Televisi (1999) menjelaskan, berbeda dengan cara berpikir linear yang merupakan kekhasan budaya tulis, di televisi cara berpikirnya dalam bentuk spiral dengan selalu kembali kepada hal yang sama. Atau dalam bentuk mosaik dengan menjejerkan hal-hal yang sebetulnya tidak saling berkait, tetapi dalam kemajemukan dapat menghasilkan suatu kesan menyeluruh.

Di televisi, berbeda dari media cetak, kata-kata yang diucapkan bukan yang paling penting. Sering kata-kata bahkan kurang mendapat perhatian dan cepat dilupakan. Akan tetapi, kesan yang diperoleh berasal dari penampilan seorang tokoh, dari latar belakang dan lingkungannya, dari nada musik, dan sebagainya. Semua itu lebih penting dari kata-kata. Dari kesan-kesan yang dipancarkan oleh televisi seputar kehidupan glamor para pesohor, itulah yang membuat anak-anak muda kita terbius untuk melambungkan impiannya, ramai-ramai ingin secara instan menjadi selebritas seperti idola mereka !

Kalangan sosiolog berpendapat bahwa di dunia saat ini sedang bertempur antara dua budaya. Yaitu budaya hero, pahlawan, melawan budaya pesohor, selebritas. Budaya hero bercirikan suatu upaya pencapaian prestasi dengan bekerja keras, tekun, sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu. Hal universal ini, menurut Stephen R. Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People (1989), berlaku untuk semua tahap kehidupan, pada semua bidang perkembangan. Apakah belajar main piano, berlatih sepakbola, atau berkomunikasi. Juga berlaku untuk setiap individu, dalam perkawinan, keluarga, atau pun organisasi.

Muncul jebakan berbahaya. Prinsip atau fakta mengenai pentingnya proses seringkali kita fahami dan kita terima bila berlaku pada bidang-bidang yang bersifat fisik. Tetapi untuk memahaminya di bidang emosional, hubungan antarmanusia dan bahkan dalam karakter pribadi, ternyata tidak mudah dan lebih sulit. Bahkan ketika pun kita memahaminya, menerimanya dan berusaha hidup selaras dengan prinsip tersebut, ternyata merupakan hal yang lebih sulit lagi.

Akibatnya, kita selalu mudah tergoda untuk mencari terobosan, jalan pintas, mengharap dengan melompati beberapa langkah vital guna menghemat waktu dan usaha, tetapi diharapkan tetap mampu meraih hasil yang maksimal.

Sikap mental getol mengambil jalan pintas, itulah perwujudan budaya selebritas, yang cenderung ingin sukses secara instan dengan mengingkari proses alami suatu perkembangan. Anda ingin kaya raya tanpa dibarengi kerja keras dalam waktu lama ? Maka tak ayal, mewabahlah budaya korupsi. Ingin nampak berpendidikan tinggi, tetapi tak mau bersusah payah berkuliah ? Budaya jual-beli gelar akademi palsu meruyak dimana-mana. Sehingga pantaslah kalau kalangan sosiolog menyimpulkan betapa budaya selebritas itu berimpit ketat dengan budaya kriminalitas.

Sebagai ilustrasi lagi, beberapa tahun lalu terpapar realitas penerimaan kita terhadap budaya hero vs budaya selebritas. Itu tergambar saat seorang selebritas, penyanyi perempuan muda, terkenal, yang tewas dalam kecelakaan lalu lintas karena diduga habis mengkonsumsi narkoba. Liputan media begitu hebat dan ribuan pelayat berjubelan menghadiri pemakamannya.

Sementara pada saat yang hampir bersamaan, wafatnya sosok hero, pekerja keras dan intelektual, pujangga Angkatan 30, Sutan Takdir Alisjahbana, hanya diantar belasan orang saja ketika menuju peristirahatannya yang terakhir .Gelegak budaya selebritas itu, kini, suka atau tidak suka, telah mengepung hidup kita. Mungkin kita tidak mampu lagi untuk menghindarinya.


Image hosted by Photobucket.com

Mengapa Singapura Berjaya ? Percayakan naluri Anda. Jangan berpikir, tetapi kerjapkan mata Anda. Begitu nasehat bukunya Malcolm Gladwell ini, bahwa kita sebenarnya memiliki kemampuan ajaib, yaitu mampu mengetahui sesuatu dalam hitungan dua detik, tanpa tahu apa alasannya. Iseng-iseng, formula buku ini saya gunakan untuk menilai pengelolaan persepakbolaan antara Singapura dibandingkan Indonesia. Anda setuju ?


Ketika bersama Mayor Haristanto usai mendukung anak-anak asuhan Peter Withe yang gagal di leg 2 Final Piala Tiger 2005, Singapura, di kios buku Times Newslink, Terminal 1 Bandara Changi, saya terpergok lagi dengan Malcolm Gladwell. Sebelumnya, di bilangan Orchards Road, ketika menjelajahi Borders, jaringan toko buku internasional yang luasnya mendekati separo lapangan sepakbola, saya menemui buku berjudul Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005). Ini buku keduanya Gladwell. Saya telah memiliki buku pertamanya, The Tipping Point (2000).

Di Borders, konsentrasi saya sebenarnya ingin membeli buku bersubjek komedi dan manajemen ilmu pengetahuan (knowledge management), topik yang di-virus-kan kepada saya oleh Tika Bisono dan Mas Ito, alias Sarlito Wirawan Sarwono, ketika kami berinteraksi dalam acara Mandom Resolution Award 2004, di Hotel Borobudur, November 2004. Kedua buku incaran itu tidak saya temui. Maka pajangan buku Blink-nya Gladwell, saat itu, tidak begitu mengundang selera.

Tetapi di Changi, ketika sadar bahwa buku menarik itu mungkin masih beberapa bulan lagi dijual di Indonesia, saya nekad untuk membelinya. Gladwell dalam bukunya itu punya tesis, bahwa untuk menilai sesuatu keadaan kita dapat melakukannya hanya dengan mengambil, thin slice, irisan kecilnya. Contohnya, hanya dalam hitungan dua detik, seseorang mampu menentukan secara tepat sesuatu benda purbakala itu asli atau pun palsu.

Mengapa Singapura dapat menjadi juara Piala Tiger 2004/2005, berprestasi tinggi dan Indonesia harus keok dan keok lagi ? Dalam penerbangan kembali ke Indonesia dengan ValuAir, dengan mengambil teori Blink-nya Gladwell tersebut, saya mencoba memberikan jawaban atas apa yang terjadi :

Ho Peng Kee, presiden FAS/Football Association of Singapore adalah seorang profesor. Nurdin Halid, Ketua PSSI kita, adalah seorang koruptor. (Habis).


Image hosted by Photobucket.com

Penulis (kaos kuning) bersama FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph Solo yang sekolahnya mengadakan acara temu muka dengan Timnas Senior PSSI yang berlatih di Solo sebelum terjun dalam Turnamen BV Cup di Vietnam, dengan hasil tiga kali kalah. Foto diambil di Stadion Manahan Solo, 6 November 2006.


Wonogiri, 23-24 November 2006


si

Friday, November 10, 2006 

Reuni Piala Tiger 2005 dan Pasoepati di Stadion Manahan (2)


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Sisi Gelap Sepakbola Kita. Selamat datang Nurdin Halid, di kursi nomor 1 organisasi PSSI. Untuk sekedar mengetahui posisi dan situasi sepakbola Indonesia di tengah dunia, kita dapat mengilas balik pendapat Peter Velappan, Sekretaris Jenderal AFC (Asian Football Confederation) :

“Indonesia adalah Brazil-nya Asia. Mereka bermain dengan kecerdasan dan bakat unik di antara bagian sepakbola dunia lainnya. Bakat-bakat pemain Indonesia itu lebih baik dibanding para pemain Korea atau Jepang, tetapi mereka atau pun organisasi sepakbola mereka tidak mampu membersihkan diri dari cengkeraman korupsi” (Sumber : Asiaweek, 5 Juni 1998 : hal. 49).

Kita sebagai suporter sepakbola Indonesia, ketika korupsi kini sedang digalakkan untuk diperangi di negeri ini, apakah kita mampu dan bersedia menjadi bagian dari perjuangan melawan merebaknya korupsi tersebut, juga di sepakbola Indonesia ? Selamat merenung, sahabat. Selamat menjalankan ibadah puasa.

Itulah artikel pendek yang saya tulis di blog ini, 9 November 2003, tepat tiga tahun lalu. Nama Nurdin Halid kembali masuk radar perhatian saya ketika di hari Senin, 6 November 2006 itu, saya membaca Koran Tempo. Saya baca-baca di lobi Hotel Agas Solo sambil menantikan para pemain timnas keluar dari kamar untuk makan siang. Petikan berita yang ditulis wartawan Kukuh S. Wibowo :

Suporter Persebaya Luncurkan Website

SURABAYA – Di tengah sorotan miring terhadap perilaku Bonekmania, julukan suporter Persebaya Surabaya, Yayasan Suporter Surabaya (YSS), meluncurkan website dengan nama http://www.bonek.org/, Sabtu pekan lalu. Peluncuran website suporter yang baru pertama kali kalinya di Indonesia diresmikan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid di rumah makan Taman Sari, yang bersamaan dengan acara halalbihalal Bonekmania.

Berita Koran Tempo yang banyak mengundang senyum. Banyak kontradiksi. Misalnya, dalam halaman yang sama diwartakan bahwa Ketua Umum Persebaya, Arif Affandi, menggagas pergantian nama, semula bonek menjadi Green Force. Tetapi lihat saja, nama situs web mereka. Mana ada konsistensinya ?

Kemudian, entah karena wartawan Koran Tempo itu cupet pengetahuannya, atau sobat-sobat bonek itu tidak tahu bahwa diri mereka tidak tahu, sehingga diwartakan bonek sebagai pemilik situs web suporter yang pertama kali di Indonesia. Saya bayangkan berita itu pasti hanya menjadi bahan olok-olokan warga komunitas suporter Indonesia lainnya.

Image hosted by Photobucket.com

Deklarator Hari Suporter Nasional 12 Juli 2000.Kantor Redaksi Tabloid Bola pernah menjadi saksi pertemuan antarkelompok suporter sepakbola di Indonesia. Mereka pun bersepakat menjadikan hari itu sebagai Hari Suporter Nasional, hari untuk menggalang persaudaraan, memupuk sportivitas dan cinta damai antar sesamanya. Sudahkah cita-cita mulia terwujud kini ? (Foto : Repro Bola).

Klaim tersebut memicu saya memutar ulang kejadian pada tanggal 12 Juli 2000. Enam tahun lalu. Di kantor Redaksi Tabloid Bola, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Hari itu saya mencetuskan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional yang disetujui oleh Aly, Arif Irawanto, Ayek, Choirul Anam, Hendyk Kheteck, Ined Arief, Lutfie, M. Noer W., Roji, Rus, Sampaiton, Yani dan Yanto (Aremania), Faisal Riza, Ferry Indrasjarief dan Sumardan (Jakmania), Adie, Agus Gigi Yulianto, Didit Prayudi, Fajar Toto, Panji Kartiko dan Ryan Adhianto (Pasoepati Jakarta), Bambang Haryanto dan Mayor Haristanto (Pasoepati Solo), dan Agus Rahmat, Eri Hendrian serta Leo Nandang Rukaran (Viking Jabotabek).

Di antara pertemuan yang riuh itu, karena Pasoepati memutar CD berisi rekaman aktivitas hebohnya selama ini, saya juga menghampiri komputer yang ada di meja resepsionis kantor Tabloid Bola. Saya ingin menunjukkan kepada kelompok rekan sesama suporter bahwa saat itu Pasoepati telah memiliki situs web, http://www.pasoepati.or.id, walau kini situs ini tidak aktif lagi. Tetapi saya yakin, bukan Pasoepati sebagai komunitas suporter yang pertama kali memiliki situs web di Internet. Agus Rahmat juga ingin menunjukkan situs web Persib Bandung, saat itu.


Sehingga klaim Wastomi Suhari, mantan tukang becak, pengusaha angkutan dan Ketua “abadi” YSS tentang situs webnya itu, pasti menjadi bahan tertawaan Agus Rahmat dari Viking Jabotabek, Rudi Permadi dkk dari Aremania, Feri Istanto dkk dari Slemania, sobat-sobat The Jaks, Kampak, Brajamusti, Paserbumi, sampai ViolaXtrim dan masih banyak lagi komunitas suporter yang jauh lebih dahulu bergulat mengolah dunia maya untuk berpromosi menggalang persaudaraan antarsuporter cinta damai di Indonesia.

Saat meninggalkan Hotel Agas, saya sempat mampir ke warnet. Antara lain untuk mengisi jajak pendapat di situs Tabloid Bola (http://www.bolanews.com/) tentang masa depan perilaku bonek Surabaya. Ada tiga pertanyaan, apakah mereka akan menjadi lebih santun, semakin brutal, atau tetap saja seperti selama ini. Saya ikut mengklik pilihan yang terakhir, dan setelah melihat hasilnya, memang pendapat ini pula yang dominan.

Kebrutalan bonek yang tidak pernah dewasa sebagai suporter sepakbola sebenarnya telah lama dikupas dalam buku berjudul buku Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997). Saya telah meresensinya di majalah Freekick, No.9/September 2006. Detil isi buku ini bisa kita bicarakan lain kali.

Apa pun yang terjadi di masa lalu, kita semua sebaiknya harus menghargai upaya sobat-sobat bonek untuk berubah. Siapa tahu melalui situs web tersebut mereka akan memperoleh umpan balik (“Internet adalah media interaktif, bukan ?”) dari komunitas suporter lainnya. Sehingga bonek mampu bercermin, mengakui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, lalu tergerak melakukan perubahan menuju perbaikan.

Tetapi yang membuat saya masih terheran : mengapa Ketua Umum PSSI Nurdin Halid begitu mengistimewakan bonek ? Bahkan memberikan harapan, nampak cenderung mengubah keputusan Komisi Banding PSSI, sehingga menguntungkan Persebaya ? Anda tentu memiliki pendapat tersendiri. Tetapi bagi saya fenomena itu mengingatkan saya akan pepatah yang berasal dari pertengahan abad 16 :

Birds of a feather flock together.
Jenis mencari jenis.

Mungkin itulah secercah gambaran betapa sepakbola kita, diakui atau tidak diakui, akan selalu dan selalu saja secara terang-terangan menampilkan sisi-sisi tergelapnya.


Membicarakan Proses Bersama Ibunda Pasoepati. Fenomena bonek di mata warga Pasoepati sebenarnya sempat pula menggoreskan kenangan manis. Memasuki kembali stadion Manahan, saya masih ingat peristiwa enam tahun lalu.

Sore itu puluhan warga Pasoepati bergairah berlatih koor dan koreografi, guna persiapan tour maut, bertajuk FROM SOLO WITH LOVE, mengawal tim Pelita Solo, melabrak Surabaya, 6 April 2000. Selain memakai bis, kendaraan pribadi, yang fenomenal adalah mencarter Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.

Mengalunlah kembali lirik lagu ”Laskare, laskare, Pasoepati” di kepala ini. Juga terngiang keberatan prematur rekan-rekan Pasoepati ketika kuajak untuk berlatih melagukan Song of Joy-nya Beethoven. Mereka menolak karena sudah “pusing” duluan mendengar nama komponis Jerman Ludwig van Beethoven (1770–1827), walau sebenarnya lagu itu mudah.
Beberapa saat kemudian lagu indah ini (juga disukai Gus Dur selain lagu Me and Bobby McGee-nya Janis Joplin) seolah menjadi lagu kebangsaan Pasoepati. Kami melagukannya jauh sebelum Red Devils, suporter timnas Korea Selatan, menyanyikannya saat Piala Dunia Korea-Jepang 2002.

Image hosted by Photobucket.com

Bunga Cinta Solo Untuk Surabaya. Ketika melakukan long march Stasiun Gubeng – Stadion 10 November di Tambaksari, Lintang Rembulan (saat itu SD, kini Wakil Ketua OSIS SMA St. Joseph Solo) dan Ayu Permata Pekerti (kini mahasiswi Arsitektur UNS), membagikan bunga plastik bersama kartu mungil berbentuk hati, berisi salam damai dan cinta Solo untuk Surabaya. Esoknya, Harian Surya (7/4/2000) memuat foto senapan otomatis salah satu personil Brimob Surabaya dihiasi untaian bunga cinta itu.


Salah satu yang menyaksikan latihan enam tahun lalu itu adalah Ibu Kris Pudjiatni. Ia seorang psikolog, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan aktivis. Di mata komunitas suporter Solo, beliau sosok yang didengar pendapatnya, sangat dihormati, berjulukan sebagai Ibunda Pasoepati. Tidak jarang, rumah beliau dijadikan sebagai ajang rembugan atau rekonsiliasi ketika terjadi perselisihan pendapat antarwarga Pasoepati. Kini beliau sebagai psikolog untuk tim Persis Solo.

Senin sore itu, saya kembali temui beliau. Sambil jalan keluar stadion. Bu Kris nampak lebih langsing dan tetap awet muda. Saya lapor ke Ibu Kris tentang apa yang saya obrolkan sebelumnya dengan Mas Soeharno, pelatih Persis Solo. Ah, lama sekali saya tidak bertemu Mas Harno. Barangkali sejak ia melatih PSS Sleman yang naik ke Divisi Utama 2001. Atau tanggal 26 Januari 2003, saat saya menonton Solo FC menjamu PSS Sleman ? Yang pasti, sejak tahun 2001 banyak kenangan manis terajut antara Pasoepati dengan Slemania.

Tanggal 6 Januari 2001 belasan pentolan Pasoepati diundang Slemania, bertempat di Rumah Dinas Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Kami jadi saksi pengukuhan pengurus PSS, juga Slemania yang digawangi Ir. Wahyu Wibowo dan kawan-kawan.

Ada momen agak lucu : saat ke Sleman kami kebetulan, bukan disengaja, menumpang Kijang bercat merah, sesuai warna kaos Pasoepati. Suatu hari Mas Wahyu dkk, main ke markas Pasoepati. Ia memakai Kijang bercat hijau, sesuai warna kostum PSS. Yang tidak pula terlupakan, dengan mengusung tema Red Planet Odyssey 2001 : I’d Like To Teach The World To Sing Pasoepati melakukan tur ke Stadion Tridadi, Sleman, 14 Januari 2001.

Mas Harno semula nampak tertegun ketika aku salami. Tetapi ketika memorinya jalan, lalu mengenali yang menyalami, ia segera tertawa hangat dan langsung curhat, terkait tim Persis Solo “gado-gado” yang sore itu baru saja dilumat 0-5 oleh Ponaryo Astaman dkk. Intinya, Mas Harno memintaku agar memahami kekalahan timnya sore itu. Jangan meminta tim itu segera cepat-cepat segera berprestasi bagus. “Ya, mas. Semua hal itu butuh proses dan proses. Aku berdoa untuk keberhasilan tugas Mas Harno,” kataku sambil pamit. Mas Harno segera terkepung oleh rekan-rekan wartawan Solo yang menggali pendapat darinya.

Proses. Pentingnya proses, dan bukan semata hasil akhir, menjadi bahan obrolan saya dengan Ibu Kris. Beliau menyetujui jalan pikiranku. Di sela-sela obrolan itu terdengar suara suporter Pasoepati yang terus menggerutu karena Persis Solo kalah telak sore itu.


Sugar Daddies di PSSI. Proses kini rupanya menjadi binatang langka dalam manajemen persepakbolaan di Indonesia. Utamanya ketika PSSI dipegang oleh tokoh-tokoh yang dikenal punya banyak uang : Nirwan D. Bakrie. Tentu saja juga Nurdin Halid, sosok kontroversial yang baru saja keluar dari penjara karena tersangkut kasus korupsi kelas kakap

Nirwan Bakrie adalah pengusung gagasan timnas U-23 untuk berlatih di Belanda. Ia rupanya tidak kapok mengulangi resep mengirim Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti dan Indrianto Nugroho dkk. berlatih sebagai tim Primavera di Italia. Terakhir terkuak belangnya, bahwa tim PSSI U-23 seusai mengikuti Asian Games di Doha, Qatar, akan dititipkan untuk mengikuti Liga Singapura dengan nama Pelita FC.

Pembentukan tim U-23 ini akhirnya tidak lain merupakan perwujudan ambisi pribadi Nirwan sebagai bos Pelita Jaya, untuk membentuk tim yang kuat dan instan, tetapi untuk meraihnya ia telah mencampur adukkan kuasa dan posisinya sebagai petinggi di PSSI.

Nirwan Bakrie adalah pemilik tim elit sepakbola Pelita Jaya. Ketika terjadi krismon 1998 dan banyak perusahaan kelompok Bakrie Brothers terpuruk, Pelita Jaya terancam terhenti pasokan finansial dari induknya. Salah satu jalan keluar yang mereka tempuh adalah dengan mem-bunglon-kan Pelita Jaya menjadi Pelita Solo, mencoba mencari uang di Solo.

Pentingnya proses juga hal yang kini nampak dicoba diingkari oleh Nurdin Halid. Baru-baru saja ia mengungkapkan niat untuk menaturalisasi, memindah kewarganegaraan, 7 pemain sepakbola muda asal Brasil, memecahnya untuk main di beberapa klub di tanah air, guna meraih tujuan agar Indonesia kelak mampu masuk final Piala Dunia 2014.

Langkah kedua petinggi PSSI tersebut merupakan perwujudan sikap mental suka menerabas, mental gemar ambil jalan pintas. Inilah personifikasi mental seseorang yang banyak uang, bos besar yang banyak uang, sugar daddies, walau kita tidak tahu dan tidak mampu meraba-raba atau menebak dari mana uang banyak itu bisa mereka peroleh.

Fenomena yang melecehkan pentingnya proses itu kini umum terjadi, meruyak di mana-mana, dalam banyak sektor kehidupan di Indonesia. Tidak aneh, negara kita termasuk peringkat tinggi sebagai negara yang korupsinya sudah menjadi budaya ! (Bersambung).

Image hosted by Photobucket.com

Penulis (kaos kuning) bersama FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph Solo yang sekolahnya mengadakan acara temu muka dengan Timnas Senior PSSI yang berlatih di Solo sebelum terjun dalam Turnamen BV Cup di Vietnam, dengan hasil tiga kali kalah. Foto diambil di Stadion Manahan Solo, 6 November 2006.


Wonogiri, 9-10 November 2006


si

Wednesday, November 08, 2006 

Reuni Piala Tiger 2005 dan Pasoepati di Stadion Manahan (1)


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com




Footprint Ismed Sofyan.
Anda tahu, siapakah suporter sepakbola Indonesia yang memiliki koleksi cap kaki para pemain sepakbola terkemuka Indonesia ? Mayor Haristanto, pendiri kelompok suporter Pasoepati, Solo.

Ritus pengambilan cap kaki itu terjadi di tahun 2002. Ide awalnya adalah ketika kami mencari-cari atraksi unik yang layak untuk difilmkan, untuk menggambarkan hubungan unik dan erat antara suporter dengan tim yang didukungnya. Saya lalu ingat Walk of Fame di Hollywood sana. Lokasi ini sohor dijadikan lokasi syuting saat Julia Roberts menjadi pelacur untuk ketemu pria tampan superkaya Richard Gere dalam Pretty Woman (1990).

Dialog yang menarik dalam film ini adalah yang terjadi di gedung opera, saat seorang ibu tua bertanya kepada Julia Roberts sebagai Vivian Ward, “Did you like the opera, dear?” dan Vivian pun menjawab : “It was so good, I almost peed my pants!”

Tetapi yang mudah membekas adalah teriakan si Happy Man : “Welcome to Hollywood! What's your dream? Everybody comes here; this is Hollywood, land of dreams. Some dreams come true, some don't; but keep on dreamin' - this is Hollywood. Always time to dream, so keep on dreamin'.”

Tidak di Hollywood saja orang boleh memiliki impian. Tahun 2002, saya yang orang Wonogiri juga boleh melambungkan impian. Dengan mengikuti The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan Honda. Saya menulis esai berjudul, “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif.”

Dalam kontes mengenai kedigdayaan impian itu saya menjual impian merevolusi perilaku suporter sepakbola kita yang destruktif dengan mengubahnya menjadi konser suporter yang menyajikan koor dan koreografi, sehingga menjadi atraksi menarik tersendiri dari totalitas pemanggungan teater sepakbola.

STOP PRESS SUPORTER INDONESIA : Teman-teman suporter Indonesia, dalam rangka menghadapi Piala Asia 2007 dan kita menjadi tuan rumah, atraksi dan kreativitas macam apa yang akan Anda “jual” kepada jutaan penggila bola di Asia ?

Kemenangan dalam kontes impian itu menjerumuskan saya ke “profesi” lain yang tidak terduga : menjadi bintang televisi. Profil diri saya sebagai suporter kemudian diangkat dalam sebuah dokudrama, dokumentasi merangkap drama. Syutingnya di rumah saya, Wonogiri, juga di Solo. Dokudrama tersebut telah ditayangkan di TransTV, 29 Juli 2002.

Salah satu adegan film itu adalah ritus pen-cap-an kaki-kaki para pemain sepakbola, yang dilakukan di mess pemain tim Persijatim Solo FC. Di tempat inilah, antara lain, saya mengobrol dengan Ismed Sofyan, pemain timnas kelahiran Tualang Cut, Aceh, 28 Agustus 1979. Dengan dia saya memiliki kemiripan, sama-sama berbintang Virgo, tetapi tanggal lahir saya 4 hari lebih awal. Ismed Sofyan kini, kita tahu, merupakan pemain sayap timnas yang terkemuka.

Prestasi Ismed itulah yang membuat saya senang ketika bisa menemuinya lagi, tiga tahun kemudian. Kali ini di Amara Hotel, Tanjong Pagar, Singapura. Saya dan Mayor sempat titip tas di kamarnya, nomor 707, dan sorenya ikut konvoi ke Stadion Kallang untuk menjadi saksi final Piala Tiger 2004/2005 melawan tim tuan rumah, Singapura.

Image hosted by Photobucket.com

Magis Putih Peter Withe. Mengapa magisnya Peter Withe mampu mengangkat Thailand tetapi belum berhasil mendongkrak prestasi timnas Indonesia ? Anda bisa memberikan jawaban ? Nampak di foto (ki-ka), saya, Mayor Haristanto dan Peter Withe di lobi Hotel Amara, Singapura, 16/1/2005.


Sayang, kita kembali kalah. Magisnya Peter Withe belum bertuah. Di Senayan kita sudah kalah, 1-3, dan di Kallang kita kembali kalah, 2-1. Ketika kami kembali ke kamar hotelnya, Ismed Sofyan sesekali bernostalgia tentang Solo. Ia pun mengeluarkan semua isi lemari es kamarnya untuk menjubeli tas kami, sementara ofisial memberi satu boks berisi puluhan botol minuman Gatorade (saya hanya ambil 3-4, sisanya ditinggal di lorong hotel), walau pun demikian obrolan memang terasa hambar adanya.

Ketika malam semakin merambat, saya dan Mayor minta pamit. Kami harus ke Hotel Quality di Baliester Road. Sambil menunggu antrian taksi, kami melihat Kurniawan, Hendro Kartiko dan teman-temannya juga keluar hotel. Pesona malam Singapura yang gemerlap memang pantas untuk mereka jelajahi. Untuk membuang frustrasi akibat kegagalan timnas kita kali ini ?

Hari Senin, 6 November 2006, saya bisa ketemu Ismed Sofyan lagi. Kali ini di Hotel Agas, Solo. Saya tinggal di Wonogiri, 32 km selatan Solo. Tetapi saya sangat jarang ke Solo. Gara-gara Internet yang mampu membuat Wonogiri hanya dipisahkan klik dan klik dengan Walikukun, Wamena, Westminster (UK), Wiesbaden (Jerman), Wisconsin (AS), Windhoek (Namibia) sampai Wyoming (AS), membuat saya jarang melakukan perjalanan secara fisik. Tetapi timnas PSSI Senior yang memutuskan berlatih di Solo, menggerakkan kaki saya untuk kembali ke kota kelahiran ini.


Kartu Merah Dari Ponaryo Astaman ? Saya tidak hanya be-reuni dengan Ismed Sofyan, tetapi juga alumnus Piala Tiger 2005 lainnya. Antara lain dengan Hendro Kartiko, Jendry Pitoy, Maman Abdurrachman, Ponaryo Astaman, Syamsul Haeruddin, sampai Zaenal Arief. Tentu saja, Peter Withe.

Image hosted by Photobucket.com

Tetap Optimis, Walau Kalah. Begitu Mayor dan saya memasuki tribun berisi suporter Indonesia di Stadion Kallang Singapura, segera merasakan “kimia” yang berubah. Spanduk “Bangkit Indonesia !” yang kami bawa, memicu seluruh tribun tergerak bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya merinding dan meneteskan air mata. Chan Yi Shen, wartawan olahraga koran utama Singapura, The Straits Times, tiba-tiba menggamit saya. Kami mengobrol di lorong gang menuju tribun. Esoknya, koran The Straits Times (17/1/2005) memuat pendapat saya. Sebelum saya menemui Peter Withe di Solo, foto ini juga saya emailkan kepadanya, juga kepada Ponaryo Astaman dkk. Di mana pun timnas berada, via teknologi informasi, saya berusaha menjangkau mereka : untuk memberikan dukungan kepada perjuangan mereka !


Di Singapura Peter Withe menandatangani kaosku di punggung, yang tertera slogan kreasiku : I Believe The Withe Magic ! Kali ini di Solo Withe menandatangani di sebalik poster, yaitu foto saat spanduk “Bangkit Indonesia !” yang menghiasi tribun Timur Laut Stadion Kallang Singapura dijepret di antara suporter-suporter Indonesia.

Sebenarnya aku pengin sedikit berdiskusi dengannya seputar buku tentang lanskap mutakhir dunia suporter sepakbola di Inggris, karya Mark Perryman, Ingerland : Travels With A Football Nation (2006). Buku itu aku peroleh dari kekasihku, Niniz, yang lebih dari 20 tahun (dan kini masih) sebagai warga London.

Aku pengin mendengar pendapat dia terbaru tentang suporter sepakbola Indonesia. Semoga ada pendapat Peter Withe yang lebih konstruktif, mengingat di final Piala Tiger leg I di Senayan, 8 Januari 2005, aku merekam suaranya yang sangat memprihatinkan kedewasaan dan rendahnya sportivitas suporter Indonesia.

Betul saja pendapat dia saat itu. Saat itu, di malam ketika Senayan begitu membara karena timnas kita kalah 1-3 dari Singapura, aku ikut kena getah. Tertimpuk botol air mineral yang berisi penuh amonia. Alias air kencing. Sokurlah, tutup botolnya rapat, sehingga tidak jadi membuncah untuk memandikan diri saya dengan cairan yang memabukkan itu !

Dengan Hendro Kartiko, yang dengan senang hati membawa pulang poster kreasi BioBanners, bergambar dirinya untuk menandai prestasinya sebagai kiper terbaik pilihan ANTeve Award 2005, aku tanyakan hal menarik. Sebagai selebriti sepakbola, apakah ia tidak tertarik untuk menulis buku ? Ia mungkin agak kaget dengan pertanyaan “sok intelektual” semacam itu. Aku memang tidak meminta jawaban tegasnya saat itu. Aku hanya berharap semoga “virusku” ini telah memasuki benaknya. Untuk menjadi pertimbangan yang semoga berguna.

Di hotel Agas, sesudah makan siang, saya juga menodong sang kapten, Ponaryo Astaman. Sekadar info : Radio BBC Siaran Indonesia pernah mengangkat tema hukum di seputar pertandingan sepakbola Indonesia. Karena teater sepakbola kita sarat dengan perkelahian antarpemain, juga suporter, memunculkan wacana : apakah tindakan brutal pemain yang menganiaya pemain lain atau wasit, dapat dipidanakan di luar lapangan hijau ?

Salah satu nara sumber dari siaran BBC Siaran Indonesia itu adalah Ponaryo Astaman. Ia mengeluhkan hal yang bagi saya sungguh sangat mengagetkan. Menurutnya, selama menjadi pemain sepakbola, ia TIDAK PERNAH diberikan bekal pengetahuan mengenai peraturan-peraturan dalam pertandingan sepakbola.

Selama ini, kata Ponaryo, pemain sepakbola Indonesia memahami peraturan yang ada hanya berdasarkan pengalaman empiris, learning by doing, naluri, mungkin seperti tikus-tikus dalam percobaan pemenang Nobel 1907 Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) asal Rusia yang terkenal itu. Kasarnya, kalau seseorang pemain melakukan satu kesalahan, lalu diganjar hukuman, ia akan meregisternya di benak untuk menjadi panduan pribadinya di masa depan.

Tetapi kita tahu, kesalahan dalam permainan sepakbola itu relatif banyak dan beragam. Agar mampu untuk selalu patuh peraturan, apakah kemudian setiap pemain Indonesia harus terlebih dulu melakukan SEMUA kesalahan dan memperoleh hukumannya pula ? Proses belajar yang sungguh-sungguh primitif.

Apakah hal memprihatinkan itu kini masih terjadi ? Ponaryo Astaman menjawab, dengan nada tak yakin, bahwa mungkin saja pemain-pemain yang muda-muda (di bawah generasinya) telah mendapatkan sosialisasi tentang peraturan itu. Kita akan mengetahui jawabnya yang pasti : apakah dalam pertandingan internasional masih banyak pemain Indonesia diganjar kartu kuning atau kartu merah, tetapi mereka tetap saja selalu merasa tidak bersalah ?


Pulang Kampung : Stadion Manahan ! Sebelum berangkat ke Solo, ada acara penting bagiku di pagi itu : mendengarkan program “Saga” dari Kantor Berita Radio 68H, Jakarta. Menurut reporternya, Tatik Yuniarti, untuk Solo KBR Radio 68H punya afiliasi, Radio PTPN dan di Wonogiri adalah Radio GIS.

Tatik Yuniarti pada tanggal 30 Oktober 2006 telah mewawancaraiku dalam kapasitas sebagai penggagas dan pendiri Epistoholik Indonesia (EI), yaitu komunitas penulis surat-surat pembaca di media massa. Keinginan menggebu untuk mendengar suaraku sendiri, juga teman-teman se-visi, misi dan “seprofesi,”, baik yang tinggal di Jakarta (Budi Purnomo, Dr. F. Pudiyanto Suradibroto, Dharmawan Sucipto, Asrie M. Iman) dan Solo (antara lain FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph, Bapak Soeroyo atau Bapak H. Erlangga Chandra), ternyata gagal.

Radio PTPN Solo dan radio GIS tidak merelai acara yang berlangsung jam 07.45 – 08.00 itu. Sudahlah – aku anggap saja, masih ada puluhan radio dari Sabang sampai Merauke, terutama di Jakarta sendiri, yang telah mengudarakan kiprahku dan teman-temanku sebagai pencandu penulisan surat-surat pembaca selama ini.

Dalam wawancara dengan Tatik Yuniarti, juga terungkap sisi hidupku yang lain, sebagai suporter sepakbola. “Tetapi saya sudah pensiun dari aktivitas di Pasoepati,” kataku. Walau pun demikian, sebagai suporter dan pencinta sepakbola diriku masih mencurahkan pikiran dan perhatian, baik sebagai kontributor untuk majalah sepakbola Freekick (Jakarta) dan mengelola blog Suporter Indonesia ini.

Mendudukkan diri sebagai “pensiunan” Pasoepati itulah yang membuat langkahku terasa ringan memasuki Stadion Manahan. Senin sore itu akan dilangsungkan pertandingan persahabatan, antara tim tuan rumah Persis Solo yang baru saja naik ke Divisi Utama melawan anak-anak asuhnya Peter Withe. Penonton memenuhi tribun Barat dan pinggir lapangan.

Aku hanya ingin menikmati suasana, bukan semata ingin menonton pertandingan atau pun melihat hasilnya. (Bersambung).



Image hosted by Photobucket.com

Penulis (kaos kuning) bersama FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph Solo yang sekolahnya mengadakan acara temu muka dengan Timnas Senior PSSI yang berlatih di Solo sebelum terjun dalam Turnamen BV Cup di Vietnam, dengan hasil tiga kali kalah. Foto diambil di Stadion Manahan Solo, 6 November 2006.

Wonogiri, 8 November 2006


si

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates