Wednesday, May 30, 2007 

Desperately Seeking “TV Bal-Balan” In Wonogiri


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Sea of tranquility. Andrew Weil, M.D. ibarat sosok seorang “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif. Ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.

Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang “puasa berita,” yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?

“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”

Bayangkan, bila tiap hari mental kita “dihajar” dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Merasa rada ngeri membayangkan hajaran-hajaran itu, kiranya dalam sebulan-dua bulan ini saya harus bersyukur karena telah secara tidak sengaja menjadi pengikut ajaran dokter karismatis yang berewokan ini.

Saya absen dari aktivitas menonton televisi.

Bukan untuk sok kontemplatif atau sedang melakukan ritus nenepi, tetapi ketenangan itu kiranya datang karena saya tidak dapat akses menonton televisi. Gara-gara Basnendar HPS, adik saya, menempati rumahnya di Mojosongo, Solo (atau Boyolali ?), pesawat televisi miliknya ikut ia bawa. Pesawat TV ini hadiah ketika karya logonya ikut dalam final lomba logo yang diadakan oleh pabrikan alat-alat elektronik Samsung. Ketika salah satu produk raksasa elektronik asal Korea Selatan ini pindah dari Kajen ke Mojosongo, jadilah saya puasa dalam mengonsumsi tayangan televisi.

Terpaan dari luar itu bersifat netral. Hal tersebut jadi menyakitkan atau tidak, semuanya tergantung kepada kita dalam memberikan reaksi. Itu ajaran Covey. Untunglah, saya tidak mengalami sindrom penarikan, seperti halnya yang diderita oleh perokok berat ketika dirinya harus berhenti merokok. Sepertinya tidak menonton televisi, ternyata juga tidak apa-apa. Bahkan sebelumnya, ketika tidak membaca-baca koran secara rutin, tiap hari, juga sepertinya tidak apa-apa pula bagi saya.

Saya memutuskan untuk “puasa baca koran” terjadi sekitar tahun 2004. Kebetulan di komputer saya terpasang peranti lunak dari PDA Casio (“PDAnya hilang di Singapura, 16-17 Januari 2005”) yang merincikan neraca keuangan sederhana. Dari data itu segera muncul gambaran betapa “semakin lama saya semakin sedikit membelajakan uang untuk beli koran, tetapi biaya akses Internet semakin naik saja kuantitasnya.” Mudah-mudahan kabar dan kondisi saya ini ini tidak terdengar oleh para penerbit koran ya ?


Buta sepakbola. Puasa nonton televisi juga membuahkan konsekuensi. Hal terberat bagi saya adalah hilangnya tontonan pertandingan langsung sepakbola. Apalagi, seperti kata nabi media digital dari MIT, Nicholas Negroponte, hal itulah kelebihan utama televisi. Menurutnya, televisi paling cocok sebagai saluran untuk menyiarkan informasi secara synchronous, seperti pertandingan olahraga atau berita secara langsung dan momen penghitungan suara.

Informasi jenis lainnya dapat dikemas secara asynchronous, seperti halnya karakter email atau sms, yang dapat diakses oleh pengguna dengan menentukan sendiri waktunya. Jadi tayangan seperti Seputar Indonesia atau Liputan 6 tidak harus kita tonton bareng-bareng pada jam tertentu.

Pendekatan model di atas telah diterapkan oleh Gannet, kelompok media terbesar di AS. Kini informasi mereka sampaikan, “menuruti apa yang dimaui oleh konsumennya.” Jadi tidak semua berita berbentuk cetak (yang lamban) dan tidak semua harus dalam bentuk teks yang membosankan. Bisa berbentuk grafis, suara, multimedia, atau hanya pesan singkat. Informasinya mengalir terus selama 24 jam tiap harinya.

Kembali ke masalah “puasa” nonton tayangan sepakbola. Sepakbola dalam negeri, Liga Inggris, Liga Italia sampai Liga Spanyol, sudahlah, saya bisa melupakannya. Tetapi tidak untuk Liga Champions. Ketika tim favorit saya, FC Hollywood alias Bayern Muenchen bertanding melawan AC Milan, dini hari saya memutuskan untuk keluar rumah.

Tetapi mau menonton di mana ? Dulu di terminal angkot Wonogiri ada televisi umum. Demikian juga di pos keamanan pabrik jamu Air Mancur yang hanya 100 m dari rumah. Menonton televisi di luar rumah seperti itu mengingatkan hal yang sama di tahun 1970, ketika saya bersekolah di Yogya. Saya yang tinggal di Dagen harus jalan sekitar 1 km menuju Alun-Alun Utara. Ke markas mahasiswa Arief Rahman Hakim. Iklan yang saya ingat saat itu adalah kacamata night and day IOM. Terkait komunitas mahasiswa, pada Piala Dunia 1990 saya juga nonton bersama mahasiswa. Saat itu RCTI masih menggunakan dekoder. Nontonnya di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur.

Dini hari itu saya memutuskan untuk lewat di depan pabrik jamu Air Mancur. Ternyata pesawat tv di pos satpam itu mati. Saya tanyakan kepada satpam Air Mancur mengapa tidak menonton sepakbola. “Hanya bisa untuk nyetel MetroTV, mas,” jawabnya.

Lupakan Roy McKaay.
Lupakan Bayern Muenchen.
Lupakan AC Milan.
Lupakanlah sepakbola.

Saya pulang. Dan di tengah jalan kepergok dengan Pak Haji Sukijo. Rupanya beliau yang tinggalnya di dekat SMA Muhammadiyah 1 Kajen sudah berangkat ke masjid pada dini hari itu. Beliau memang menjadi pengurus Masjid Taqwa, Wonogiri.

“Assalamualaikum, Pak Haji,” sapaku. Beliau menyahut, tetapi kita terus saja berjalan menuju arah berlawanan. Sokurlah. Terus terang, selama ini saya agak “jeri” untuk ketemu dan ngobrol sama beliau. Karena pada sekitar bulan Maret 1998, di masjid Taqwa Wonogiri, beliau pernah menginterogasi saya. Topiknya : kapan kawin ?

“Sesudah Pak Harto lengser nanti,” begitulah jawaban saya secara sembarangan. Begitulah, beberapa minggu atau bulan sesudah Pak Harto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, saya bertemu Haji Sukijo lagi. Tentu saja beliau masih ingat “kredo” saya dan kini beliau menagihnya. Saya hanya bisa menjadi salah tingkah.

Terakhir, ketika ikut mengantar Basnendar dan calon istrinya Evy melakukan upacara ijab qobul di Masjid Taqwa, Jumat, 8 Oktober 2004, “penagihan” yang sama kembali berulang. Enam tahun “janji palsuku” telah berlalu, ternyata beliau masih tetap mengingatnya. Bahkan beliau berniat hendak menjodohkan saya dengan putri seseorang guru yang terhormat, yang rumahnya besar di Sanggrahan, sekitar lingkungan SMA Negeri 1 Wonogiri.


Dikira Sepakbola, Ternyata Film KB. Final Liga Champions 2007 tibalah juga, Kamis, 24 Mei 2007, dini hari. Hari Rabu sore saya mendengar ada mobil keliling dengan pengeras suara, mewartakan sesuatu. Yang saya tangkap hanyalah, “nanti malam saksikanlah di lapangan depan rumah dinas Bupati Wonogiri.”

Malam hari, sekitar jam 19.15, saya menuju lapangan tersebut. Waktu kecil, inilah lapangan tempat saya bermain sepakbola. Atau menunggang kerbau dari Jagalan (“mirip logo penerbit buku Kompas”) yang digembala Mulyadi, temanku sekelas saat SD. Fans penunggang kerbau di sore hari itu antara lain saya, Sukatno (teman sekampung) dan Joko Waluyono yang saat itu tinggal di rumah dinas Bupati Wonogiri.

Joko ini, yang kini tinggal (“kalau belum pindah”) di daerah Kebalen, Jl. Suryo, Kebayoran Baru Jakarta, masih famili dengan Eyang Laksmintorukmi, selir PB XI, yang menjadi istri Bupati Brotopranoto. Eyang Laks adalah guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Tahun 1973-1977 saya ikut kost di rumah Eyang Laks ini di Tamtaman, Baluwarti. Saya kadang menjadi “apoteker” bagi beliau : menerjemahkan cara pemakaian obat atau vitamin milik Eyang Laks yang dikirimkan kerabat, yang berbahasa Inggris.

Pernah kami bertiga bersamaan menunggang kerbau. Saya, Sukatno dan Joko Waluyono. Tiba-tiba kerbau itu melangkah ke dataran yang lebih tinggi. Semua penumpangnya segera melorot ke belakang dan akhirnya kami berjatuhan, berdebum ke tanah.

Malam itu, di tanah lapang depan rumah dinas Bupati Wonogiri itu sudah berdiri layar dan ada mobil unit pemutaran film. Saya sudah menicil gembira : nanti malam saya bisa menonton final Liga Champions. Tetapi ketika bertanya dengan salah satu awak mobil unit, harapan saya menguap. Mereka ternyata hanya memutar film saja. Pertunjukan layar tancap itu disajikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Bhayangkara.


Ketemu chef Melia Hotel Hanoi. Saya lalu harus menonton sepakbola di mana ? Saya memutuskan pergi ke Pokoh. Di sana sejak November 2006 telah berdiri kafe unik, bangunannya terbuat dari bambu, dengan beragam sajian makanan unik pula. Ada makanan bergaya hik, lalu makanan Wonogiri tempo dulu seperti sego tiwul sampai sego abang, juga makanan a la Barat seperti steak atau pun makanan Jepang seperti tempura dan terayaki.

Kafe itu, letaknya di sebelah barat lampu bangjo Pasar Pokoh, di bawah rerimbunan pepohonan, bernama Ngaso Angkringan. Ketika menanyakan apakah dini hari nanti televisinya akan menayangkan sepakbola, saya lalu diajak ngobrol oleh pemiliknya. Namanya : Susilo (50) tahun. Warga asli Pokoh, Wonoboyo. Ia alumnus SMA Negeri 1 Wonogiri.

Mas Susilo lalu bercerita mengenai konsep kafenya tersebut. Ia bercita-cita mengangkat kembali makanan-makanan unik khas Wonogiri masa lalu. Lengkap dengan asesori masa lalu pula. Saat itu saya disuguhi teh, tidak dalam gelas, tetapi dengan cangkir kaleng model jimbeng. Mengingatkan suguhan warung adiknya nenek saya, mBah Marto Bangin (ayah Lik Bawarto, kini Camat Giriwoyo), yang juga jualan teh dengan cangkir kaleng model yang sama, di Pasar Wonogiri.

Di warung wedang inilah ibu saya, ketika itu membantu mBah Marto Bangin ini, akhirnya bisa berkenalan dengan ayah saya. Kakak pertama ibu saya, Suripti, kemudian menjadi istri teman ayah saya pula. Sebagai bahan guyon keluarga, warung wedang ini akhirnya sering kami sebut sebagai MBA’s (Mbah BAngin’s) Café. Atau Army’s Café, karena ayah dan pakde saya berprofesi sebagai tentara.

Kembali ke kafe Ngaso Angkringan. Mendengar obrolan Mas Susilo saat itu, saya segera mengetahui bahwa dia banyak mereguk pengalaman bekerja di hotel. “Sebagai chef ?,” sergah saya. Ternyata saya tidak salah. Ia pernah melanglang sampai Amerika Serikat hingga Brunei. Salah satu cerita yang menarik adalah ketika ia bekerja di Hotel Melia Hanoi, Vietnam, saat melayani rombongan presiden Megawati menginap tahun 2003 di ibukota negaranya Paman Ho itu. “Ah, Hanoi,” pikiran saya ikut menerawang. “Nama ini mengingatkan saya fotonya Anez almarhumah saat kecil, saat ia mengikuti ayahnya bertugas sebagai diplomat di kota itu, di tahun 1965.”


Foto Mas Susilo bersama Ibu Mega tersebut kini menjadi dekorasi utama dinding kafenya sekaligus sebagai credential untuk menunjukkan kredibilitas bisnisnya. “Ah, orang Wonogiri satu ini pantas untuk dikisahkan cita-cita dan impian hidupnya,” kata hati saya. Sebab, secara tersirat dan walau sambil lalu, ia sepertinya agak mengeluhkan betapa masih kuatnya budaya ingin menjadi pegawai negeri di kalangan generasinya, dan cita-cita yang sama sepertinya juga belum tergerus secara signifikan untuk generasi anak muda Wonogiri masa kini.

Saya belum tahu mengapa ia berhenti dari karirnya sebagai chef hotel internasional. Tetapi yang pasti, keberaniannya berwirausaha, membuka kafe di Wonogiri dengan konsep unik dan cukup inovatif, di mana ia menjelaskan bahwa “saya sendiri yang menentukan dekorasi sampai makanannya,” sudah merupakan nilai plus tersendiri. Wonogiri, saya pikir, butuh lebih banyak pionir dan orang-orang “tidak normal” seperti dia. Kata hati saya, dengan sebisa saya, saya ingin ikut menerkenalkan kafenya tersebut melalui media blog-blog saya di Internet.

Jam sudah menunjuk pukul 21.30, saya minta pamit sama Mas Susilo. Saya berjanji, dini hari nanti akan kembali ke kafenya lagi. Sokurlah saya bisa tidur sejenak. Begitulah, akhirnya di kafe Ngaso Angkringan ini saya bisa menonton final Liga Champions 2007. Saya menjagoi Liverpool dan harus kecewa karena Steven Gerrard tidak beruntung di babak pertama.

Lalu muncul rasa cemas, ketika muncul adegan the armed robbery oleh si oportunis, Filippo Inzaghi, yang menjebol gawang Liverpool di menit 45+ itu. Istilah the armed robbery secara harafiah berarti sebagai “perampokan bersenjata,” tetapi dalam konteks gol Inzaghi banyak pers Inggris menilai ia handsball dulu karena bola tendangan Andrea Pirlo mengenai lengan Inzaghi, arah bola jadi berbelok dan mengecoh kiper Reina.

Untuk mengurangi cemas dan kecewa saya mengirim SMS ke Niz, yang saat itu ada di Lhoong Aceh. Ia tak membalas. Ia tidur dan memang tak suka sepakbola. Saya juga kirim SMS ke Mustikaningsih, warga Epistoholik Indonesia (EI) di Mojosongo, yang sama-sama sedih karena menjagoi timnya Rafael Benitez itu. Sebaliknya, ketinggalan 1 gol itu membuahkan kegembiraan bagi FX Triyas Hadiprihantoro, guru SMA St. Joseph Solo dan juga warga EI. Juga Purnomo Iman Santoso, warga EI dari Semarang.

Rasa kecewa juga datang dari Aji Wibowo, Banjarnegara. Ia alumnus FISIP UGM di mana ketika menulis skripsinya sempat berdiskusi denganku, persis dua tahun lalu (2005) saat Liverpool menumbangkan AC Milan dengan keajaiban, ketinggalan 0-3, 3-3, dan lalu menang dalam drama adu penalti.

Keajaiban 2005 tidak hadir lagi di tahun 2007 ini. Warga EI dari Jombang, E. Musyadad, bahkan mengaku dremimil mengirimkan wiridan agar Liverpool terhindar dari kekalahan. Ketika terjadi gol kedua oleh Inzaghi lagi, hal itu semakin meremukkan hati Musyadad. Juga hati kami. Peter Crouch masuk, harapan pun sempat muncul. Sayang, ketika Dick Kuyt mampu membobol gawang Dida, waktu pun sudah tidak lagi berfihak kepada tim asal tepian sungai Merseyside ini.

Saya kemudian pamit kepada Mas Susilo. Operasi atau ikhtiar mati-matian saya mencari televisi yang menyiarkan sepakbola atau bal-balan di Wonogiri, berakhir sudah. Dan seperti nasehat Andrew Weil, pada hari-hari mendatang saya bisa kembali dengan lega meneruskan laku “puasa” dalam hal menonton televisi.

“Apabila Anda dapat memilihkan tiga perubahan bagi warga Amerika Serikat dalam mengubah gaya hidup sehingga sistem kesehatan jiwa raga mereka selalu dalam kondisi puncak, apa saja yang harus mereka kerjakan ? ,” demikian pertanyaan terakhir Bonnie Rubin dari majalah Good Housekeeping kepada Andrew Weil.

“Lebih banyak berjalan kaki, memperhatikan pola bernafas (Weil menyarankan cara terbalik, yaitu menghembuskan nafas dulu, baru kemudian menariknya) dan makan lebih banyak buah serta sayuran. Ketiga hal tersebut mampu dilakukan oleh setiap orang,” tutup Andrew Weil.

Dini hari itu saya langsung mempraktekkan ajaran pertama Weil di atas. Dari kafe Ngaso Angkringan di Pokoh ke Kajen saya pulang dengan jalan kaki. Sebagai the morning walker, kali ini jalan kaki pagi saya sungguh-sungguh merupakan ritus yang benar-benar terlalu pagi. Itulah harga yang harus dibayar agar saya bisa menonton sepakbola di layar televisi, di kota kecil Wonogiri ini.

Mission accomplished !

Wonogiri 24-28 Mei 2007


tmw

Labels: , , ,

Thursday, May 10, 2007 

ASSI, Suporter Teroris dan Kepala Ikan Sepakbola Kita


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



"I will truly miss these people," begitu desah sedih Yoon Eun-Jung (20), mahasiswi cantik Korea Selatan, ketika Piala Dunia Korea-Jepang 2002 berakhir. Ia pantas merindukan sesama teman-teman barunya, sesama relawan dan sesama suporter, juga suasana negeri Ginseng dan timnas sepakbolanya ketika menjadi perhatian dunia.

Sepanjang penyelenggaraan pesta akbar sepakbola sejagat itu Yoon Eun-Jung merelakan kuliahnya ia liburkan selama satu semester. Kemudian menempuh perjalanan 300 km dari Pusan ke Seoul semata untuk menjadi relawan bagi Red Devils, organisasi payung kelompok suporter timnas Korea Selatan.

Wartawan kantor berita Reuters Oh Jung-hwa, seperti dikutip dalam situs FIFAworldcup.com, menggambarkan bagaimana kelompok suporter yang semuanya berseragam merah itu menguasai sebagian besar blok stadion ketika Song Chong-gug dan kawan-kawan bertanding untuk “menyajikan koor, mengibarkan bendera dan melambai-lambaikan kertas bertuliskan pesan untuk mendukung timnya dan mengejek tim lawan.”

Bagi saya pribadi, Red Devils nampak agung ketika mereka kompak menyanyikan nomor Simfoni No. 9 dari Beethoven, Song of Joy. Pasoepati Solo telah menyanyikannnya sebelum Red Devils itu bernyanyi.

Sosok dan keteladanan dari Yoon Eun-Jung itu berkelebat di benak saya ketika mendapati fakta bahwa di bulan Juli 2007 mendatang Indonesia menjadi salah satu tuan rumah Piala Asia 2007. Apakah di Senayan akan ada kesibukan seperti halnya yang terjadi di markas Red Devils di Seoul, diriuhkan hadirnya relawan-relawan suporter seperti Yoon Eun-Jung dan kawan-kawan ?


ASSI Seumur Jagung. Sebagai seseorang yang tinggal di Wonogiri, kiranya saya boleh memimpikan hal indah di atas terjadi. Persis seperti halnya sekitar 5 tahun lalu saya telah memimpikan hadirnya organisasi payung suporter sepakbola Indonesia : ASSI, Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia.

Silakan membolak-balik kenangan milik Sigit Nugroho (wartawan BOLA), Mayor Haristanto (Presiden Pasoepati, kini Presiden Republik Aeng-Aeng), Rudi Permadi (Aremania, Departemen Komunikasi ASSI), Haryanto (Bonekmania, guru SMPnya Sherina), Gugun Gondrong (Jakmania), Ferry Indrasjarief (Jakmania, kini wakil manager Persija), Herru Joko (Viking Persib), Agus Rahmat, Eri Hendrian serta Leo Nandang Rukaran (Viking Jabotabek), Robert Manurung (mengaku-aku sebagai wakil Kampak Medan), Panji Kartiko (Pasoepati Jakarta, CORNEL), Ryan Ardhianto (Pasoepati Jakarta, CORNEL), dan beberapa teman pentolan kelompok suporter lainnya.

Untuk kemajuan dunia sepakbola dan suporter kita, sudah saatnya mereka menulis dan bicara, mengapa gagasan dan daya hidup ASSI itu hanya mampu bernapas sepanjang umur jagung ?

Nama-nama di atas mungkin bermanfaat bagi Anung Handoko (anoeng_7r@yahoo.com), warga Slemania, yang baru-baru saja ini (5/5/2007) berkirim email kepada saya. Ia yang lulusan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, pernah menulis skripsi tentang sepakbola terkait politik (“hmm, saya pengin memiliki skripsinya juga”), kembali ingin menulis tentang sepakbola.

Lebih lanjut Anung Handoko menulis, “saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang multikulturalisme dan nantinya akan dibukukan oleh (penerbit) Kanisius. Kebetulan saya mengambil suporter sepakbola sebagai bahan kajian dengan melakukan studi pada Slemania. Dalam gambaran saya, nantinya saya juga akan membahas tentang fenomena munculnya suporter kreatif dan tentu saja membahas juga ASSI. Oleh karena itu kalau boleh saya minta bantuan, mungkin Mas Bambang bisa menceritakan soal terbentuknya ASSI, dari sejarah, latar belakang, tujuan dan lain-lainnya.“ Fenomena ASSI itu, bagi saya, mengingatkan saya akan kata mutiara dari Sam Rayburn bahwa “Sepakan seekor keledai dapat mudah merubuhkan sebuah gudang, tetapi membutuhkan seorang tukang kayu yang andal untuk membangunnya.”


Filosofi Kepala Ikan. Email dari Anung itu membuat saya repot. Karena ASSI bagi saya adalah subjek campuran yang melibatkan cinta dan benci. Sebagaimana halnya hati saya terhadap sepakbola Indonesia selama ini. Tetapi merujuk pengalaman bergelut dalam dunia suporter sepakbola, mengelola suporter kita itu memang kadang seperti menggembala sekumpulan kucing. Sangat sulit sekali mengatur mereka. Tiap kepala memiliki pikirannya sendiri-sendiri.

Tak ada pula pendekatan meritokratis yang mudah “laku” di sana. Karena maaf, sebagian besar suporter sepakbola kita seperti sering saya sebut adalah para gerombolan, kumpulan useful idiots, himpunan kaum teroris yang dilegalkan untuk berhimpun di stadion-stadion yang tidak pernah ditangkap atau dihukum ketika melakukan keonaran atau pun pelanggaran hukum lainnya.

Tetapi mengapa di Korea Selatan Red Devils bisa terorganisasi, bahkan menjadi semacam ikon budaya ketika tampil di perhelatan pesta Piala Dunia ? Kaum sosiolog atau cendekiawan lainnya, mungkin bisa menjawab. Termasuk menjawab rasa jengkel dan penasaran sobat “Doni” yang nasionalis (walau ia fans Manchester United) di kotak teriak (shout box) alias boks bengok di blog ini.

Silakan cermati, betapa ia telah mempertanyakan fenomena kelompok suporter Persija Jakarta, The Jakmania, selalu saja memakai kaos oranye juga ketika mendukung tim nasional Indonesia. Sobat Weshley Hutagalung (wartawan BOLA), beberapa tahun lalu, juga pernah menyinggung hal “aneh” seperti ini kepada saya. Katanya, “Di Inggris tak ada di antara kerumunan suporter tim The Three Lions memakai seragam suporter Chelsea !”

Menjawab keluhan “Doni” itu, saya hanya menguak kembali inti artikel saya di blog ini sebelumnya yang mengupas fenomena penggunaan jargon “republik” dalam komunitas suporter sepakbola kita. Sebagai seorang epistoholik membuat topik yang sama juga saya tulis di kolom surat pembaca Harian Kompas Jawa Tengah :


Republik Suporter Sepakbola
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Kamis, 21 Desember 2006


“Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia,” demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, tentulah pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Tetapi di Indonesia, muncul gambar lain. Setiap kali mengamati siaran langsung pertandingan sepakbola lokal melalui televisi, saya mencatat spanduk-spanduk suporter sepakbola yang “memproklamasikan” kelompok mereka dengan sebutan republik. Hitung saja berapa banyak “negara suporter” yang mendukung timnya di divisi utama, divisi satu dan dua, yang ada di negara kesatuan RI ini.

Memproklamasikan kelompok suporternya dengan sebutan semacam itu mungkin bermaksud sebagai lelucon. Tetapi mungkin juga tidak. Apalagi bila dikaitkan dengan militansi buta kelompok-kelompok suporter di Tanah Air selama ini, terutama fenomena tawuran antarmereka, yang selalu merambah fihak-fihak lain di luar stadion pertandingan. Baik sebagai pelaku kerusuhan atau pun sebagai korban. Betapa mengerikan bahwa tawuran antarmereka kini telah diberi label baru, ibaratnya sebagai perang antar negara !

Fenomena maraknya label republik suporter dan potensinya yang semakin memicu sengitnya perang antarmereka, mengingatkan saya akan tesisnya Nicholas Negroponte tentang negara bangsa. Menurutnya, negara bangsa itu ibarat kapur barus, dari benda padat yang segera tergerus habis menjadi gas. Timor Leste yang kecil itu saja kini terbelah menjadi dua.

Lalu, bagaimana Indonesia kita ? Terserah kita. Melalui sepakbola kita bisa meneladani ucapan Nelson Mandela atau melalui sepakbola pula bisa kita tanamkan embrio militansi sampai fanatisme buta sehingga mampu menjurus kepada terpecah-belahnya bangsa ini pula.

Selamat nonton Piala Dunia 2006 dan jangan lupa, untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara tercinta ini pula.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


The fish always stinks from the head downwards. Pembusukan ikan selalu dimulai dari kepala dan baru lalu turun ke bawah. Demikian kata pepatah. Maju-mundurnya negeri ini, walau sesudah terjadi reshuffle pun, akan ditentukan dari atas, dari “kepala” alias dari Istana. Demikian pula maju-mundurnya persepakbolaan nasional kita akan ditentukan oleh “kabinet” baru Nurdin Halid dan PSSInya. Lalu siapakah yang memulai proses pembusukan perilaku suporter sepakbola kita ?

Silakan Anda menjawabnya.


Wonogiri, 10 Mei 2007


si

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates