Saturday, January 28, 2006 

Daniel Nivel, Beri Mardias dan Dunia Kecil Sepakbola Indonesia





Oleh : Bambang Haryanto


Banyak orang suka terperangkap dalam dunia kecilnya sendiri. Mereka tidak peduli terhadap pelbagai hal atau peristiwa yang mereka anggap tidak memiliki kaitan langsung dengan hidupnya. Peristiwa politik dan peristiwa dunia, sekadar contoh, merupakan hal yang begitu saja dan begitu mudah terlupakan.

Terbunuhnya wartawan Udin, meninggalnya Marsinah, hilangnya Wiji Thukul, dan mungkin juga nanti kasus tewasnya pejuang HAM, Munir, akan segera mudah terhapus begitu saja dari memori banyak orang.

Untuk komunitas sepakbola Indonesia, orang mungkin sudah tidak ingat lagi skandal sepakbola gajah antara Thailand dan Indonesia di Piala Tiger 1998, di Vietnam. Saat itu Mursyid Effendi sengaja membobol gawang timnya sendiri, agar tim Indonesia tidak bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal.


Image hosted by Photobucket.com

DUNIA KERDIL SEPAKBOLA INDONESIA. Sudah terlalu lama prestasi sepakbola Indonesia tidak mampu berbicara di kancah internasional. Dukungan suporter-suporter cantik Indonesia di Stadion Kallang Singapura saat Final Piala Tiger 2005, tidak mampu membangkitkan tim kita pula. Mungkinkah itu semua terjadi karena kita selalu berpikir dan berwawasan kerdil ? (Foto : Dokumentasi Tabloid BOLA).

Orang juga mudah lupa preseden sepakbola gajah kelas dalam negeri, yang terjadi di tahun 1988. Dalam pertandingan terakhir putaran kedua kompetisi Divisi Utama Perserikatan PSSI Wilayah Timur, 21 Februari 1988, tuan rumah Persebaya dibantai oleh Persipura, 0 – 12. Kekalahan busuk penuh rekayasa ini merupakan balas dendam tak langsung Persebaya atas PSIS Semarang, sehingga juara bertahan 1986/1987 tersebut tidak dapat lolos untuk berlaga di putaran final di Senayan.

Bagi kalangan suporter sepakbola Indonesia, nama Suherman, suporter Persebaya yang tewas di stadion Mandala Krida Yogyakarta atau nama Beri Mardias, warga Jakarta tetapi pendukung PSP Padang yang tewas dikeroyok suporter Persija di lingkungan Senayan, mungkin sudah lenyap pula dari ingatan.

Kalau saja Daniel Nivel tinggal di Indonesia, nasibnya mungkin akan serupa pula. Tetapi karena ia tinggal di negara yang budaya tulis dan bacanya maju, penderitaannya justru menerbitkan ilham.

Daniel Nivel adalah nama polisi Perancis yang saat berlangsungnya Piala Dunia 1998 dikeroyok sampai luka berat oleh gerombolan suporter sepakbola berandalan asal Jerman.

Saat itu satu jam sebelum pertandingan antara Jerman melawan Yugoslavia, kota Lens di Perancis yang cerah dan damai dikejutkan terjadinya bentrokan antara polisi anti hura-hara Perancis melawan ratusan brandal sepakbola asal Jerman.

Hasil pertandingannya sendiri adalah 2-2. Jerman menjadi pemuncak grup F dan lolos ke babak berikutnya. Tetapi memori kebrutalan brandal sepakbola Jerman itu terpateri pada seorang polisi Perancis, Daniel Nivel, yang tubuhnya tergeletak koma, nyawanya meregang, di tepi jalan dan bersimbah darah. Brandal sepakbola asal Bochum Jerman yang diduga menjadi penganiaya Daniel Nivel akhirnya divonis masuk penjara selama 3 tahun.

Penderitaan Daniel Nivel, yang cacat seumur hidup tersebut, telah mengetuk nurani Egidius Braun, ketua “PSSI”-nya Jerman untuk berbuat sesuatu. Idenya segera mendapat dukungan dari FIFA, UEFA, organisasi sepakbola Perancis dan Jerman, dan keempat organisasi lainnya sebagai pilar pendiriannya.

Berkedudukan di Basel, Swiss, terbentuklah kemudian Yayasan Daniel Nivel (Daniel Nivel Foundation/DNF). DNF berkiprah menggalang penelitian mengenai tindak kekerasan suporter sepakbola, aksi-aksi pencegahan dan pemidanaan sampai upaya menyantuni korban-korban tindakan brutal suporter sepakbola. Dana akan dihimpun, antara lain dari hasil pemasukan pertandingan amal sepakbola yang mereka rencanakan dan sumber-sumber donasi lainnya.

Dalam pagelaran Piala Dunia 2006 di Jerman nanti, Daniel Nivel akan juga diundang sebagai tamu kehormatan FIFA.

Apakah kisah dan kiprah mulia serupa dapat juga terjadi di Indonesia ? Misalnya dengan mendirikan Yayasan Beri Mardias, untuk mengenang kematiannya karena menjadi suporter sepakbola ? Saya pesimis. Karena insan-insan sepakbola Indonesia hanya suka terperangkap dalam dunia kecil mereka sendiri.

Sejak dulu. Hingga kini.



Wonogiri, 29 Januari 2006

Tuesday, January 03, 2006 

Eulogi Untuk Widhiana Laneza dan Sepakbola Indonesia




Oleh : Bambang Haryanto


Sepakbola Kotor Di Indonesia. Sepakbola Indonesia telah mati. Karena sportivitas telah lama mati. Wartawan harian Kompas, Yulia Sapthiani, ketika menulis laporan tutup tahun persepakbolaaan Indonesia sepanjang tahun 2005, mengemukakan analisis yang mengentak.

Suasana kejiwaan yang dominan melingkupi insan sepakbola negeri besar ini adalah sikap mental katak dalam tempurung. Juara liga Indonesia adalah tujuan puncak, meski harus dilalui dengan cara “kotor” sekali pun, tulis Yulia. “Kompetisi di Indonesia sama sekali tidak menganut asas fair play”, keluh Fachry Husaini, asisten pelatih tim nasional.

Saya jadi saksi, baik di Jakarta atau pun di Singapura, timnas kita dibekuk oleh Singapura dalam Final Piala Tiger 2004/2005.

Image hosted by Photobucket.com

TAK ADA KEBANGKITAN. Kehadiran suporter sepakbola Indonesia di National Stadium Kallang Singapura, diramaikan spanduk yang khusus kami bawa dari Indonesia. Kalau Anda jeli, foto paling kanan adalah fotonya Mayor Haristanto dan saya. Sayang, tak ada keajaiban. Tidak ada kebangkitan. Di leg pertama Final Piala Tiger 2004/2005, di Senayan timnas kita dipukul Singapura, 1-3. Di Kallang ini kami jadi saksi, timnas kembali kalah dengan 2-1. (Foto : Dokumentasi BOLA)>

Sesudah kegagalan itu, PSSI jualan kembang gula penghibur baru lagi kepada publik bola tanah air. Mencanangkan target juara di SEA Games 2005 Manila, tetapi akhirnya hanya berbuah betapa anak-anak asuhan Peter Withe kembali ke tanah air dengan tangan hampa. Perunggu pun tidak.

Panorama puncak kompetisi domestik, Liga Indonesia 2005, dicederai mentah-mentah oleh Persebaya yang mengundurkan diri, yang membuat Persija melenggang santai meraih puncak. Banyak orang bersyukur, tim ibukota negara yang melimpah uang itu akhirnya dirontokkan oleh anak-anak mutiara hitam Papua.


Cinta Yang Belum Padam. Bagi saya, sepakbola Indonesia memang telah lama mati. Saya pun telah memvonis sepakbola Indonesia telah lama mati. Di Tabloid BOLA (24/1/2003), persis tiga tahun lalu, saya menulis opini : “Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati”. Sejak itu, saya tak menulis opini lagi di tabloid terbesar ini.

Tetapi api cinta kepada sepakbola, ternyata belum padam sama sekali. Gara-gara saya memiliki blog Suporter Sepakbola ini, rasa mabuk kepayang terhadap sepakbola, rupanya harus terusik lagi. Membara lagi.

Inilah ceritanya. Gara-gara boss majalah Freekick, yang akan terbit di awal tahun 2006 ini, chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya belok ke saya.

Totot pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka ikut kontes itu dalam blog. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email. Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Boss majalah ini yang sering menulis kolom sepakbola di harian Kompas, Andi Bachtiar Yusuf, akhirnya meminta saya untuk menulis kolom di majalah Freekick itu pula.


Saya tinggal di Wonogiri. Karena kota kecil saya ini topografinya terkepung oleh gunung, saya tidak bisa nonton tayangan sepakbola di SCTV dan TV7. Juga terlalu lama tidak membaca-baca FourFourTwo atau World Soccer. Terakhir, membolak-balik kumpulan lelucon mengenai David Beckham dan istrinya, di toko buku Times NewsLink, Terminal 1 Bandara Changi Singapura, tetapi aku malas untuk membeli.

Masa lalu itu, cinta lama saya terhadap sepakbola, lalu melambai-lambaiku. Untuk kembali. Persis bersamaan momennya, gara-gara menulis blog mengenai wanita-wanita terindah saya, masa lalu lain juga merenggutku untuk kembali.


Wanita Terindah Telah Pergi. Menjelang akhir Desember saya menerima email dari Verdi Amaranto*. Nama tak kukenal. “Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan blog Anda, "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list wanita-wanita terindah Anda. Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya” (* Ketika saya naksir Anez, Verdi lagi menyelesaikan kuliahnya di Paris, Perancis).

Image hosted by Photobucket.com


Widhiana Laneza

Sepakbola Indonesia telah lama mati. Kini seorang wanita terindahku, “telah berjalan di antara awan” pula. “Now she's walking through the clouds /With a circus mind /That's running wild /Butterflies and zebras /And moonbeams and fairytales /All she ever thinks about is /riding with the wind “, penggalan lirik lagu “Little Wing”-nya Jimi Hendrix.

Kepergian Anez, yang dulu suka bercanda dengan anjing kampung yang ia beri nama Grigri, “jimat” dalam bahasa Perancis, membuatku mampu menangis pada puncak malam. “Tumpahkan air matamu hingga memenuhi sebuah kapal”, pepatah Srilanka yang memberi arah bagaimana kita harus melupakan rasa kehilangan dan kesedihan. Untuk itu, telah pula aku buatkan situs blog, Song For Anez, untuk mengiringi kepergiannnya yang abadi. Kepergian Anez, yeah, harus diikhlaskan


Tetapi bagaimana dengan sepakbola ? Peneliti seks Shere Hite yang terkenal dengan buku Hite’s Report, yang gengsinya setara dengan buku-buku laporannya Johnson dan Masters, telah menyimpulkan : football can be categorised as a type three masturbatory technique. Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi yang ketiga.


Mari kita nikmati ramai-ramai sensasinya.
Di bulan Juni-Juli mendatang, mari kita orgasme sama-sama pula !


Wonogiri, 3 Januari 2006

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates