Friday, April 07, 2006 

Budaya Jawa dan Kekerasan Sepakbola



Oleh : Bambang Haryanto



Filsuf Perancis Jean Paul Sartre (1905-1980) pernah bilang, dalam sepakbola semuanya jadi rumit karena hadirnya pemain lawan. Dalam konteks Indonesia, sepakbola makin bertambah rumit karena hadirnya suporter tim yang bertanding, sehingga melahirkan lelucon betapa Indonesia pantas disebut sebagai negara sarang teroris. Buktinya, mereka legal berkumpul di stadion-stadion, juga leluasa melakukan aksi teror ketika tim yang ia dukung kalah.

Aksi teror dan kerusuhan suporter di Jawa Tengah meledak lagi (12/3/2006) di Jepara. Sebagai suporter dan football flaneur, istilah dari penyair Perancis, Charles Baudelaire (1821–1867) untuk turis bola yang gemar menjelajah kota untuk nonton sepakbola (di Pulau Jawa sampai Singapura), saya pribadi kenyang menemui aksi-aksi brutal suporter sepakbola Indonesia. Tetapi hal buruk tersebut senyatanya tak hanya meledak di masa kini.


Adalah Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, secara tajam mengungkap borok tindak kekerasan dunia suporter sepakbola Indonesia sejak jaman kolonial hingga kini. Dalam tulisannya "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia memakai pisau bedah dari perspektif budaya dan politik dalam analisis yang provokatif.

Ditilik dari kajian budaya, menurutnya, tidak dapat diingkari bahwa Indonesia kuat dipengaruhi budaya suku mayoritas, suku Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.

Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame, dan mediasi oleh fihak ketiga. Apabila meletus konflik, terutama ketika saling ejek dan saling hina terjadi, maka yang muncul adalah perasaan malu dan kehilangan muka.

Dengan landasan sikap interaksi antarmanusia tipikal seperti itu, membuat pertandingan sepakbola menjadi problematis. Sebab sepakbola adalah konflik eksplisit, dimana seseorang sangat mudah untuk merasa dihinakan. Adanya tackle keras, trik licin mengecoh lawan, sampai keputusan wasit yang mudah ditafsirkan secara beragam, jelas membuat penghindaran menjadi hal mustahil. Apalagi ketegangan itu diperburuk oleh fakta bahwa tindak penghinaan tersebut tidak hanya berlangsung di muka umum, tetapi nyata-nyata di depan ribuan pasang mata. Reaksi tipikal orang Jawa ketika dibawah tekanan semacam itu adalah ledakan kemarahan dan amuk tindak kekerasan.

Tesis di atas dapat dinilai parsial dan hipotetis. Karena argumen yang sama kurang meyakinkan bila diterapkan untuk kelompok etnis Indonesia lainnya, yang juga memunculkan tindak kekerasan serupa dalam teater sepakbola. Idealnya kemudian, penjelasan secara kultural tadi direntang dengan menggambarkan kesejajaran secara spekulatif antara sepakbola dengan budaya politik, sehingga mencakup pemain dan suporter dari semua latar belakang etnis di Indonesia.


Kalah dan Amuk

Dalam budaya demokrasi, kalah-menang secara fair play merupakan bagian sah suatu kompetisi. Di pentas Piala Dunia 2002 kita diberi keteladanan ketika tuan rumah Korea Selatan atau Jepang mengalami kekalahan, ternyata tidak terjadi kerusuhan sama sekali. Hal sebaliknya justru meletus kerusuhan di Moskwa ketika Rusia dikalahkan oleh Hidetoshi Nakata dan kawan-kawan.

Sementara itu di pentas sepakbola Indonesia, kerusuhan masih mudah meruyak ketika suatu tim mengalami kekalahan. Realitas ini menegaskan betapa dalam masyarakat non-madani, bahwa ide mengenai kompetisi yang selalu melibatkan konflik, belum berurat dan berakar. Bahkan perilaku menjunjung tinggi sportivitas dipandang sebagai hal bodoh. Teater sepakbola Indonesia kaya dengan contoh pelecehan terhadap sportivitas olahraga.

Misalnya dalam pertandingan terakhir putaran kedua Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur 1988, tuan rumah Persebaya digulung Persipura dengan skor fantastis, 0 - 12. Persipura dengan kemenangan itu berarti menyisihkan peluang PSIS Semarang sebagai juara bertahan 1986/1987 untuk berlaga ke Senayan. Tetapi kemenangan fantastis itu, semua publik sepakbola mengetahuinya, merupakan kemenangan yang tidak wajar, diatur para eksekutif kedua tim perserikatan tersebut.

Dalam perempat-final Piala Tiger 1998 di Hanoi, Vietnam, terjadi peristiwa aib yang melibatkan tim nasional Indonesia. Peristiwa hitam itu terjadi ketika tim yang bertanding, baik tim Thailand atau pun Indonesia, sama-sama tidak menggubris etika dan roh olahraga itu sendiri, yaitu sportivitas.

Kedua tim berusaha mati-matian agar memperoleh kekalahan pada akhir pertandingan. Tujuannya, agar terhindar bertemu tuan rumah Vietnam di semi final. Saat skor 2-2 pada perpanjangan waktu, pemain Indonesia Mursyid Effendi menembak ke gawang timnya sendiri. Kiper Indonesia tidak berusaha menepis. Justru banyak pemain Thailand berusaha menjaga gawang timnas Indonesia agar tidak kebobolan.

Semua ilustrasi menyedihkan itu menunjukkan semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia. Berdasar pendapat banyak ahli, memang itulah cermin sejati bangsa Indonesia yang lebih condong sebagai sosok masyarakat non-madani ketimbang masyarakat yang demokratis. Kalau terus seperti ini, kapan Indonesia bisa masuk Piala Dunia ? Antonio Gramsci pernah bilang, sepakbola merupakan model masyarakat individualistik yang membutuhkan prakarsa, kompetisi dan konflik. Tetapi segalanya diatur oleh peraturan tidak tertulis yaitu hukum fair play.

Mari kita introspeksi diri. Apakah masyarakat kita selama ini telah kondusif untuk mekarnya segala prakarsa, berbudaya sehat dalam berkompetisi, arif menyelesaikan beragam konflik, sekaligus patuh terhadap segala peraturan tertulis dan tidak tertulis secara konsekuen ?

Selama kita belum mengalami perubahan budaya seperti disyaratkan Gramsci, jangan harap prestasi sepakbola kita bisa ikut berbicara di pentas dunia. Hari-hari mati prestasi sepakbola Indonesia masih teramat panjang sekali. Dan kerusuhan antarsuporter seperti yang meledak di Jepara itu pasti masih terus terulang dan terulang kembali ! (Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 4 April 2006).


si

Saturday, April 01, 2006 

Barry Sihotang, Whistle Blower dan Sepakbola Indonesia



Oleh : Bambang Haryanto



Blogger of The Year 2005 pantas disandang oleh Herman Saksono. Gara-gara jahil menulis esai cara menghentikan balita ngupil dengan “Cara SBY-JK”, ia harus berurusan dengan polisi. Bagaimana “Cara SBY-JK” menghentikan kebiasaan jelek mengorek-orek isi hidung oleh anak-anak bawah lima tahun atau bawah lima puluh tahun itu ?

“Naikkan tarif ngupil hingga 80 persen.”

Lelucon cerdas. Keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM hingga mencekik masyarakat bawah telah ia olah menjadi lelucon sekaligus kritikan yang pcdas. Dalam khasanah comedy writing, teknik melucu yang dipakai mahasiswa Teknik Elektro UGM itu dikenal sebagai perbandingan.

Tetapi oleh pemerintah duet SBY-JK yang disebut-sebut memiliki kecenderungan narkisis, jaim, getol menjaga citra, maka ulah Herman Saksono tersebut menjadi urusan negara. Kini “Cara SBY-JK” itu di blognya telah berubah jadi “Cara Indonesia.”


Selamat datang di dunia blog, fasilitas jurnal atau buku harian online yang kini jadi heboh di dunia. World Summit on Information Society 2 (WSIS 2) di Tunisia, pertengahan November 2005 lalu, meluncurkan kredo : bila Anda tidak mampu berekspresi, Anda dianggap tidak ada, tidak eksis. Bagi saya sebagai seorang blogger, ijinkanlah saya membebek kredo tersebut : apabila Anda tidak memiliki situs blog maka eksistensi Anda juga dianggap tidak ada di dunia.

Ulah Herman tersebut memang tidak berpanjang-panjang menjadi urusan polisi. Tetapi juga gara-gara blog, seorang Ellen Simonetti, seorang pramugari berambut blonde dan cantik dari Delta Air Lines, harus rela kehilangan pekerjaan. Ia menjadi korban dooced, yang menurut majalah Business Week (11/5/2005) merupakan istilah yang digunakan bila seseorang kehilangan pekerjaan akibat blog. Ya seperti Ellen Simonetti tersebut.

Memanglah, pegawai dapat dipecat bilamana memuat data-data sensitif perusahaan di blog mereka. Tetapi ngomong-ngomong, dari mana istilah dooced itu berasal ? Ternyata istilah tersebut muncul ketika Heather Armstrong dipecat karena situs miliknya, dooce.com, memuat sindiran pedas terhadap perusahaan tempat ia bekerja.


Mengobrolkan masalah blog dan pecat-memecat, saya lalu teringat sebuah nama : Barry Sihotang. Anda sebagai pencinta sepakbola nasional, sudahkah Anda mengenal nama ini ?

Yang saya tahu, Barry Sihotang semula adalah wartawan sepakbola untuk Harian Kompas. Tahu-tahu, kalau tidak salah, dirinya pernah pula mengelola situs web www.sepak-bola.tv, yang kini mungkin sudah tidak ada lagi. Berita di situs ini pernah mendapat protes keras dari Aremania dan Laskar Benteng Viola karena dianggap informasinya tidak akurat. Barry Sihotang pun kemudian memberikan klarifikasi, juga meminta maaf.

Konon, sejak saat itu situs ini kapok memuat berita-berita tentang suporter sepakbola Indonesia. Ia juga tak jarang muncul sebagai komentator di televisi untuk pertandingan sepakbola internasional.

Dengan saya, kami hanya saling kenal kebo belaka. Kalau di kompleks Gelora Senayan atau di lorong kantor PSSI (“beberapa kali saya ikut nebeng mandi dan sholat di musholanya, termasuk mendoakan keberhasilan tim Indonesia”), paling-paling kalau ketemu hanya saling melambai atau melempar senyum.


Barry Sihotang adalah nama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan ketika PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) ternyata tidak becus mengelola pekerjaan administratif mereka yang elementer. Mengurus surat-menyurat. Akibatnya pun fatal. Kita tahu kemudian, Indonesia mendapat sanksi tanpa kompromi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), yang membuat tim Persipura (Jayapura) dan Arema (Malang) terpaksa gagal berlaga di ajang kompetisi Liga Champions Asia 2006.

Skandal yang sempat menuai aksi demo dan kecaman keras tetapi hanya setengah hati dari Aremania itu menimbulkan dua jenis spekulasi. Pertama, keteledoran ini mungkin suatu kesengajaan. Pengelolaan persepakbolaan Indonesia yang tak kunjung memiliki prestasi internasional yang berarti, di kancah Asia Tengara pun, mungkin membuat mereka memutuskan untuk melakukan aborsi.

Kedua, keteledoran tersebut jelas menunjukkan betapa pengelolaan persepakbolaan kita sebagai business as usual, seadanya. Asal jalan. Tak ada bara passion, juga tidak ada keinginan untuk bekerja maksimal guna meraih tingkat excellence. Salah urus persepakbolaan kita adalah realitas yang benar-benar sudah kronis.

Kini ketika borok itu terkuak begitu nyata, seorang Barry Sihotang menjadi tumbal. Sebagai kambing hitam. Gonjang-ganjing di PSSI/BLI itu mungkin dapat diparalelkan dengan peristiwa heboh ketika Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi terbelit urusan surat rekomendasi ke Departemen Luar Negeri seputar penunjukan perusahaan untuk merenovasi kantor kedubes RI di Seoul.

Surat itu lalu diwartakan sebagai surat palsu. Lalu ada seorang anak buah dari Sekretaris Kabinet itu disebutkan sebagai fihak yang bersalah, lalu yang bersangkutan dikeluarkan, dikembalikan ke institusi militer, tempat ia semula berasal.

Barry Sihotang mendapat vonis harus keluar dari kepengurusan PSSI. Sementara boss-nya, Andi Darusalam Tabusalla, hanya mendapat hukuman berupa teguran keras. Kini, which way you going, Barry ? Kemana kini Barry Sihotang akan melenggang ? Kita tidak tahu apa langkah seorang Barry Sihotang selanjutnya.


Saya kini tergoda untuk berandai-andai. Bagaimana kalau seorang Barry Sihotang memutuskan diri untuk berani menjadi seorang deep throat , demi kemajuan sepakbola Indonesia ?

Deep Throat adalah nama sandi untuk informan, orang dalam, pada pemerintahan Presiden Richard Nixon. Di tahun 1974 dalam usahanya memenangkan pemilihan umum, anak buah Nixon yang dari Partai Republik telah melakukan penyadapan terhadap Gedung Watergate di Washington, DC, yang merupakan markas Partai Demokrat, seterunya. Skandal ini terbongkar oleh duo wartawan koran The Washington Post, Woodward dan Bernstein, karena mendapat bocoran informasi penting dari Deep Throat tadi. Presiden Nixon dipaksa mengundurkan diri.

Atau, Barry Sihotang dapat tampil sebagai whistle blower. Bernyanyi. Dirinya dapat meluncurkan situs blog untuk menceritakan segala seluk-beluk bagaimana sebenarnya selama ini organisasi PSSI itu dijalankan. Membongkar borok-borok yang ada.

Atau menulis buku. Atau membentuk LSM semacam watch dog, pemantau. Kalau dalam mencermati kasus-kasus korupsi di Indonesia ada lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), bagaimana kalau ia luncurkan Indonesia Sports Watch atau Indonesia Soccer Watch ? Mengapa penting dan perlu ?

Karena sudah terlalu lama jalannya lembaga-lembaga olahraga, terutama organisasi sepakbola kita, hanya mengandalkan keberadaan orang kuat yang memiliki sumber keuangan yang kuat. Mereka dan gang-nya, yang orang itu-itu pula, berdasarkan koncoisme dan bukan berdasar merit system, terus saling berotasi untuk memangku jabatan tertentu dalam lembaga sepakbola kita.

Mereka seperti tidak pernah didata atau diaudit mengenai apa saja keberhasilan dan terutama kegagalan-kegagalan mereka selama ini. Ibarat danau, lembaga sepakbola kita tak ada asupan sumber air baru dan tidak ada pula air yang keluar mengalir. Air itu beracun.

Barry Sihotang kini memiliki panggung dan momen sejarah terbaik untuk berbuat sesuatu yang penting dan berarti bagi kemajuan sepakbola Indonesia di masa depan. Membersihkan genangan air yang sudah tidak higinis itu. Tetapi kalau ia diam saja, namanya pun akan segera hilang seperti debu.

Umpama nanti Barry Sihotang betul-betul berani untuk kembali menulis secara tajam, jujur, sistematis dan bertanggung jawab dalam membongkar hal-hal yang tidak beres dari pengelolaan PSSI dan BLI, dengan ketajaman seorang wartawan harian Kompas dalam situs blognya, ijinkanlah saya secara dini untuk berani menominasikannya kelak sebagai : Blogger of The Year 2006. Bagaimana pendapat Anda ?


Wonogiri, 31 Maret 2006



si

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates