Saturday, May 20, 2006 

Impian Kandas Di Highbury Dan Tujuh Mawar Mekar Di Bromley



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Di final Liga Champions 2006, jagoan saya kalah. Barcelona yang jadi juaranya, setelah memetik skor akhir 2-1. Saya memang menjagokan Arsenal walau sebenarnya tim ini bukan favorit saya di antara tim-tim yang berlaga di Liga Inggris.

Favorit saya adalah Leeds United, yang saya sukai sejak kehadiran pemain jenius dan kontroversial yang suka puisinya penyair Perancis Arthur Rimbaud, Eric Cantona, bergabung bersama Gordon Strachan, Gary Kelly, Gary Speeds, dan teman-teman merumput di Elland Roads.

Ah, Eric Cantona. Brian Oliver, redaktur olahraga koran The Observer pernah menulis tentang dirinya. Cantona crossed a line no player had crossed before in English football: he attacked a fan Cantona telah menerobos batas yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah sepakbola Inggris : ia menyerang suporter sepakbola.

Tulisan itu mengomentari peristiwa yang terkenal dengan sebutan the glamour of violence, yang terjadi di Selhust Park, markas tim Crystal Palace, 25 Januari 1995. Tuan rumah saat itu bertanding melawan tim elitnya Cantona, Manchester United.

Cantona yang memiliki nomor punggung tujuh, terkena kartu merah. Konon saat itu suporter tim Crystal Palace, Mathew Simmons dan penonton sebarisan tempat duduknya, menyoraki pesepakbola asal Perancis itu dengan umpatan yang berbau rasis. “Fuck off back to France, you French motherfucker”, atau ”French bastard”, tergantung versi mana yang Anda terima.

Reaksi Cantona sungguh tak terduga. Ia melompati pagar pembatas yang berisi iklan, kemudian melakukan tendangan kung-fu ke arah Matthew Simmons.


Memimpikan Nonton Bola di Highbury. Setelah Cantona pergi dari Leeds United, pamor tim ini pun memudar. Harry Kewel, juga pergi. Lee Bowyer. Mark Viduka. Palang pintu muda dan lugas, Jonathan Woodgate hengkang ke Madrid. Malahan Gordon Strachan sudah gantung sepatu dan menjadi pelatih. Mungkin yang masih bertahan adalah bek Gary Kelly. Kecintaan saya terhadap Leeds United sekarang rasanya makin terasa sayup. Walau pun demikian, saya tak pernah menyukai timnya Eric Cantona kemudian, yaitu Manchester United.

Akhir-akhir ini saya menyukai Arsenal. Tak ada alasan khusus. Mungkin gara-gara saya mendapatkan kilikan dari seorang mahasiswi sekolah film di London. Namanya Swastika. Kami pernah janjian bertemu di Simpang Lima Sukoharjo (“saya candai via SMS : ini Piccadily Circus-nya Sukoharjo”), tanggal 29 Maret 2006 lalu. Memang rendezvous kami tidak terjadi persis di Piccadily (simpang lima tersohor di London) Circus-nya Sukoharjo itu.

Gara-gara blog Suporter Indonesia ini, saya bisa mengenal Swastika. Diawali perkenalan dengan suaminya, Andi Bachtiar Yusuf, sineas yang penggila sepakbola, yang berpangkalan di London pula.

Telah saya tulis di majalah Freekick (Februari 2006) : “Gara-gara blog yang membuat saya menulis di kolom ini. Gara-gara boss majalah (Andi Bachtiar Yusuf) ini chatting dengan Totot Indrarto, mantan creative director SatuCitra yang juga kritikus film, arahnya belok ke saya.

Totot pernah menggagas Mandom Resolution Award (MRA) 2004, di mana saya ikut serta. Saya menuliskan suka-duka ikut kontes itu dalam blog. Pas berlangsungnya MRA 2004, sampai kini, belum pernah ngomong langsung dengan dia. Komunikasi hanya lewat email. Rupanya ia berkenan menjelajah blog-blog saya, dan nyasar ke blog saya mengenai suporter sepakbola Indonesia. Boss majalah ini, Andi Bachtiar Yusuf, akhirnya meminta saya untuk menulis kolom di majalah ini pula.”

Kembali ke pertemuan dengan Swastika. Saat itu saya sengaja membawa majalah sepakbola Freekick, edisi Januari 2006. Dalam kolom “Surat dari London”, Swastika telah menulis profil perempuan Inggris, Joanne Patricia Ball, yang cintanya begitu fanatik dan mendalam terhadap klubnya Arsene Wenger ini. Ungkapan cinta Joanne kepada tim Arsenal berikut ini, bagi saya, bisa memancing lelehan air mata karena keharuan :

”It’s a club that I support, that I belong to...it’s the ONLY club for me. It means memories, emotion, aesthetic pleasures. It is history, heritage and belonging.”

Itulah sesisir dari tulisan indah yang diukir oleh Swastika. Dalam pertemuan kami di Sukoharjo itu (Tika saat itu membuat film kisah penjaja jamu gendong asal Sukoharjo) ternyata ia dititipi oleh Andi Bachtiar Yusuf agar memberikan buku untuk saya.

Buku itu karya Eduardo Galeano, asal Uruguay, berjudul Football In Sun and Shadow (2003). Buku yang menggelitik dan hebat. Sepakbola Indonesia ia sebut tiga kali dalam konteks Piala Dunia, tetapi dengan tinta buram semuanya.

Saya sebagai tukang dongeng sepakbola (baca Laurence Prusak dkk. dalam bukunya Storytelling in Organization, 2005, yang menjelaskan bahwa apa yang membuat CEO dibayar mahal : mereka bercerita !), rujukan baru ini ibarat aki intelektual saya memperoleh recharge yang menggairahkan. Terima kasih, bung Andi !

Berhubung tidak mudah memperoleh kesempatan ketemu sama Swastika, yang hari-hari ini lebih banyak tinggal di negerinya Tony Blair itu, saat itu saya minta kenangan darinya. Diatas halaman artikel yang ia tulis itu, Tika kemudian menulis pernyataan yang isinya tidak terduga. Sungguh mengagetkan saya :

“Buat Mas Bambang, sampai ketemu di Highbury !”


Image hosted by Photobucket.com


Saya terpana. Apa mungkin ?

Lalu saya pikir-pikir. Mengapa tidak menuruti impian, termasuk bercita-cita menonton sepakbola di Stadion Highbury ? Apa ruginya melambungkan impian. Apalagi ada pula orang bijak telah bilang : bermimpilah yang paling tinggi, karena ajaibnya, cita-cita yang paling tinggi itulah yang lebih mudah untuk kau gapai !


Love Will Find A Way. Saya saat ini sedang menghidup-hidupkan impian itu. Dan, sekali lagi, gara-gara cinta pula yang kembali menunjukkan jalan ajaibnya.

Kembali terbukti pula, gara-gara kesaktian blog yang saya pelihara dengan cinta, saya dipandu oleh getar-getar kosmik untuk bisa mengenal seseorang perempuan yang memesona. Rayuan awalnya sudah hebat. Ia bilang, bahwa isi blog-blog saya seperti ditulis oleh orang yang tinggal di Amerika, Australia atau pun Eropa.

Dirinya telah sekitar 20 tahun lebih tinggal di London sana. Tetapi hatinya, derai air matanya, limpahan cinta dan senyumnya, selalu menyertai anak-anak yatim, para janda, kaum dhuafa di Aceh, daerah konflik di Poso, Ambon, dan bahkan Bosnia.

Ia mengerahkan segala macam daya dan dana, di Inggris Raya sana, lalu terjun untuk menyantuni mereka-mereka yang papa. Langsung di tengah-tengah mereka. Ia kini ibarat menjadi album berisi rekaman tragika dan selaksa kepedihan sebagian anak bangsa kita yang terlalu mudah untuk dilupakan.

Dirinya tidak melupakan mereka yang tersingkir dan papa itu. Ia terus berpikir. Juga terus bekerja. Ia tak mau dikenal secara umum. Ia agak alergi terhadap publisitas media. Ia maunya hanya bekerja dan bekerja, katanya, agar kelak mampu mengantarnya ke emperan jannah. Ia memiliki derai tawa yang spontan, terasa terus muda dan menawan.

Saya tidak tahu isyarat langit apa yang telah terjadi, karena kini saya bisa mengenalnya. Mengetahui impiannya. Mengetahui kegelisahannya. Aku memberi nama panggilan sayang, Niniz, padanya. Bahkan ibaratnya, Niniz kemudian telah berani pula ketika saya ajak berjalan berdua ke bibir jurang. Lalu, bersama : let’s jump !

Keberanian memang memiliki power dan magisnya tersendiri, demikian kata Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832). Terjun kami berdua ternyata membuat kami tidak terantuk cadas atau bebatuan hitam di dasar jurang. Kami berdua kini justru mampu terbang.

Bahkan baru jadian yang belum lama, sudah muncul kecenderungan yang mudah mengingatkan kata novelis Inggris, Jane Austen (1775–1817) : A lady’s imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. Kami mengibarkan “We’ve Only Just Begun”-nya Carpenters sebagai lagu kebangsaan. Agreed we just begun, tulis Niniz dalam SMSnya.

Tim Arsenal juga memulai babak baru. Stadion mereka di Higbury kini ditutup, setelah terpakai selama 93 tahun. Thiery Henry merayakan perpisahaannya dengan Highbury dengan mencium tanah stadion dan melesakkan tiga gol ke gawang Wigan pada pertandingan terakhirnya.

Hari itu pula, impian saya untuk bisa menonton pertandingan sepakbola di stadion Higbury, yang dikibarkan oleh Swastika, juga ikut kandas. Sudahlah, aku tidak perlu menyesalinya. Tetapi, toh kiranya saya masih bisa bermimpi menonton Arsenal bertanding di stadion baru, Emirates Stadium, yang tidak jauh dari Highbury pula.

Impian yang baru itu pun kini mampu mekar. Pada hari pertandingan terakhir Arsenal di Highbury, Minggu 7 Mei 2006, aku menerima SMS dari Niniz : ”When I opened my eyes I whispered ‘I Love U’ as if you are next to me. Done this recently and I’ll do this when we marry. You have entered my life, goodbye to sorrow, loneliness, you are my hero. I LOVE U even more”

Spesial untuk menyambut my hero itu, dalam obrolan telepon 19 Mei 2006, Niniz bahkan telah memberitahukan kabar eksotis. Untuk menandai cinta kita, ia telah menanam tujuh mawar, di rumahnya kawasan Bromley, pinggiran kota London. Tiga di halaman depan, dan empat di halaman belakang.

Aku usulkan, agar ia memberi nama untuk tiga mawarnya yang tumbuh bersemi di depan. Aku kebagian memberi nama untuk empat mawar yang ada di kebun belakang. Saat ini terbersit keinginan saya untuk memberi nama salah satu dari mawar-mawar itu dengan nama, Higbury’s Dream !


Wonogiri, 19 Mei 2006


si


Friday, May 12, 2006 

Globalisasi dan  Sepakbola Indonesia


Oleh : Bambang Haryanto

Email : humorliner@yahoo.com


Nasionalisme jadi titik lemah, achilles heel, sepakbola Singapura. Begitu setidaknya di mata suporter sepakbola Indonesia di Stadion Nasional Kallang pada final leg kedua Piala Tiger 2005 yang lalu Ketika 55.000 pendukung The Lions mengaum melagukan ole, ole, ole, kami yang berhimpun di tribun timur laut segera menimpalinya dengan lagu yang sama : Impor, impor, impor ! Suporter Singapura di kanan dan kiri kami langsung bungkam.

Nasionalisme kami lagi benar-benar mendidih. Ketika di tengah kami muncul dua cewek bule yang cantik-cantik, mereka jelas mendukung tim Indonesia, koor impor, impor, impor, membahana lagi. Kedua cewek itu ketika tahu jadi sasaran tembak, dituding sebagai suporter impor bagi tim Indonesia, langsung tersenyum kecut. Mereka lari ke tribun yang lebih atas untuk menyelamatkan diri dari “amukan” nasionalisme kami.

Bek tim Singapura Daniel Bennet adalah kelahiran Inggris. Penyerang Agu Casmir dan Itimi Dickson, keduanya berkulit hitam, kelahiran Nigeria. Mereka dinaturalisasi sebagai warga Singapura. Mereka merupakan sosok pemain The Lions yang menjadi sasaran ejekan suporter Indonesia.

Tepat sasarankah ejekan suporter Indonesia tadi ? Di era globalisasi dewasa ini, masih relevankah nasionalisme ? Indonesianis Benedict Anderson pernah menulis betapa arus perpindahan antarbangsa makin menghebat dewasa ini. Ia gambarkan, imperialisme meruyak dari Eropa menyerbu India, Afrika, Asia Tenggara, Oseania dan Karibia. Suku Jawa menyerbu Amerika Latin, Afrika Selatan dan Oseania. Orang Irlandia ke Australia. Jepang ke Brasil. Filipina ke Spanyol. Dan seterusnya.

Kini gereja-gereja ada di Korea, Cina dan Jepang. Bangunan mesjid marak di Manchester Inggris, Marseilles dan Washington DC. Candi Buddha, Hindu atau pun Sikh berdiri di Los Angeles, Toronto, London sampai Dakkar.

Belum lagi gempuran teknologi komunikasi dan informasi yang kini membuat orang mampu menjangkau orang lain di mana pun di dunia. Patrick McGovern dari kelompok penerbit IDG dalam wawancara dengan Newsweek (18/9/1995) bilang bahwa komunitas di masa lalu ditentukan batas-batas geografi. Kini tidak lagi. Contoh : email yang ia terima tiap pagi di New York ada yang dari Beijing, Johannesburg atau Berlin.

“Komunitas saya adalah mereka yang memiliki minat terhadap teknologi informasi. Saya dalam mengambil keputusan berdasarkan tujuan menyejahterakan komunitas saya tersebut, yang tidak terkait struktur politik atau geografi. Dalam konteks ini hadir jenis kepemimpinan politik baru dan nyata melalui komunikasi elektronik. Mereka tidak lain juga gerakan separatis dalam sebuah negara.”

Di Singapura aku mengalami gegar budaya. Kebanggaan nasional Singapura yang populasinya didominasi keturunan etnis Cina, wajahnya diwakili sosok berkulit hitam kelahiran Nigeria. Untuk mendongkrak prestasi tim sepakbola nasional, haramkah bila kita tergiur pula melakukan hal seperti yang dilakukan Singapura ?

Nicholas Negroponte dalam Being Digital (1995) menulis, negara bangsa ibarat kapur barus. Dari bentuk padat yang segera habis menguap menjadi gas. Nasionalisme kemudian hanya ibarat penyakit cacar, yang kini nyaris telah tereradikasi dari muka bumi. Apalagi Albert Einstein pun pernah bilang : nasionalisme adalah penyakit kekanak-kanakan. Nasionalisme adalah penyakit sampar umat manusia !

Aku kini rupanya hidup di jaman yang hebat. Juga membingungkan. Jaman yang juga menakutkan bagi kelangsungan republik yang negara bangsa ini ?

Anda punya pendapat ?
Saya tunggu di :
humorliner@yahoo.com.


si

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates