Wednesday, December 29, 2010 

AFF 2010,Chappy Hakim dan Budaya Korupsi Kita


Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at)yahoo.com


Eforia sepakbola. Indonesia mabuk kemenangan. Di arena olahraga yang menjadi favorit berat warganya. Di Piala AFF 2010.

Tetapi ketika impian itu terancam terempas, tidak banyak yang mau berusaha menggali akar penyebab mengapa semua bencana itu terjadi.

Di antara warga Indonesia yang terpanggil untuk membedah tragedi kekalahan timnas Indonesia 3-0 saat ditekuk Malaysia pada laga leg pertama final Piala AFF, di Bukit Jalil 26 Desember 2010, adalah Chappy Hakim. Ia pensiunan marsekal, pernah menjabat sebagai KSAU, dan kini aktif sebagai blogger Kompasiana yang kemudian karya-karyanya diterbitkan sebagai buku.

Ulasan menarik dia berjudul Belajar Dari Tragedi Bukit Jalil, yang antara lain merujuk semacam excuse dari pelatih timnas, Alfred Riedl, yang berkali-kali mengatakan bahwa timnya itu sebagai tim yang "belum jadi."

Chappy Hakim menulis : "Sejatinya,jawaban dari hal tersebut sudah diutarakan oleh sang pelatih Alfred Riedl dari sejak awal. Dia berulang kali mengatakan bahwa tim ini sebagai tim yang “belum jadi”. Maknanya adalah, dalam meraih prestasi olahraga, harus diingat bahwa tidak akan pernah sukses itu diraih dengan tiba-tiba. Sukses dalam olahraga tidak bisa tidak harus dijalani melalui tahapan-tahapan berlapis yang harus dilakoni.

Kematangan satu tim sepak bola hanya akan diperoleh dari pengalaman bertanding yang panjang.Kekompakan dalam kerja sama tim hanya akan dapat diraih dari seringnya mereka bermain bersama, tidak hanya latihan, tetapi juga lebih-lebih dalam bertanding.

Tidak hanya bertanding di kandang sendiri, tetapi juga bertanding di kandang lawan. Tidak hanya satu dua kompetisi yang harus diikuti, tetapi juga harus banyak dan sering mengikutinya.Juara hanya dapat diraih dengan “jam terbang” yang cukup."

Bemper seksi Chappy. Pendapat Chappy Hakim di atas adalah pendapat yang masuk akal. Tetapi nampaknya dia kurang menyadari betapa dunia persepakbolaan Indonesia telah hidup lama dalam kubangan "atmosfir busuk" selama ini. Bukan hanya belitan budaya instan yang hidup di kepala para suporter dan semua pemangku kepentingan dunia sepakbola kita, termasuk melakukan naturalisasi Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim sebagai upaya menelan pil ajaib mendongkrak prestasi, tetapi terdapat "lubang hitam" lainnya yang lebih dahsyat.

Fenomena "lubang hitam" itu sudah sering saya ungkapkan berkali-kali. Tetapi, tidak ada salahnya saya tuliskan lagi,untuk menanggapi buah pemikiran Chappy Hakim tadi. Inilah pendapat saya selengkapnya :

“Bemper” seksi yang dipasang Pak Chappy Hakim (beda dengan milik Jupe) dengan merujuk pendapat Alfred Riedl bahwa timnya adalah tim “yang belum jadi,” menarik untuk terus dibincangkan. Namun ijinkanlah saya ingin menambahi, betapa “penyakit” sepakbola Indonesia lebih serius dan lebih kronis.

Sering sekali untuk blog saya ini, saya mengutip ucapan Sekjen Asian Football Confederation (AFC), Peter Velappan, di majalah Asiaweek (5/6/1998) menjelang Piala Dunia 1998.

Ia tegaskan : “Indonesia adalah Brazilnya Asia. Pesepakbola Indonesia bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang tidak ada duanya di dunia. Bakat-bakat mereka lebih baik dibanding pemain Korea atau Jepang. Pada era 50 dan 60-an, tim-tim Asia jangan bermimpi mampu menaklukkan tim Asia Tenggara.” Tetapi dalam setengah abad terakhir tim-tim Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya bisa memble berat.

Karena menurutnya, "akibat pengelolaan manajemen yang amburadul dan dan tidak bisa membersihkan dirinya dari belitan budaya korupsi." Ada foto Rocky Putiray lagi melompat (ditulis sebagai Perry Sandria), dengan teks : "Pemain Indonesia banyak yang berbakat, tetapi pengaturan skor meruyak dimana-mana."

Penyakit kronis persepakbolaan kita lainnya, kita bisa belajar dari Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden, mantan pemain Harlemsche Football Club Belanda, mengungkap bahwa posisi sepak bola Indonesia dalam percaturan dunia kini berada dalam posisi periferi, pinggiran.

Dalam artikel "View from the Periphery : Football in Indonesia" dalam buku Garry Armstrong dan Richard Giulianotti (ed.), Football Cultures and Identities (1999), ia menggarisbawahi keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia sebagai akibat masih meruyaknya budaya kekerasan di teater sepak bola kita dan belum kokohnya budaya demokrasi di negeri ini. Seolah memberi garis bawah realitas itu, seorang Emil Salim baru-baru ini menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia ibarat anak-anak yang masih berusia 2-3 tahun.

Tanggal 8/1/2005 dan 16/1/2005, sebagai warga Wonogiri saya ikut mendukung timnas di final Piala Tiger 2004. Baik di Senayan mau pun di Kallang, Singapura. Saat itu saya memakai kaos bertuliskan slogan, "I Believe The Withe Magic." Saya percaya akan kepiawaian dan "daya magis" pelatih timnas saat itu, Peter Withe yang asal Inggris. Toh kita gagal. Padahal, sebelum melatih timnas kita Peter Withe berjaya melatih tim Thailand.

Kalau dia mampu sukses hebat melatih tim Gajah Putih, mengapa dirinya gagal total ketika melatih tim Indonesia ? Pertanyaan itu dan ucapan Peter Velappan atau pun Freek Colombijn, terus saja berdengung di telinga saya bila timnas berlaga di ajang internasional. Sampai saat ini.

Mungkin akan kembali mengeras bila nanti Alfred Riedl gagal membuahkan keajaiban di Senayan, Rabu Malam, 29 Desember 2010."

Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 29 Desember 2010

Labels: , , , , , , ,

Sunday, December 26, 2010 

2004 : Garuda Mencakar Malaysia. Kini Juga Bisa ?




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Sekitar 500 suporter Indonesia.
Terkepung rapat 55.000 suporter Singapura.
Kami bertahan dengan "Indonesia Raya."

Saat itu, saya bersama Mayor Haristanto, juga suporter timnas Indonesia lainnya berhimpun di pojok timur laut Stadion Kallang Singapura. Minggu, 16 Januari 2005. Final Piala Tiger 2004 leg kedua.

Beberapa hari sebelumnya, Sabtu, 8 Januari 2005, kami juga ikut mendukung timnas berlaga pada leg pertama di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Sore harinya, rombongan satu bis kecil dari Pasoepati Solo itu sempat dijamu untuk mengisi acara One Stop Football di TV7, Gedung Dharmala.

Sejarah telah mencatat, kita gagal menjadi juara.

Pada pertandingan pertama, kita di kandang kalah 1-3 dari Singapura. Timnas Indonesia kebobolan tiga gol, oleh tembakan bebas bek Daniel Bennet (naturalisasi asal Inggris), Khairul Amri dan si keling Agu Casmir (naturalisasi dari Nigeria). Pada waktu perpanjangan, tembakan bebas Mahyadi Panggabean menipiskan kedudukan menjadi 1-3.

Kembali ke Kallang. Setelah membentangkan spanduk besar yang kami bawa dari Solo, berbunyi “Bangkit Indonesia,” serentak kami suporter timnas Indonesia bangkit berdiri, tanpa komando. Kami bersama melagukan “Indonesia Raya.” Walau pertandingan belum resmi dimulai.

Ada rasa nasionalisme yang mendidih dan menggelegak di dada kami. Tetapi juga rasa haru, yang membuat pelupuk mata mengembang air mata. “Kami bangga sebagai bangsa Indonesia,” begitu kira-kira lagu yang berbunyi pada setiap dada kami.

Sebelum pertandingan dimulai, saya digamit oleh seseorang. Ia mengenalkan diri sebagai wartawan koran utama Singapura, The Straits Times.

Setelah bertukar kartu nama (saya bawa kartu nama sebagai pendiri komunitas penulis surat-surat pembaca, Epistoholik Indonesia), saya tahu nama pemuda ramah itu : Chan Yi Shen.

Ia bertanya : bagaimana peluang Indonesia di final malam ini. Saya katakan, berat. Tetapi saya juga punya impian yang mungkin muluk. Saya merujuk tulisan di kaos putih saya, tergores slogan “I Believe The Withe Magic.” Saya percaya terhadap daya magis seorang Peter Withe, pelatih timnas saat itu.

Kepada Chan Yi Shen, saya ajak dia surut ke belakang. Untuk menyimaki data laga semifinal saat Indonesia ketemu Malaysia. Pada laga pertama di Jakarta, 28 Desember 2004, Indonesia kalah 1-2. Gol Indonesia dicetak Kurniawan Dwi Yulianto. Tetapi Malaysia membobol gawang Hendro Kartiko dua gol lewat Liew Kit Kong.

Pada pertandingan kedua di Stadion Bukit Jalil,Kuala Lumpur, 3 Januari 2005, gantian anak-anak Garuda mengamuk dengan perkasa. Tuan rumah sudah mampu mereguk gembira ketika Khalid Jamlus membobol gawang kita di menit ke-dua puluh enam.

Tetapi hasil akhir pertandingan memihak Indonesia.

Kurniawan Dwi Yulianto merobek gawang Malaysia di menit 59, bek kekar kita Charis Yulianto menambahi di menit 74, lalu top skorer Piala Tiger 2004 Ilham Jaya Kesuma ikut berpesta di menit 77. Akhirnya pemain muda penuh talenta kita, Boaz Solossa, di menit 84 menggenapkan timnas Indonesia untuk lolos ke final dengan keunggulan 5-3.

“Keajaiban Garuda di Malaysia itulah,” saya katakan kepada Chan Yi Shen, “semoga akan terjadi di Kallang, malam ini.”

Harapan saya itu tidak terjadi. Dua gol Singapura oleh Indra Sahdan dan penalti Agu Casmir, dan aksi gol dengan liak-liuk oleh Elie Aiboy di menit 76, akhirnya membungkus kemenangan tim negeri Singa itu dengan agregat 5-2.

Stadion Kallang tidak memberi saya kenangan indah sebagai suporter sepakbola Indonesia, walau sebagai pribadi ada juga catatan yang bisa dikenang.

Chan Yi Shen ternyata tidak melupakan apa yang saya katakan. Dalam edisi koran dia esok harinya, nama saya terpampang di halamannya. Saya dikutip, bahwa saya percaya kepada pelatih timnas Peter Withe sebagai pelatih dan motivator yang baik. Dengan bekal itu kita akan mampu berprestasi lagi, guna meraih kejayaan persepakbolaan Indonesia yang lebih cerah di masa depan.

Lima tahun telah berlalu.Peter With telah pergi.
Saat ini tahun 2010. Kini Alfred Riedl sebagai pengganti.
Indonesia masuk final lagi.

Final pertama Piala AFF 2010 akan berlangsung di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Minggu 26 Desember 2010 ini. Pertandingan kedua digelar 29 Desember 2010 di Stadion Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta.

“Apakah impian yang saya gurat lima tahun lalu itu akan menjadi kenyataan, kini ?”


Wonogiri, 26 Desember 2010

Labels: , , , , , , ,

Wednesday, December 15, 2010 

Suporter Beo,Budaya Korupsi dan Opini di BBC Siaran Indonesia



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


"Prestasi tim sepak bola Indonesia dalam Piala AFF sangat menggembirakan sejauh ini.Antara lain menang atas Malaysia 5-1 dalam penyisihan Grup A.

Indonesia akan menghadapi Filipina dalam semifinal 16 Desember 2010, setelah menggilas Laos 6-0, juga dalam babak penyisihan.

Apakah keberhasilan tim Indonesia ini karena pelatih Alfred Riedl atau ada faktor lain?

Apakah Indonesia perlu pula menambah pemain naturalisasi untuk meningkatkan prestasi?"

Itulah pertanyaan menarik yang diajukan dalam kolom Forum-Ungkapan Pendapat dari situs Radio BBC Siaran Indonesia. Hari Minggu lalu, 12/12/2010, saya ikut berperan serta menyuarakan opini tentangnya.

Isi komentar saya, tidaklah baru.
Saya sebut komentar beo.
Karena sudah berkali-kali saya tulis di blog ini pula.

Bahwa prestasi timnas kali ini tetap saja masih memiliki fondamen yang lemah. Ini prestasi yang kebetulan saja naik,berkat olesan balsem dengan tampilnya pemain naturalisasi seperti Christian Gonzalez dan Irfan Bachdim.

Tetapi secara keseluruhan, bangunan itu tetap mudah crumble, mudah runtuh dan rapuh, seperti balon berisi air yang jatuh di punggung landak.

Dibuat lumpuh korupsi. Karena menurut saya, seperti juga saya ungkapkan untuk kolom serupa, di Radio BBC Siaran Indonesia pula di tahun 2006 (4 Juli 2006) bahwa : "Indonesia itu Brasilnya Asia”, kata Peter Velappan, Sekjen Konfederasi Sepakbola Asia (AFC). Pemain sepakbola Indonesia, lanjutnya, bermain dengan intelejensia dan bakat unik yang langka di dunia.

Bakat pemain Indonesia lebih hebat dibanding Korea Selatan atau Jepang. Pendapat Velappan itu dimuat di majalah Asiaweek (5/6/1998), yang menyoroti sepakbola Asia Tenggara yang tidak mampu bicara dalam Piala Dunia 1998 di Perancis itu.

Pada tahun 50-an dan 60-an, lanjut Velappan, tim-tim top Asia masa kini seperti Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi, Kuwait sampai Emirat Arab, jangan bermimpi bisa menaklukkan tim-tim Asia Tenggara.

Tetapi karena korupsi dan salah urus yang berlarut-larut selama puluhan tahun, membuat persepakbolaan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kini ibarat terbuang dari percaturan dunia.

Selama budaya korupsi sulit terkikis di Indonesia, jangan mimpi sepakbola Indonesia mampu ikut berbicara di tingkat dunia !"

Hari Selasa (14/12/2010) malam, saya dapat telepon kejutan. Dari London. Yang menelepon adalah mBak Endang Nurdin, penyiar Radio BBC Siaran Indonesia.Rupanya opini saya itu tidak cukup bila hanya ditulis. Tetapi harus saya suarakan sendiri.

Beberapa menit sebelum kick off semifinal AFF 2010 itu, sekitar jam 18.15 WIB, suara dan opini saya (mudah-mudahan) jadi disiarkan oleh Radio BBC Siaran Indonesia.

Eforia dan buta. Mari kita saksikan apa yang terjadi dalam pertandingan semi final Piala AFF 2010 nanti. Baik pertandingan tanggal 16 Desember atau pun tanggal 19 Desember 2010

Siapa tahu, pasukan Azkals yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh Asean Football Federation (AFF) karena harus bertanding kandang tidak di Manila melainkan di Senayan, termotivasi untuk mengamuk dan menghancurkan impian molek yang terlanjur menggelembung di kepala jutaan publik sepakbola Indonesia yang haus akan kejayaan.

Publik bola Indonesia yang sangat mudah terbius, tidak sadar, atau terbutakan, bahwa demi strategi bisnis semata mengapa skuad Azkal Filipina itu "dikalahkan" sekaligus "dipaksakan" untuk bermain di kandang musuhnya, di Indonesia.

Kita tahu, penduduk Indonesia yang jauh lebih besar, dimana sepakbola menjadi kegemaran publik secara meluas, patut diduga kejayaan timnas Indonesia akan sangat berpengaruh positif bagi masa depan bisnis perusahaan otomotif yang menjadi sponsor utama AFF 2010 kali ini.

Dengan memakai pandangan kacamata kepentingan bisnis seperti ini,kita tidak tahu cerita sejati dibalik mukjijat dan eforia yang membawa timnas kita melenggang begitu mulus, hingga mampu mencapai babak semifinal tanggal 16 Desember 2010 nanti untuk mengarungi laga leg pertamanya.

Pencinta sepakbola yang cerdas, Anda punya pendapat kritis tentang semua slintat-slintut yang terang-benderang semacam ini ?
Saya tunggu !


Wonogiri, 15 Desember 2010

Labels: , , , , , , , ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates