Barry Sihotang, Whistle Blower dan Sepakbola Indonesia
Oleh : Bambang Haryanto
Blogger of The Year 2005 pantas disandang oleh Herman Saksono. Gara-gara jahil menulis esai cara menghentikan balita ngupil dengan “Cara SBY-JK”, ia harus berurusan dengan polisi. Bagaimana “Cara SBY-JK” menghentikan kebiasaan jelek mengorek-orek isi hidung oleh anak-anak bawah lima tahun atau bawah lima puluh tahun itu ?
“Naikkan tarif ngupil hingga 80 persen.”
Lelucon cerdas. Keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM hingga mencekik masyarakat bawah telah ia olah menjadi lelucon sekaligus kritikan yang pcdas. Dalam khasanah comedy writing, teknik melucu yang dipakai mahasiswa Teknik Elektro UGM itu dikenal sebagai perbandingan.
Tetapi oleh pemerintah duet SBY-JK yang disebut-sebut memiliki kecenderungan narkisis, jaim, getol menjaga citra, maka ulah Herman Saksono tersebut menjadi urusan negara. Kini “Cara SBY-JK” itu di blognya telah berubah jadi “Cara Indonesia.”
Selamat datang di dunia blog, fasilitas jurnal atau buku harian online yang kini jadi heboh di dunia. World Summit on Information Society 2 (WSIS 2) di Tunisia, pertengahan November 2005 lalu, meluncurkan kredo : bila Anda tidak mampu berekspresi, Anda dianggap tidak ada, tidak eksis. Bagi saya sebagai seorang blogger, ijinkanlah saya membebek kredo tersebut : apabila Anda tidak memiliki situs blog maka eksistensi Anda juga dianggap tidak ada di dunia.
Ulah Herman tersebut memang tidak berpanjang-panjang menjadi urusan polisi. Tetapi juga gara-gara blog, seorang Ellen Simonetti, seorang pramugari berambut blonde dan cantik dari Delta Air Lines, harus rela kehilangan pekerjaan. Ia menjadi korban dooced, yang menurut majalah Business Week (11/5/2005) merupakan istilah yang digunakan bila seseorang kehilangan pekerjaan akibat blog. Ya seperti Ellen Simonetti tersebut.
Memanglah, pegawai dapat dipecat bilamana memuat data-data sensitif perusahaan di blog mereka. Tetapi ngomong-ngomong, dari mana istilah dooced itu berasal ? Ternyata istilah tersebut muncul ketika Heather Armstrong dipecat karena situs miliknya, dooce.com, memuat sindiran pedas terhadap perusahaan tempat ia bekerja.
Mengobrolkan masalah blog dan pecat-memecat, saya lalu teringat sebuah nama : Barry Sihotang. Anda sebagai pencinta sepakbola nasional, sudahkah Anda mengenal nama ini ?
Yang saya tahu, Barry Sihotang semula adalah wartawan sepakbola untuk Harian Kompas. Tahu-tahu, kalau tidak salah, dirinya pernah pula mengelola situs web www.sepak-bola.tv, yang kini mungkin sudah tidak ada lagi. Berita di situs ini pernah mendapat protes keras dari Aremania dan Laskar Benteng Viola karena dianggap informasinya tidak akurat. Barry Sihotang pun kemudian memberikan klarifikasi, juga meminta maaf.
Konon, sejak saat itu situs ini kapok memuat berita-berita tentang suporter sepakbola Indonesia. Ia juga tak jarang muncul sebagai komentator di televisi untuk pertandingan sepakbola internasional.
Dengan saya, kami hanya saling kenal kebo belaka. Kalau di kompleks Gelora Senayan atau di lorong kantor PSSI (“beberapa kali saya ikut nebeng mandi dan sholat di musholanya, termasuk mendoakan keberhasilan tim Indonesia”), paling-paling kalau ketemu hanya saling melambai atau melempar senyum.
Barry Sihotang adalah nama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan ketika PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) ternyata tidak becus mengelola pekerjaan administratif mereka yang elementer. Mengurus surat-menyurat. Akibatnya pun fatal. Kita tahu kemudian, Indonesia mendapat sanksi tanpa kompromi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), yang membuat tim Persipura (Jayapura) dan Arema (Malang) terpaksa gagal berlaga di ajang kompetisi Liga Champions Asia 2006.
Skandal yang sempat menuai aksi demo dan kecaman keras tetapi hanya setengah hati dari Aremania itu menimbulkan dua jenis spekulasi. Pertama, keteledoran ini mungkin suatu kesengajaan. Pengelolaan persepakbolaan Indonesia yang tak kunjung memiliki prestasi internasional yang berarti, di kancah Asia Tengara pun, mungkin membuat mereka memutuskan untuk melakukan aborsi.
Kedua, keteledoran tersebut jelas menunjukkan betapa pengelolaan persepakbolaan kita sebagai business as usual, seadanya. Asal jalan. Tak ada bara passion, juga tidak ada keinginan untuk bekerja maksimal guna meraih tingkat excellence. Salah urus persepakbolaan kita adalah realitas yang benar-benar sudah kronis.
Kini ketika borok itu terkuak begitu nyata, seorang Barry Sihotang menjadi tumbal. Sebagai kambing hitam. Gonjang-ganjing di PSSI/BLI itu mungkin dapat diparalelkan dengan peristiwa heboh ketika Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi terbelit urusan surat rekomendasi ke Departemen Luar Negeri seputar penunjukan perusahaan untuk merenovasi kantor kedubes RI di Seoul.
Surat itu lalu diwartakan sebagai surat palsu. Lalu ada seorang anak buah dari Sekretaris Kabinet itu disebutkan sebagai fihak yang bersalah, lalu yang bersangkutan dikeluarkan, dikembalikan ke institusi militer, tempat ia semula berasal.
Barry Sihotang mendapat vonis harus keluar dari kepengurusan PSSI. Sementara boss-nya, Andi Darusalam Tabusalla, hanya mendapat hukuman berupa teguran keras. Kini, which way you going, Barry ? Kemana kini Barry Sihotang akan melenggang ? Kita tidak tahu apa langkah seorang Barry Sihotang selanjutnya.
Saya kini tergoda untuk berandai-andai. Bagaimana kalau seorang Barry Sihotang memutuskan diri untuk berani menjadi seorang deep throat , demi kemajuan sepakbola Indonesia ?
Deep Throat adalah nama sandi untuk informan, orang dalam, pada pemerintahan Presiden Richard Nixon. Di tahun 1974 dalam usahanya memenangkan pemilihan umum, anak buah Nixon yang dari Partai Republik telah melakukan penyadapan terhadap Gedung Watergate di Washington, DC, yang merupakan markas Partai Demokrat, seterunya. Skandal ini terbongkar oleh duo wartawan koran The Washington Post, Woodward dan Bernstein, karena mendapat bocoran informasi penting dari Deep Throat tadi. Presiden Nixon dipaksa mengundurkan diri.
Atau, Barry Sihotang dapat tampil sebagai whistle blower. Bernyanyi. Dirinya dapat meluncurkan situs blog untuk menceritakan segala seluk-beluk bagaimana sebenarnya selama ini organisasi PSSI itu dijalankan. Membongkar borok-borok yang ada.
Atau menulis buku. Atau membentuk LSM semacam watch dog, pemantau. Kalau dalam mencermati kasus-kasus korupsi di Indonesia ada lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), bagaimana kalau ia luncurkan Indonesia Sports Watch atau Indonesia Soccer Watch ? Mengapa penting dan perlu ?
Karena sudah terlalu lama jalannya lembaga-lembaga olahraga, terutama organisasi sepakbola kita, hanya mengandalkan keberadaan orang kuat yang memiliki sumber keuangan yang kuat. Mereka dan gang-nya, yang orang itu-itu pula, berdasarkan koncoisme dan bukan berdasar merit system, terus saling berotasi untuk memangku jabatan tertentu dalam lembaga sepakbola kita.
Mereka seperti tidak pernah didata atau diaudit mengenai apa saja keberhasilan dan terutama kegagalan-kegagalan mereka selama ini. Ibarat danau, lembaga sepakbola kita tak ada asupan sumber air baru dan tidak ada pula air yang keluar mengalir. Air itu beracun.
Barry Sihotang kini memiliki panggung dan momen sejarah terbaik untuk berbuat sesuatu yang penting dan berarti bagi kemajuan sepakbola Indonesia di masa depan. Membersihkan genangan air yang sudah tidak higinis itu. Tetapi kalau ia diam saja, namanya pun akan segera hilang seperti debu.
Umpama nanti Barry Sihotang betul-betul berani untuk kembali menulis secara tajam, jujur, sistematis dan bertanggung jawab dalam membongkar hal-hal yang tidak beres dari pengelolaan PSSI dan BLI, dengan ketajaman seorang wartawan harian Kompas dalam situs blognya, ijinkanlah saya secara dini untuk berani menominasikannya kelak sebagai : Blogger of The Year 2006. Bagaimana pendapat Anda ?
Wonogiri, 31 Maret 2006
si
Oleh : Bambang Haryanto
Blogger of The Year 2005 pantas disandang oleh Herman Saksono. Gara-gara jahil menulis esai cara menghentikan balita ngupil dengan “Cara SBY-JK”, ia harus berurusan dengan polisi. Bagaimana “Cara SBY-JK” menghentikan kebiasaan jelek mengorek-orek isi hidung oleh anak-anak bawah lima tahun atau bawah lima puluh tahun itu ?
“Naikkan tarif ngupil hingga 80 persen.”
Lelucon cerdas. Keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM hingga mencekik masyarakat bawah telah ia olah menjadi lelucon sekaligus kritikan yang pcdas. Dalam khasanah comedy writing, teknik melucu yang dipakai mahasiswa Teknik Elektro UGM itu dikenal sebagai perbandingan.
Tetapi oleh pemerintah duet SBY-JK yang disebut-sebut memiliki kecenderungan narkisis, jaim, getol menjaga citra, maka ulah Herman Saksono tersebut menjadi urusan negara. Kini “Cara SBY-JK” itu di blognya telah berubah jadi “Cara Indonesia.”
Selamat datang di dunia blog, fasilitas jurnal atau buku harian online yang kini jadi heboh di dunia. World Summit on Information Society 2 (WSIS 2) di Tunisia, pertengahan November 2005 lalu, meluncurkan kredo : bila Anda tidak mampu berekspresi, Anda dianggap tidak ada, tidak eksis. Bagi saya sebagai seorang blogger, ijinkanlah saya membebek kredo tersebut : apabila Anda tidak memiliki situs blog maka eksistensi Anda juga dianggap tidak ada di dunia.
Ulah Herman tersebut memang tidak berpanjang-panjang menjadi urusan polisi. Tetapi juga gara-gara blog, seorang Ellen Simonetti, seorang pramugari berambut blonde dan cantik dari Delta Air Lines, harus rela kehilangan pekerjaan. Ia menjadi korban dooced, yang menurut majalah Business Week (11/5/2005) merupakan istilah yang digunakan bila seseorang kehilangan pekerjaan akibat blog. Ya seperti Ellen Simonetti tersebut.
Memanglah, pegawai dapat dipecat bilamana memuat data-data sensitif perusahaan di blog mereka. Tetapi ngomong-ngomong, dari mana istilah dooced itu berasal ? Ternyata istilah tersebut muncul ketika Heather Armstrong dipecat karena situs miliknya, dooce.com, memuat sindiran pedas terhadap perusahaan tempat ia bekerja.
Mengobrolkan masalah blog dan pecat-memecat, saya lalu teringat sebuah nama : Barry Sihotang. Anda sebagai pencinta sepakbola nasional, sudahkah Anda mengenal nama ini ?
Yang saya tahu, Barry Sihotang semula adalah wartawan sepakbola untuk Harian Kompas. Tahu-tahu, kalau tidak salah, dirinya pernah pula mengelola situs web www.sepak-bola.tv, yang kini mungkin sudah tidak ada lagi. Berita di situs ini pernah mendapat protes keras dari Aremania dan Laskar Benteng Viola karena dianggap informasinya tidak akurat. Barry Sihotang pun kemudian memberikan klarifikasi, juga meminta maaf.
Konon, sejak saat itu situs ini kapok memuat berita-berita tentang suporter sepakbola Indonesia. Ia juga tak jarang muncul sebagai komentator di televisi untuk pertandingan sepakbola internasional.
Dengan saya, kami hanya saling kenal kebo belaka. Kalau di kompleks Gelora Senayan atau di lorong kantor PSSI (“beberapa kali saya ikut nebeng mandi dan sholat di musholanya, termasuk mendoakan keberhasilan tim Indonesia”), paling-paling kalau ketemu hanya saling melambai atau melempar senyum.
Barry Sihotang adalah nama yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan ketika PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) ternyata tidak becus mengelola pekerjaan administratif mereka yang elementer. Mengurus surat-menyurat. Akibatnya pun fatal. Kita tahu kemudian, Indonesia mendapat sanksi tanpa kompromi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), yang membuat tim Persipura (Jayapura) dan Arema (Malang) terpaksa gagal berlaga di ajang kompetisi Liga Champions Asia 2006.
Skandal yang sempat menuai aksi demo dan kecaman keras tetapi hanya setengah hati dari Aremania itu menimbulkan dua jenis spekulasi. Pertama, keteledoran ini mungkin suatu kesengajaan. Pengelolaan persepakbolaan Indonesia yang tak kunjung memiliki prestasi internasional yang berarti, di kancah Asia Tengara pun, mungkin membuat mereka memutuskan untuk melakukan aborsi.
Kedua, keteledoran tersebut jelas menunjukkan betapa pengelolaan persepakbolaan kita sebagai business as usual, seadanya. Asal jalan. Tak ada bara passion, juga tidak ada keinginan untuk bekerja maksimal guna meraih tingkat excellence. Salah urus persepakbolaan kita adalah realitas yang benar-benar sudah kronis.
Kini ketika borok itu terkuak begitu nyata, seorang Barry Sihotang menjadi tumbal. Sebagai kambing hitam. Gonjang-ganjing di PSSI/BLI itu mungkin dapat diparalelkan dengan peristiwa heboh ketika Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi terbelit urusan surat rekomendasi ke Departemen Luar Negeri seputar penunjukan perusahaan untuk merenovasi kantor kedubes RI di Seoul.
Surat itu lalu diwartakan sebagai surat palsu. Lalu ada seorang anak buah dari Sekretaris Kabinet itu disebutkan sebagai fihak yang bersalah, lalu yang bersangkutan dikeluarkan, dikembalikan ke institusi militer, tempat ia semula berasal.
Barry Sihotang mendapat vonis harus keluar dari kepengurusan PSSI. Sementara boss-nya, Andi Darusalam Tabusalla, hanya mendapat hukuman berupa teguran keras. Kini, which way you going, Barry ? Kemana kini Barry Sihotang akan melenggang ? Kita tidak tahu apa langkah seorang Barry Sihotang selanjutnya.
Saya kini tergoda untuk berandai-andai. Bagaimana kalau seorang Barry Sihotang memutuskan diri untuk berani menjadi seorang deep throat , demi kemajuan sepakbola Indonesia ?
Deep Throat adalah nama sandi untuk informan, orang dalam, pada pemerintahan Presiden Richard Nixon. Di tahun 1974 dalam usahanya memenangkan pemilihan umum, anak buah Nixon yang dari Partai Republik telah melakukan penyadapan terhadap Gedung Watergate di Washington, DC, yang merupakan markas Partai Demokrat, seterunya. Skandal ini terbongkar oleh duo wartawan koran The Washington Post, Woodward dan Bernstein, karena mendapat bocoran informasi penting dari Deep Throat tadi. Presiden Nixon dipaksa mengundurkan diri.
Atau, Barry Sihotang dapat tampil sebagai whistle blower. Bernyanyi. Dirinya dapat meluncurkan situs blog untuk menceritakan segala seluk-beluk bagaimana sebenarnya selama ini organisasi PSSI itu dijalankan. Membongkar borok-borok yang ada.
Atau menulis buku. Atau membentuk LSM semacam watch dog, pemantau. Kalau dalam mencermati kasus-kasus korupsi di Indonesia ada lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), bagaimana kalau ia luncurkan Indonesia Sports Watch atau Indonesia Soccer Watch ? Mengapa penting dan perlu ?
Karena sudah terlalu lama jalannya lembaga-lembaga olahraga, terutama organisasi sepakbola kita, hanya mengandalkan keberadaan orang kuat yang memiliki sumber keuangan yang kuat. Mereka dan gang-nya, yang orang itu-itu pula, berdasarkan koncoisme dan bukan berdasar merit system, terus saling berotasi untuk memangku jabatan tertentu dalam lembaga sepakbola kita.
Mereka seperti tidak pernah didata atau diaudit mengenai apa saja keberhasilan dan terutama kegagalan-kegagalan mereka selama ini. Ibarat danau, lembaga sepakbola kita tak ada asupan sumber air baru dan tidak ada pula air yang keluar mengalir. Air itu beracun.
Barry Sihotang kini memiliki panggung dan momen sejarah terbaik untuk berbuat sesuatu yang penting dan berarti bagi kemajuan sepakbola Indonesia di masa depan. Membersihkan genangan air yang sudah tidak higinis itu. Tetapi kalau ia diam saja, namanya pun akan segera hilang seperti debu.
Umpama nanti Barry Sihotang betul-betul berani untuk kembali menulis secara tajam, jujur, sistematis dan bertanggung jawab dalam membongkar hal-hal yang tidak beres dari pengelolaan PSSI dan BLI, dengan ketajaman seorang wartawan harian Kompas dalam situs blognya, ijinkanlah saya secara dini untuk berani menominasikannya kelak sebagai : Blogger of The Year 2006. Bagaimana pendapat Anda ?
Wonogiri, 31 Maret 2006
si