Go Where Love Goes dan Patah Hati Seorang Suporter Sepakbola
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Saya jatuh cinta sama Erika, perempuan Yogya. Seorang reporter acara televisi. Juga penyiar radio yang menyukai Celine Dion. Ada hambatan teknis : ia sudah bersuami. Sudah pula punya anak. Jatuh cinta pada waktu yang keliru. Pada sasaran yang keliru. Bila ada yang harus disalahkan, dan diadukan kepada Tuhan, pastilah karena ia seorang wanita yang sangat menawan.
Breaking up is hard to do. Itu kata Everly Brothers. Dan memang benar, betapa momen untuk bubaran atau berpisah, temasuk berpisah dengan impian dan perasaan jatuh cinta, sulit dilakukan. Tetapi saya melakukannya dengan sesuatu aksi yang menurut Ellen Kreidman dalam bukunya Light Her Fire (1991), disukai oleh wanita. Menurut Kreidman, wanita itu menyukai kata-kata. Saya melagukan swan song dengan menulis surat yang panjang, 26 halaman, kepadanya. Suatu saat, surat itu akan saya pajang dalam blog saya.
Perasaan jatuh cinta yang tidak kalah memabukkan, dan akhirnya hanya sering membuat saya patah hati, juga pernah saya alami sekitar tahun 2002 yang lalu. Saat itu, di bulan Januari 2002, ketika mabuk menggagas masa depan suporter sepakbola Indonesia, di Perpustakaan British Council, Gedung Widjojo, Jakarta, saya sempat merenung : untuk apa semua ini aku lakukan ?
Siapa pula yang menyuruh ?
Di depan saya terdapat setumpuk majalah sepakbola Inggris, FourFourTwo, buku Kevin Keegan : My Autobiography (1997), juga biografinya David Beckham, My World (2000), buku hebat suntingan Gary Armstrong dan Richard Giulianotti, Football Cultures and Identities (1999) dan juga Fear and Loathing in World Football (2001). Belum lagi literatur penunjang seperti karya Raymond Boyle dan Richard Haynes, Power Play : Sport, the Media and Popular Culture (2000) dan bukunya Frank Kew, Sport : Social Problems and Issues (1997). Semuanya mengundang untuk dipelajari dan diresapi.
Mabuk cinta yang kemudian berbuah. Imbalan untuk aksi terbujuk melakukan komitmen total dalam mengkaji masalah suporter sepakbola, mungkin mirip fenomena yang diungkapkan oleh Tony Buzan, yaitu goethendipity. Istilah unik, hasil peleburan atau amalgamasi cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :
“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini”
Pertanyaan yang menghantui saya di Perpustakaan British Council itu, untuk apa semua ini aku lakukan, rupanya segera memperoleh jawaban. Takdir bergerak ke arah yang terjanji. Esai saya berjudul “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif” masuk final dalam Honda’s The Power of Dreams Contest 2002. Sekaligus kemudian memenangkannya !
Cerita kecil di atas, bagi saya, mengukuhkan pemahaman bahwa cinta tidak akan sia-sia. Sebagai suporter sepakbola, dukungan untuk tim kesayangan kita, juga tidak sia-sia. Tentu saja banyak dari kita yang ingin segera menuai hasil dari ekspresi jatuh cinta kita itu, yaitu tim kita menang dan akhirnya meraih juara.
Tetapi kita sering lupa bahwa proses tidak kalah penting dibanding hasil akhir. Momen-momen kecil sebagai suporter sepakbola, sering kita anggap sebagai hal yang sepele. Saya mencoba tidak demikian. Kegembiraan atau kekecewaaan adalah realitas kehidupan. Saya berusaha mereguk hikmah dan pelajaran.
Sebagai orang yang suka menulis buku harian, bahkan kemudian menuangkannya dalam situs blog-blog saya, peristiwa sepakbola yang masuk dalam pengamatan saya sebagai suporter sepakbola, sebisanya saya catat. Kemudian dicerna, diolah, dan hal yang paling saya sukai adalah : menceritakannya kembali.
Untuk Erika, wanita menawan yang membuat saya patah hati, saya telah menulis surat panjang untuknya. Untuk membahagiakannya. Untuk mengatakan betapa ia adalah seseorang yang berharga. Untuk sepakbola Indonesia, yang selalu saja membuat saya patah hati karena jebloknya prestasi di kancah dunia dan lilitan budaya korupsi yang bagai tangan-tangan gurita mencekiknya (baca Asiaweek, 5/6/1998), saya akan terus menuliskan kegeraman, rasa benci dan amarah saya, dalam blog-blog saya.
Pagi ini, di Wonogiri yang kota saya, Andrei Bocelli yang berduet sama Holly Stell mengalunkan lagu indah, “Go Where Love Goes”. Lagu itu mudah memunculkan bayangan sosok Erika. Terdengar refreinnya yang inspiratif :
Go where love goes
Go where your heart leads
Angels are pleading with you
Go thereGo where love dares
Pergilah kemana cinta dan hati akan membimbingmu. Para malaikat akan bersamamu, mendukungmu. Bagi seorang suporter sepakbola, kita tahu kemana kita akan pergi. Dengan cinta. Walau sering akhirnya harus membawa pulang patah hati.
Wonogiri, 17/2/2006