Sepakbola Solo Terbelit Skizofrenia
Oleh : Bambang Haryanto
Dimuat di Harian KOMPAS Edisi Jateng-DIY, Jumat 7 Mei 2004
Liga Indonesia 2004 telah bergulir dan tim Persijatim kembali mangkal di Solo. Keriuhan Stadion Manahan kembali bergema. Tetapi sosok sepakbola Solo belum berubah. Sepakbola Solo adalah sepakbola yang terlanda skizofrenia atau gangguan mental parah dimana proses berfikir yang normal hancur dan penderitanya cenderung kehilangan kontak dengan realitas.
Publik sepakbola Solo mulai mengidapnya sejak tahun 1980-an saat tim Arseto asal Jakarta, berkandang di Solo. Saat itu nyaris semua atensi publik Solo tersedot ke Arseto, yang memang menang gengsi karena berlaga di divisi utama. Ketika badai reformasi menyapu Indonesia tahun 1998, Soeharto jatuh, maka Arseto yang dimiliki anaknya itu pun ikut pula hilang tersapu sejarah. Publik bola Solo kehilangan idola. Saat kosong tersebut ternyata tim perserikatan asli Solo, Persis, tidak mampu mengisi peluang yang mungkin kini tidak bakal kembali.
Sejarah berulang tahun 2000 ketika tim Pelita Bakrie dari Jakarta mencoba peruntungan di Solo. Namanya menjadi Pelita Solo. Selama dua tahun, tim ini ibarat turis. Dua hari sebelum bertanding mereka datang dari markasnya di Sawangan Bogor, menginap di hotel Solo, dan sesudah pertandingan usai mereka pun kembali ke Sawangan lagi.
Hebohnya, keberadaan tim Pelita Solo membakar eforia publik bola Solo secara gila-gilaan. Rasa rendah diri akibat tim kotanya selama ini hanya berkutat di Divisi II, tiba-tiba wong Solo merasakan keajaiban karena kembali punya tim yang berlaga di jajaran elit, Divisi Utama PSSI. Eforia ini diwujudkan dengan terbentuknya fans club pada tanggal 9 Februari 2000, bernama Pasoepati (Pasukan Suporter Pelita Sejati) yang terkenal di seluruh Indonesia.
Tetapi bulan madu Pelita Solo dan Pasoepati tidak lama. Ketika penyandang dana Pelita Solo, konglomerat Bakrie, mengalami kesulitan keuangan, Pelita Solo memutuskan bergabung dengan klub milik perusahaan baja Krakatau Steel di Cilegon. Pelita Solo pergi pada tahun 2001. Lagi-lagi Solo merasa kehilangan tim yang membawa nama Solo di pentas Liga Indonesia. Kekosongan di kota gila sepakbola ini semakin membuat “gila” ketika publik bola Solo menerima begitu saja kehadiran tim Persijatim, asal Jakarta Timur, untuk berkandang di Solo. Berbeda dibanding Arseto atau Pelita, karena keduanya masih melekatkan nama Solo baik di kandang atau tandang, Persijatim berembel-embel Solo FC hanya ketika main di Manahan saja. Sementara di pertandingan tandang dan publikasi media massa, tim ini terus membawa nama Persijatim semata.
***
Publik bola Solo mungkin tertakdir menderita jiwa yang terbelah. Sebab hanya Solo yang punya sejarah persepakbolaan dimana publiknya bangga hanya menjadi tempat indekos tim asal kota lain. Dengan mengelukan Arseto, Pelita Solo sampai Persijatim, publik bola Solo telah lama kehilangan logika berpikirnya yang normal dan kehilangan kontak dengan realitas. Deraan skizofrenia itu terasa semakin parah dari tahun ke tahun ketika dijajarkan dengan realitas yang menyelimuti tim asli Solo, Persis, selama ini. Sejak kehadiran Arseto sampai Persijatim kini, Persis bernasib hanya menjadi penghuni back mind publik bola Solo. Ia bernasib bak kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau. Sebab, tak bisa dipungkiri, publik bola Solo telanjur terkontaminasi oleh rasa enak yang instan, yang ditularkan oleh atmosfir yang dibawa tim asal kota lain sejak jaman Arseto hingga kini.
Akibatnya, publik Solo tak pernah serius tentang nasib Persis. Walau sekretaris Persis saat ini anaknya walikota Solo, tetapi aksi sang ayah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan atensi sampai kucuran dana para petinggi pemerintahan Sleman, Lamongan, Jepara atau Kediri terhadap tim perserikatannya. Tahun lalu ketika Pak Walikota bertindak (sok) tegas dengan mengeluarkan ancaman hendak mengusir Persijatim, publik Solo pun nampak nyata-nyata terbelah. Sebagian mendukung ancaman Pak Wali, tetapi sebagian lagi menolak dengan alasan bahwa prestasi Persis belum mampu sebagai pengganti prestis yang dihadirkan oleh tim Persijatim.
Ketika Persijatim menawarkan diri untuk diakuisisi sebagian kepemilikan sahamnya oleh masyarakat Solo, responsnya pun setengah hati. Entah aksi pemilik Persijatim ini hanya trik, aksi kehumasan atau sebaliknya, ternyata Pemda dan fihak swasta Solo (yang tidak jelas siapa dia dalam pemberitaan media lokal), akhirnya yang muncul respons negatif. Ternyata kota yang penggemar sepakbolanya begitu membeludak, juga untuk turnamen-turnamen setingkat tarkam, baik pemerintah dan swastanya tidak punya nyali untuk terjun menggarapnya sebagai lahan investasi bisnis dan kebanggaan sejati warganya..
Sampai kapan publik bola Solo sembuh dari sergapan skizofrenia ini ? Ketika dualisme dukungan dipangkas. Ketika publik Solo berani kembali ke khittah dan Persis Solo, for better or for worse, hanya satu-satunya tim yang diperjuangkan kelangsungan masa depannya. Untuk semua itu Solo butuh kepemimpinan yang kuat. Mungkin mulai saat ini perlu digagas dan digulirkan wacana revolusi bahwa walikota Solo masa depan haruslah penggemar sepakbola yang fanatik, tegas mengusir tim indekosan, dan berjanji sepenuh hati pula dalam upayanya membangun tim Persis Solo.
Siapakah yang diharap memulai pengguliran wacana futuristik ini ? Jangan terlalu berharap ke Pasoepati, kelompok suporter sepakbola Solo yang termasyhur itu. Sebab secara de jure, sejarah Pasoepati telah usai ketika Pelita Solo pergi. Secara de facto pun Pasoepati malah semakin tidak jelas sosok kelaminnya. Sebab di bawah kepemimpinan Satryo Hadinegoro-Bimo Putranto, Pasoepati justru getol ngobyek jadi panpel pertandingan. Ini potret lain lagi dari sosok publik bola Solo, betapa kelompok suporternya pun juga terlanda skizofrenia.
Akhirnya, dalam kondisi semacam ini, memang sulit berharap munculnya prestasi persepakbolaan Solo yang membanggakan warganya dalam waktu dekat-dekat ini. Entah sampai kapan.
Bambang Haryanto, warga Pasoepati dan Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI). Pemegang rekor MURI sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000). Penulis buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati. (dalam pertimbangan penerbit).
Oleh : Bambang Haryanto
Dimuat di Harian KOMPAS Edisi Jateng-DIY, Jumat 7 Mei 2004
Liga Indonesia 2004 telah bergulir dan tim Persijatim kembali mangkal di Solo. Keriuhan Stadion Manahan kembali bergema. Tetapi sosok sepakbola Solo belum berubah. Sepakbola Solo adalah sepakbola yang terlanda skizofrenia atau gangguan mental parah dimana proses berfikir yang normal hancur dan penderitanya cenderung kehilangan kontak dengan realitas.
Publik sepakbola Solo mulai mengidapnya sejak tahun 1980-an saat tim Arseto asal Jakarta, berkandang di Solo. Saat itu nyaris semua atensi publik Solo tersedot ke Arseto, yang memang menang gengsi karena berlaga di divisi utama. Ketika badai reformasi menyapu Indonesia tahun 1998, Soeharto jatuh, maka Arseto yang dimiliki anaknya itu pun ikut pula hilang tersapu sejarah. Publik bola Solo kehilangan idola. Saat kosong tersebut ternyata tim perserikatan asli Solo, Persis, tidak mampu mengisi peluang yang mungkin kini tidak bakal kembali.
Sejarah berulang tahun 2000 ketika tim Pelita Bakrie dari Jakarta mencoba peruntungan di Solo. Namanya menjadi Pelita Solo. Selama dua tahun, tim ini ibarat turis. Dua hari sebelum bertanding mereka datang dari markasnya di Sawangan Bogor, menginap di hotel Solo, dan sesudah pertandingan usai mereka pun kembali ke Sawangan lagi.
Hebohnya, keberadaan tim Pelita Solo membakar eforia publik bola Solo secara gila-gilaan. Rasa rendah diri akibat tim kotanya selama ini hanya berkutat di Divisi II, tiba-tiba wong Solo merasakan keajaiban karena kembali punya tim yang berlaga di jajaran elit, Divisi Utama PSSI. Eforia ini diwujudkan dengan terbentuknya fans club pada tanggal 9 Februari 2000, bernama Pasoepati (Pasukan Suporter Pelita Sejati) yang terkenal di seluruh Indonesia.
Tetapi bulan madu Pelita Solo dan Pasoepati tidak lama. Ketika penyandang dana Pelita Solo, konglomerat Bakrie, mengalami kesulitan keuangan, Pelita Solo memutuskan bergabung dengan klub milik perusahaan baja Krakatau Steel di Cilegon. Pelita Solo pergi pada tahun 2001. Lagi-lagi Solo merasa kehilangan tim yang membawa nama Solo di pentas Liga Indonesia. Kekosongan di kota gila sepakbola ini semakin membuat “gila” ketika publik bola Solo menerima begitu saja kehadiran tim Persijatim, asal Jakarta Timur, untuk berkandang di Solo. Berbeda dibanding Arseto atau Pelita, karena keduanya masih melekatkan nama Solo baik di kandang atau tandang, Persijatim berembel-embel Solo FC hanya ketika main di Manahan saja. Sementara di pertandingan tandang dan publikasi media massa, tim ini terus membawa nama Persijatim semata.
***
Publik bola Solo mungkin tertakdir menderita jiwa yang terbelah. Sebab hanya Solo yang punya sejarah persepakbolaan dimana publiknya bangga hanya menjadi tempat indekos tim asal kota lain. Dengan mengelukan Arseto, Pelita Solo sampai Persijatim, publik bola Solo telah lama kehilangan logika berpikirnya yang normal dan kehilangan kontak dengan realitas. Deraan skizofrenia itu terasa semakin parah dari tahun ke tahun ketika dijajarkan dengan realitas yang menyelimuti tim asli Solo, Persis, selama ini. Sejak kehadiran Arseto sampai Persijatim kini, Persis bernasib hanya menjadi penghuni back mind publik bola Solo. Ia bernasib bak kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau. Sebab, tak bisa dipungkiri, publik bola Solo telanjur terkontaminasi oleh rasa enak yang instan, yang ditularkan oleh atmosfir yang dibawa tim asal kota lain sejak jaman Arseto hingga kini.
Akibatnya, publik Solo tak pernah serius tentang nasib Persis. Walau sekretaris Persis saat ini anaknya walikota Solo, tetapi aksi sang ayah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan atensi sampai kucuran dana para petinggi pemerintahan Sleman, Lamongan, Jepara atau Kediri terhadap tim perserikatannya. Tahun lalu ketika Pak Walikota bertindak (sok) tegas dengan mengeluarkan ancaman hendak mengusir Persijatim, publik Solo pun nampak nyata-nyata terbelah. Sebagian mendukung ancaman Pak Wali, tetapi sebagian lagi menolak dengan alasan bahwa prestasi Persis belum mampu sebagai pengganti prestis yang dihadirkan oleh tim Persijatim.
Ketika Persijatim menawarkan diri untuk diakuisisi sebagian kepemilikan sahamnya oleh masyarakat Solo, responsnya pun setengah hati. Entah aksi pemilik Persijatim ini hanya trik, aksi kehumasan atau sebaliknya, ternyata Pemda dan fihak swasta Solo (yang tidak jelas siapa dia dalam pemberitaan media lokal), akhirnya yang muncul respons negatif. Ternyata kota yang penggemar sepakbolanya begitu membeludak, juga untuk turnamen-turnamen setingkat tarkam, baik pemerintah dan swastanya tidak punya nyali untuk terjun menggarapnya sebagai lahan investasi bisnis dan kebanggaan sejati warganya..
Sampai kapan publik bola Solo sembuh dari sergapan skizofrenia ini ? Ketika dualisme dukungan dipangkas. Ketika publik Solo berani kembali ke khittah dan Persis Solo, for better or for worse, hanya satu-satunya tim yang diperjuangkan kelangsungan masa depannya. Untuk semua itu Solo butuh kepemimpinan yang kuat. Mungkin mulai saat ini perlu digagas dan digulirkan wacana revolusi bahwa walikota Solo masa depan haruslah penggemar sepakbola yang fanatik, tegas mengusir tim indekosan, dan berjanji sepenuh hati pula dalam upayanya membangun tim Persis Solo.
Siapakah yang diharap memulai pengguliran wacana futuristik ini ? Jangan terlalu berharap ke Pasoepati, kelompok suporter sepakbola Solo yang termasyhur itu. Sebab secara de jure, sejarah Pasoepati telah usai ketika Pelita Solo pergi. Secara de facto pun Pasoepati malah semakin tidak jelas sosok kelaminnya. Sebab di bawah kepemimpinan Satryo Hadinegoro-Bimo Putranto, Pasoepati justru getol ngobyek jadi panpel pertandingan. Ini potret lain lagi dari sosok publik bola Solo, betapa kelompok suporternya pun juga terlanda skizofrenia.
Akhirnya, dalam kondisi semacam ini, memang sulit berharap munculnya prestasi persepakbolaan Solo yang membanggakan warganya dalam waktu dekat-dekat ini. Entah sampai kapan.
Bambang Haryanto, warga Pasoepati dan Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI). Pemegang rekor MURI sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000). Penulis buku Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati. (dalam pertimbangan penerbit).