PERSIB-O-HOLIC, ALCOHOLIC, EPISTOHOLIK, SPORTIVOHOLIC ?
Darah baru. Ide-ide baru.
Akhir-akhir ini di milis ASSI kita telah tampil milister-milister (mohon dikoreksi kalau istilah ini kurang tepat) baru. Sangat menggembirakan. Mungkin penilaian saya keliru, sebab siapa tahu sobat-sobat yang saya anggap wajah baru itu sebenarnya warga lama tetapi selama ini terlalu berendah hati dengan memilih sebagai “lurker” semata. Istilah “lurker” adalah sebutan untuk peserta/anggota milis di mana mereka merasa sudah cukup senang untuk hanya menjadi pembaca saja. Tetapi bagi saya, keberadaan sobat-sobat “lurker” itu kadang mengejutkan.
Sebab saya pernah disapa seseorang (suporter) yang namanya sama sekali tidak pernah muncul dalam diskusi di milis ASSI kita ini. Tapi, surprisenya, ia bisa menceritakan topik-topik yang pernah muncul dalam konferensi meja bundar antarsuporter Indonesia a la digital di milis yang dimandori Sam Idoer van Aremania yang unix ini.
Nama milister ASSI baru yang bagi saya unik, adalah Persib-O-Holic. Ketika dunia suporter Indonesia sejak tahun 2000 seolah inflasi istilah “mania” (gara-gara kharisma kera-kera Ngalam : Aremania !), nama berakhiran “oholic” itu cukup menggelitik. Memang akhiran mania dan oholic itu artinya bermiripan, yaitu obsesi, kecanduan, kegetolan atas sesuatu.
Sebagai contoh, saya ambil dari kamus unik yang rasanya cocok dimiliki mereka yang ingin tampil di kuis Who Wants To Be a Millionaire-nya RCTI. Kamus itu karya Irene M. Frank, “On The Tip of Your Tongue”, Signet Book, 1990. Saya beli tanggal 14/4/1991 di TB Gramedia Matraman, Jakarta. Pada hal 160-162 terdapat daftar istilah untuk obsesi, kecanduan atau kegetolan atas………
buku disebut bibliomania
membeli apa saja : onlomania
menulis : graphomania/scribomania
wanita sangat bernafsu terhadap pria : nymphomania
pria sangat bernafsu terhadap wanita : satyromania
musik : melomania/musicomania
merasa penting sendiri : megalomania
merasa sebagai Tuhan : theomania
ngomong jorok : coprolalomania
penis : mentulomania
nafsu sex : erotomania
organ sex : edeomania
kata-kata : logomania/verbomania
alcohol : dipsomania/potomania
rindu rumah : philpatridomania
kerumunan orang : demomania/ochlomania
(masih banyak lagi…)
Istilah berakhiran “oholic” pertama kali saya temui dari kata alcoholic, orang yang kecanduan minuman beralkohol. Di kalangan suporter Indonesia, saya kira tak sulit menemukan kaum alcoholic ini. Di kalangan Pasoepati Solo, minuman beralkohol yang dirasa murah meriah disebut ciu cangkol. Saya tidak tahu berapa persen kadar alkoholnya, tetapi cairan coklat keruh berbau keras itu akan menyala bila disundut korek api. Dengan beverage tradisional itu, beberapa warga Pasoepati sering mengajak pesta kelompok suporter lainnya yang datang ke Solo. Lalu cerita-cerita mengenai suporter tamu yang teler atau mabuk berat, sudah menjadi bahan guyonan tersendiri di kalangan Pasoepati.
Istilah alcoholic yang saya ketahui itu berasal dari Alcoholic Anonymous/AA (Mereka Yang Kecanduan Alkohol Tanpa Nama). Ini sebuah gerakan swadaya masyarakat di AS yang menghimpun para pencandu minuman keras untuk saling berbagi pengalaman, bagaimana menyembuhkan ketergantungan mereka terhadap minuman yang berpotensi merusak hati/liver itu.
Mereka bertemu secara teratur, dipandu relawan yang psikolog, guna saling mengingatkan dan saling menguatkan demi keberhasilan mereka masing-masing demi terbebas dari cengkeraman alkohol. Well, apakah ASSI kita ini perlu ditambah dengan divisi AASI : Alcoholic Anonymous Suporter Indonesia ?
Istilah berakhiran “oholic” lainnya, saya temukan tahun 1992. Gara-garanya majalah Time (6/4/1992) memberi julukan manis manis untuk seseorang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di pelbagai media massa. Julukan itu adalah epistoholik. Dari asal kata epistle, surat.
Tokoh unik dan mengesankan yang diberi label epistoholik oleh majalah Time itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari Mumbay, India. Beliau sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat ia muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat, dan prestasinya ini tercatat di buku Guinnes Book of World Records Versi India.
Kini, di bulan November 2003 yang lalu, menurut Mid-day (http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm), ia sudah menulis surat pembaca sebanyak 5.000 buah, semuanya berbahasa Inggris, dan dikirimkan ke pelbagai surat kabar di dunia.
Kepada wartawan Pooja Kumar (5 November 2003) ia bilang : “Writing letters has become an obsession for me and not a single day passes by without me spotting at least three of my letters in dailies. It is because of my faith in the immense impact of the media that I choose to address these issues.”
Saya sebagai logomania/verbomania plus graphomania/scribomania, sejak tahun 1992 sudah langsung terkena virusnya Bapak Parakal ini. Saya yang memang suka menulis di kolom-kolom surat pembaca, selain menulis artikel/buku, tergerak merintis pendirian Epistoholik Indonesia/EI di tahun 1994. Yaitu upaya menghimpun para penulis surat pembaca se-Indonesia. Ide itu saya lontarkan di koran-koran, dan mendapatkan sambutan.
Sayang, realisasi ide itu tak berlangsung lama saat itu. Saat itu saya berdomisili di Jakarta, merasa kekurangan waktu dan sarana. Komunikasi masih memakai layanan snail-mail (surat keong – baca : Pak Pos !), lamban dan mahal. Mesin ketik juga manual. Tetapi toh ada seseorang dari Medan, mengadopsi ide tersebut. Sapi punya susu, kerbau punya nama (apa kebalik ?), Bang Medan itu tampil ke depan untuk memproklamasikan diri sebagai ketua organisasi semacam EI ini. Salah satu kiprah awalnya, ia akan mengajukan proposal ke Sekretariat Negara RI untuk minta sumbangan dana bagi operasi organisasinya tersebut.
Saya pasif atas prakarsa Bang Medan itu. Ada perbedaan visi di antara kita. Sebab sejak awal saya mengangankan EI sebagai jaringan yang independen, warganya juga independen, sehingga bebas bersuara atau menulis kritik kepada (terutama) pemerintah Orba (saat itu). Tetapi oleh Bang Medan itu kok tiba-tiba dibelokkan untuk mau terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang ditukar dengan bantuan/kucuran rupiah ? Entah kenapa, rupanya upaya Bang Medan yang berbaik hati meneruskan gagasan EI saya itu, juga memudar.
Kini di tahun 2003, ketika komunikasi makin murah, instan dan canggih telah hadir, yaitu Internet, membuat embrio EpistoholikIndonesia/EI dulu itu menggoda lagi di benak saya. Dan saya memutuskan mempromosikan EI kembali. Dimuat di suratkabar Bernas (Yogya), Suara Merdeka (Semarang) dan Solopos (Solo), kini ada sekitar 10 orang dari Solo, Yogya, Sukoharjo, Wonogiri (selain saya), Pekalongan, Purbalingga, juga Jakarta, menyatakan bergabung dalam jaringan EI.
Kalau Anda sempat membaca Tabloid BOLA (2 Des 2003), di kolom “Forum Pembaca”, ada seorang anak muda mahasiswa Arsitektur UNS (sekaligus pencinta/penulis sastra, yang berarti kalau menurut tesis multiple intelligence-nya Howard Gardner dirinya memiliki skill visual-spatial dan verbal, “kombinasi minat yang hebat !”) bernama Wahyu Priyono, telah ikut berbaik hati mempromosikan Epistoholik Indonesia.
Surat di BOLA itu atas prakarsanya sendiri. Saya tak nyangka, kalau Tabloid BOLA jadi incaran Wahyu untuk mempromosikan EI. Kebetulan sih, dia juga seorang warga Pasoepati, tetapi seingatku (sorry, Wahyu…), aku justru belum pernah ketemu secara tatap muka dan pribadi selama aku berkiprah di Pasoepati.
Makasih berat, Wahyu. Gara-gara kedahsyatan Internet maka Wonogiri dan Karangpandan bisa muncul sedikit sebagai “center of gravity”-nya para epistoholik Indonesia. Gara-gara surat Wahyu itu pula, aku bisa dikontak lagi sama Aan Permana/Garut, sobat lama yang dulu pernah ngobrol via e-mail gara-gara tulisanku di BOLA, tahun 2000 lalu, bab julukan nama-nama untuk pemain Pelita Solo.
Wahyu yang antusias bergabung dalam EI, aku rasa sebagai pribadi anak muda yang rada unik. Sebab warga jaringan lainnya, seperti halnya Pak Parakal, banyak yang sudah sepuh, kaum wredatama dan manula. Ada yang sudah berusia 80 tahun, Hadiwardoyo (Kaliurang), tetapi semangat belajarnya untuk mengenal hal-hal baru sungguh mengagumkan. Termasuk memutuskan memiliki acoount e-mail pribadi gara-gara semangatnya untuk bergabung dalam EI. Kunjungi situsnya di : http://hwar.blogspot.com.
EI memang membidik, antara lain, para senior seperti Pak Hadiwardoyo itu. Ide EI diilhami isi bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital, bahwa Internet mampu menyambungkan komunikasi antargenerasi, kaum pensiunan dengan generasi anak-cucu mereka. Para pensiunan itu adalah the untapped resources, sumber daya intelektual dan kebijakan yang belum digali. Padahal mereka itu memiliki kecerdasan, wawasan, pengalaman, wisdom, juga optimisme, sampai perasaan semakin dekat sama Tuhan, yang alangkah baiknya bila kita-kita yang lebih muda ini sudi belajar banyak dari mereka.
Untuk menghormat dan menghargai dedikasi mereka, telah saya rintis pembuatan situs untuk menghimpun dan memajang karya surat-surat pembaca mereka. Silakan kunjungi di : http://epsia.blogspot.com dan tersedia links untuk situs mereka.
Untuk semua itu, ya saya harus sedikit kerja bakti, belajar telaten dan sabar dalam memindahkan isi surat-surat para senior itu ke bentuk digital. Walau hanya mampu mengetik 2 jari saja, saya ketik kembali karya-karya mereka. Di situlah saya mendapatkan hikmah dan ganjaran : saya tak sengaja malah jadi banyak belajar dari gagasan dan wisdom mereka !
Begitulah, gara-gara munculnya sobat baru di milis ASSI yang berjulukan Persib-O-holic, telah memicu saya untuk bercerita tentang epistoholik. Siapa tahu, wabah oholic-oholic ini akan juga merasuki kalangan suporter sepakbola Indonesia di ajang Liga Indonesia 2004 mendatang.
Sehingga kita tidak hanya kenal dan berkawan dengan Persib-O-holic, Slemanoholic, Soloholic, Petroholic dan Nurdin Holic (he-he-he), moga-moga suporter Indonesia nantinya juga kecanduan sportivitas yang bagaimana kalau kita sebut saja dengan: Sportivoholic ?
Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 8/12/2003.
Darah baru. Ide-ide baru.
Akhir-akhir ini di milis ASSI kita telah tampil milister-milister (mohon dikoreksi kalau istilah ini kurang tepat) baru. Sangat menggembirakan. Mungkin penilaian saya keliru, sebab siapa tahu sobat-sobat yang saya anggap wajah baru itu sebenarnya warga lama tetapi selama ini terlalu berendah hati dengan memilih sebagai “lurker” semata. Istilah “lurker” adalah sebutan untuk peserta/anggota milis di mana mereka merasa sudah cukup senang untuk hanya menjadi pembaca saja. Tetapi bagi saya, keberadaan sobat-sobat “lurker” itu kadang mengejutkan.
Sebab saya pernah disapa seseorang (suporter) yang namanya sama sekali tidak pernah muncul dalam diskusi di milis ASSI kita ini. Tapi, surprisenya, ia bisa menceritakan topik-topik yang pernah muncul dalam konferensi meja bundar antarsuporter Indonesia a la digital di milis yang dimandori Sam Idoer van Aremania yang unix ini.
Nama milister ASSI baru yang bagi saya unik, adalah Persib-O-Holic. Ketika dunia suporter Indonesia sejak tahun 2000 seolah inflasi istilah “mania” (gara-gara kharisma kera-kera Ngalam : Aremania !), nama berakhiran “oholic” itu cukup menggelitik. Memang akhiran mania dan oholic itu artinya bermiripan, yaitu obsesi, kecanduan, kegetolan atas sesuatu.
Sebagai contoh, saya ambil dari kamus unik yang rasanya cocok dimiliki mereka yang ingin tampil di kuis Who Wants To Be a Millionaire-nya RCTI. Kamus itu karya Irene M. Frank, “On The Tip of Your Tongue”, Signet Book, 1990. Saya beli tanggal 14/4/1991 di TB Gramedia Matraman, Jakarta. Pada hal 160-162 terdapat daftar istilah untuk obsesi, kecanduan atau kegetolan atas………
buku disebut bibliomania
membeli apa saja : onlomania
menulis : graphomania/scribomania
wanita sangat bernafsu terhadap pria : nymphomania
pria sangat bernafsu terhadap wanita : satyromania
musik : melomania/musicomania
merasa penting sendiri : megalomania
merasa sebagai Tuhan : theomania
ngomong jorok : coprolalomania
penis : mentulomania
nafsu sex : erotomania
organ sex : edeomania
kata-kata : logomania/verbomania
alcohol : dipsomania/potomania
rindu rumah : philpatridomania
kerumunan orang : demomania/ochlomania
(masih banyak lagi…)
Istilah berakhiran “oholic” pertama kali saya temui dari kata alcoholic, orang yang kecanduan minuman beralkohol. Di kalangan suporter Indonesia, saya kira tak sulit menemukan kaum alcoholic ini. Di kalangan Pasoepati Solo, minuman beralkohol yang dirasa murah meriah disebut ciu cangkol. Saya tidak tahu berapa persen kadar alkoholnya, tetapi cairan coklat keruh berbau keras itu akan menyala bila disundut korek api. Dengan beverage tradisional itu, beberapa warga Pasoepati sering mengajak pesta kelompok suporter lainnya yang datang ke Solo. Lalu cerita-cerita mengenai suporter tamu yang teler atau mabuk berat, sudah menjadi bahan guyonan tersendiri di kalangan Pasoepati.
Istilah alcoholic yang saya ketahui itu berasal dari Alcoholic Anonymous/AA (Mereka Yang Kecanduan Alkohol Tanpa Nama). Ini sebuah gerakan swadaya masyarakat di AS yang menghimpun para pencandu minuman keras untuk saling berbagi pengalaman, bagaimana menyembuhkan ketergantungan mereka terhadap minuman yang berpotensi merusak hati/liver itu.
Mereka bertemu secara teratur, dipandu relawan yang psikolog, guna saling mengingatkan dan saling menguatkan demi keberhasilan mereka masing-masing demi terbebas dari cengkeraman alkohol. Well, apakah ASSI kita ini perlu ditambah dengan divisi AASI : Alcoholic Anonymous Suporter Indonesia ?
Istilah berakhiran “oholic” lainnya, saya temukan tahun 1992. Gara-garanya majalah Time (6/4/1992) memberi julukan manis manis untuk seseorang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di pelbagai media massa. Julukan itu adalah epistoholik. Dari asal kata epistle, surat.
Tokoh unik dan mengesankan yang diberi label epistoholik oleh majalah Time itu adalah Anthony Parakal (kini 72 tahun) dari Mumbay, India. Beliau sudah melakoni hobinya sejak tahun 1953. Saat ia muncul di Time, koleksi surat pembaca karyanya sudah mencapai : 3.760 surat, dan prestasinya ini tercatat di buku Guinnes Book of World Records Versi India.
Kini, di bulan November 2003 yang lalu, menurut Mid-day (http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm), ia sudah menulis surat pembaca sebanyak 5.000 buah, semuanya berbahasa Inggris, dan dikirimkan ke pelbagai surat kabar di dunia.
Kepada wartawan Pooja Kumar (5 November 2003) ia bilang : “Writing letters has become an obsession for me and not a single day passes by without me spotting at least three of my letters in dailies. It is because of my faith in the immense impact of the media that I choose to address these issues.”
Saya sebagai logomania/verbomania plus graphomania/scribomania, sejak tahun 1992 sudah langsung terkena virusnya Bapak Parakal ini. Saya yang memang suka menulis di kolom-kolom surat pembaca, selain menulis artikel/buku, tergerak merintis pendirian Epistoholik Indonesia/EI di tahun 1994. Yaitu upaya menghimpun para penulis surat pembaca se-Indonesia. Ide itu saya lontarkan di koran-koran, dan mendapatkan sambutan.
Sayang, realisasi ide itu tak berlangsung lama saat itu. Saat itu saya berdomisili di Jakarta, merasa kekurangan waktu dan sarana. Komunikasi masih memakai layanan snail-mail (surat keong – baca : Pak Pos !), lamban dan mahal. Mesin ketik juga manual. Tetapi toh ada seseorang dari Medan, mengadopsi ide tersebut. Sapi punya susu, kerbau punya nama (apa kebalik ?), Bang Medan itu tampil ke depan untuk memproklamasikan diri sebagai ketua organisasi semacam EI ini. Salah satu kiprah awalnya, ia akan mengajukan proposal ke Sekretariat Negara RI untuk minta sumbangan dana bagi operasi organisasinya tersebut.
Saya pasif atas prakarsa Bang Medan itu. Ada perbedaan visi di antara kita. Sebab sejak awal saya mengangankan EI sebagai jaringan yang independen, warganya juga independen, sehingga bebas bersuara atau menulis kritik kepada (terutama) pemerintah Orba (saat itu). Tetapi oleh Bang Medan itu kok tiba-tiba dibelokkan untuk mau terkooptasi oleh kepentingan pemerintah yang ditukar dengan bantuan/kucuran rupiah ? Entah kenapa, rupanya upaya Bang Medan yang berbaik hati meneruskan gagasan EI saya itu, juga memudar.
Kini di tahun 2003, ketika komunikasi makin murah, instan dan canggih telah hadir, yaitu Internet, membuat embrio EpistoholikIndonesia/EI dulu itu menggoda lagi di benak saya. Dan saya memutuskan mempromosikan EI kembali. Dimuat di suratkabar Bernas (Yogya), Suara Merdeka (Semarang) dan Solopos (Solo), kini ada sekitar 10 orang dari Solo, Yogya, Sukoharjo, Wonogiri (selain saya), Pekalongan, Purbalingga, juga Jakarta, menyatakan bergabung dalam jaringan EI.
Kalau Anda sempat membaca Tabloid BOLA (2 Des 2003), di kolom “Forum Pembaca”, ada seorang anak muda mahasiswa Arsitektur UNS (sekaligus pencinta/penulis sastra, yang berarti kalau menurut tesis multiple intelligence-nya Howard Gardner dirinya memiliki skill visual-spatial dan verbal, “kombinasi minat yang hebat !”) bernama Wahyu Priyono, telah ikut berbaik hati mempromosikan Epistoholik Indonesia.
Surat di BOLA itu atas prakarsanya sendiri. Saya tak nyangka, kalau Tabloid BOLA jadi incaran Wahyu untuk mempromosikan EI. Kebetulan sih, dia juga seorang warga Pasoepati, tetapi seingatku (sorry, Wahyu…), aku justru belum pernah ketemu secara tatap muka dan pribadi selama aku berkiprah di Pasoepati.
Makasih berat, Wahyu. Gara-gara kedahsyatan Internet maka Wonogiri dan Karangpandan bisa muncul sedikit sebagai “center of gravity”-nya para epistoholik Indonesia. Gara-gara surat Wahyu itu pula, aku bisa dikontak lagi sama Aan Permana/Garut, sobat lama yang dulu pernah ngobrol via e-mail gara-gara tulisanku di BOLA, tahun 2000 lalu, bab julukan nama-nama untuk pemain Pelita Solo.
Wahyu yang antusias bergabung dalam EI, aku rasa sebagai pribadi anak muda yang rada unik. Sebab warga jaringan lainnya, seperti halnya Pak Parakal, banyak yang sudah sepuh, kaum wredatama dan manula. Ada yang sudah berusia 80 tahun, Hadiwardoyo (Kaliurang), tetapi semangat belajarnya untuk mengenal hal-hal baru sungguh mengagumkan. Termasuk memutuskan memiliki acoount e-mail pribadi gara-gara semangatnya untuk bergabung dalam EI. Kunjungi situsnya di : http://hwar.blogspot.com.
EI memang membidik, antara lain, para senior seperti Pak Hadiwardoyo itu. Ide EI diilhami isi bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital, bahwa Internet mampu menyambungkan komunikasi antargenerasi, kaum pensiunan dengan generasi anak-cucu mereka. Para pensiunan itu adalah the untapped resources, sumber daya intelektual dan kebijakan yang belum digali. Padahal mereka itu memiliki kecerdasan, wawasan, pengalaman, wisdom, juga optimisme, sampai perasaan semakin dekat sama Tuhan, yang alangkah baiknya bila kita-kita yang lebih muda ini sudi belajar banyak dari mereka.
Untuk menghormat dan menghargai dedikasi mereka, telah saya rintis pembuatan situs untuk menghimpun dan memajang karya surat-surat pembaca mereka. Silakan kunjungi di : http://epsia.blogspot.com dan tersedia links untuk situs mereka.
Untuk semua itu, ya saya harus sedikit kerja bakti, belajar telaten dan sabar dalam memindahkan isi surat-surat para senior itu ke bentuk digital. Walau hanya mampu mengetik 2 jari saja, saya ketik kembali karya-karya mereka. Di situlah saya mendapatkan hikmah dan ganjaran : saya tak sengaja malah jadi banyak belajar dari gagasan dan wisdom mereka !
Begitulah, gara-gara munculnya sobat baru di milis ASSI yang berjulukan Persib-O-holic, telah memicu saya untuk bercerita tentang epistoholik. Siapa tahu, wabah oholic-oholic ini akan juga merasuki kalangan suporter sepakbola Indonesia di ajang Liga Indonesia 2004 mendatang.
Sehingga kita tidak hanya kenal dan berkawan dengan Persib-O-holic, Slemanoholic, Soloholic, Petroholic dan Nurdin Holic (he-he-he), moga-moga suporter Indonesia nantinya juga kecanduan sportivitas yang bagaimana kalau kita sebut saja dengan: Sportivoholic ?
Bambang Haryanto
Penulis Buku HARI-HARI SEPAKBOLA INDONESIA MATI
Wonogiri, 8/12/2003.