Wonogiri, 8 September 2003
SIAPA JUARA DAN SIAPA SAJA
YANG TERDEGRADASI DI LIBM 2003 INI ?
Hello, sobat, semua saudaraku, sesama suporter sepakbola Indonesia. Semoga anda selalu sehat dan sejahtera. Langsung saja : tim LI mana yang Anda favoritkan sebagai juara LIBM 2003 ini ? Siapa yang pantas terdegradasi ?
Hemat saya, agar pentas sepakbola kita penuh drama, selayaknyalah bila Tim Macan Putih, Persik Kediri, jadi juara LIBM 2003. Tetapi saya lalu jadi kuatir bahwa drama sepakbola kita akan makin seru bila Petrokimia Putra, Juara LIBM 2002, justru terkena degradasi menyusul Barito Putra ! Setuju ?
Beberapa hari lalu, lewat koran Jawapos, diceritakan betapa sobat saya Haji Mulyadi, Ketua Ultras, merasakan frustrasi yang dalam saat mengantisipasi ancaman degradasi bagi tim Petro itu. Apalagi sobat-sobat Ultras itu merasa sudah melakukan pelbagai upaya, termasuk hal-hal terpuji seperti menyantuni anak-anak panti asuhan (Jawapos, 8/9, juga menulis bahwa Panser Biru melakukan pula hal yang sama. Bagus !) sampai kendurian manakiban dan hal-hal supranatural lainnya (upaya ini juga jadi bahasan dalam calon buku saya Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati yang kini di tangan penerbit), tetapi ternyata prestasi Juara LIBM 2002 itu mengecewakan mereka. Reaksi Ultras kemudian justru berbalik jadi destruktif, termasuk melakukan pembakaran atribut mereka di stadion Tri Dharma Gresik.
Apa benar Petro nanti terdegradasi ? Repotnya, salah satu momen penentuannya adalah pada pertandingan terakhir, yang justru terjadi di Manahan. Ah, ini mengingatkan kejadian sedih 11 Juni 2000, saat Juara LI PSIS Semarang harus degradasi setelah tumbang di Manahan yang diikuti kerusuhan suporter Solo vs Semarang yang bekasnya belum terhapus sampai kini. Apakah nanti saat tanding Solo FC vs Petro itu akan terjadi d�j� vu, terdegradasinya Juara LIBM 2002 dan diikuti kerusuhan antarkedua suporter ? Amit-amit, moga tidaklah terjadi hal buruk itu !
Kita tunggu.
Lalu tim mana yang pantas mengikuti Barito Putra ? Arema ? PSDS ? Persib ? Pelita KS ? Bila hal buruk itu benar-benar terjadi, bagaimana suporter menyikapinya ? Kerusuhan ? Ada sebuah cermin : setelah timnya pasti masuk jurang degradasi di akhir musim 2003, tifosi tim Torino di Italia justru melakukan demo besar-besaran. Kota Torino (5/5/2003) diserbu 50.000 pencinta fanatiknya dari segala penjuru Italia. Mereka tetap menunjukkan kecintaannya pada tim sekaligus kemarahan pada pemilik dan dewan pengurus saat ini. Dalam pawai yang disebut Granata Pride�s Day itu, mereka ingin menunjukkan bahwa semangat khas Toro, banteng Torino, masih hidup. Melihat tifosi masih bangga mendukung Torino, para eksekutif bersumpah akan segera membuat klubnya menjadi besar lagi. Kearifan para suporter Torino dalam menerima penurunan prestasi timnya, bisakah dipraktekkan di Indonesia hari-hari di depan ini ?
Saya sendiri, berharap agar tim Persijatim Solo FC ikut terdegradasi. Apa saya �gila� ? Boleh dan silakan saja bila disebut seperti itu. Tetapi, saya punya alasan tersendiri.
Pertama, Anda harus ingat, konstelasi sepakbola Solo jauh berbeda dibanding kotanya Sam Rudi, Sam Harie dan Sam Agung yang van Malang, Pei dan Benny van Sleman, Dwi Narwanto van Jepara, atau Kediri dan bahkan Lamongan. Solo tidaklah seberuntung seperti pelbagai kota-kota Anda tersebut. Secara jujur, Solo ikutan mencuat di pentas elit sepakbola nasional hanya karena �indekos�-nya tim-tim dari luar kota yang berorientasi bisnis di Solo ini. Sejak Arseto, Pelita Bakrie sampai Persijatim kini. Passion saya sebagai suporter sempat sampai puncak ketika Pelita Solo diimpikan akan lestari di Solo. Harapan itu ternyata sia-sia !
Oleh karena itu, hemat saya, kini sudah saatnya publik bola Solo harus meninggalkan cara instan dengan sukaria menerima tim-tim indekosan yang sudah jadi elit tadi. Solo harus kembali ke bumi realitas, dan caranya (salah satunya) adalah bila tim �hibrida yang aneh�, Persijatim Solo FC itu, ikut terdegradasi ke Divisi I dan mungkin mereka akan meninggalkan Solo pula.
Konsekuensinya, Pasoepati mungkin akan menjalani hibernasi alias tertidur panjang, sebagaimana layaknya binatang yang hidup pada empat musim tatkala musim dingin tiba. Jadi saya nanti juga bisa ikut libur panjang, menjauhkan diri sementara dari hiruk pikuk dunia suporter sepakbola. Mungkin akan full-time sebagai penulis, walau mungkin bukan lagi mengupas bab suporter atau olahraga.
Terlebih lagi, menurut saya, kehadiran tim Persijatim itu di Solo (tidak disadari oleh banyak orang) telah merombak, ekstrimnya meracuni, budaya suporter Pasoepati, selama ini. Sebagai warga Pasoepati yang mungkin yang pertama kalinya menyambut kedatangan Persijatim ke Solo, ketika berdiskusi lewat telepon dengan bos Persijatim, Muhammad Zein, sekarang ini saya kecewa karena kehadirannya di Solo justru merubah orientasi kelompok suporter yang saya ikut di dalamnya. Kalau Persijatim ingin terus di Solo, sebaiknyalah bila merevisi posisi yang mengkooptasi Pasoepati seperti selama ini !
Kalau Anda pernah baca di Tabloid Bola, pernah disinggung di kolom Olaole betapa para pentolan Pasoepati kini keburu senang jadi �pegawai�-nya Persijatim Solo FC, dengan pangkat sebagai panpel dan penjual karcis mereka. Status ini membawa pengaruh plus dan minus. Yang minus, motivasi kuat mereka, ya, agar dapat uang. Sayangnya, status semacam ini secara tidak sadar atau tidak mau tahu, telah mencampurbaurkan posisi antara pegawai/panpel dengan suporter, dan ini jelas juga hibrida yang aneh.
Celakanya lagi : motivasi seperti ini sulit diubah. Seperti kata Robert T. Kiyosaki dalam The Cashflow Quadrant (2001), bahwa �uang adalah obat bius�. Lanjutnya, begitu Anda terbiasa menerimanya, kecanduan itu akan membuat Anda terikat pada cara mendapatkannya. Dengan kata lain, kalau menerima uang sebagai pegawai gajian maka Anda akan cenderung menjadi terbiasa dengan cara Anda memperolehnya. Dan hal itu merupakan pola yang sulit diubah.Kalau Anda mengaku sebagai suporter tetapi dapat duit (sebagai panpel), maka Anda akan cenderung mempertahankan status enak seperti ini. Sekuatnya.
Lalu, teman-teman saya di Pasoepati kini, seperti halnya dalil Lord Acton bahwa �kekuasaan itu cenderung korup�, saya kuatirkan diam-diam mereka akan meniru Pak Harto, dengan menganggap Pasoepati sebagai miliknya pribadi. Kalau Pasoepati dikritik, ia merasakan kritik itu menjadi personal, dianggap terarah ke pribadinya. Reaksinya pun marah-marah. Baru-baru ini, di koran Solopos (24/8/2003), saya usulkan agar Pasoepati kembali ke kithah, menjadi suporter murni dan bukan mendobel sebagai panpel, justru mereka tanggapi dengan ketersinggungan.
Yang pasti, di Pasoepati kini mencuat dikotomi tajam, yaitu adanya suporter yang mendapatkan bayaran (mereka-mereka yang jadi panpel itu) dan banyak lainnya suporter yang justru membayar sebagaimana layaknya penonton biasa. Keadaan yang sarat ketidakadilan itu (apalagi tak ada transparansi pada panpel dalam pengelolaan keuangannya) direspons sebagian besar warga Pasoepati dengan aksi yang cerdas. Mereka tidak lagi protes (walau berkali-kali hal transparansi itu muncul di media massa setempat dan juga di Bola !), tetapi aksi mereka cukup jitu : mereka tidak lagi berselera nonton ke stadion. Walau prestasi Persijatim Solo FC tidaklah jelek, tetapi nyatanya makin hari penonton Solo makin merosot jumlahnya di Stadion Manahan. Tur PSFC keluar kota, termasuk ke Malang baru-baru ini, sudah tidak menimbulkan gema atau selera lagi bagi suporternya. Jadi, menurut saya, kini Pasoepati rada �remuk, luar dan dalam�. (Opini selengkapnya bab hal ini bisa Anda baca di http://suporter.blogspot.com).
Well, sobat, itulah sekedar info aktual dari Solo. Mungkin kalau saudaraku Aremania, Ultras, Viking, Panser Biru, Volcanomania dan lainnya saat ini lagi harap-harap cemas, apakah jurang degradasi akan menelan tim kesayangannya, saya justru cemas apakah harapan saya di atas justru tidak kesampaian.
Hal harap-harap cemas lainnya adalah mengenai naskah buku saya. Kecemasan bab �remuk�-nya Pasoepati juga dibahas di buku saya ini. Hari ini, naskah itu sudah hampir sebulan lebih di tangan penerbit, tapi belum ada kata final apakah ia akan diterbitkan atau ditolak. Padahal, ini mimpi ya, buku itu inginku akan jadi kado bagi para pengurus persepakbolaan Indonesia yang bakal berkumpul di bulan Oktober 2003 nanti saat berlangsungnya pemilihan Ketua PSSI yang baru. Biar komunitas sepakbola Indonesia ya agak meliriklah, bahwa ada catatan yang diajukan oleh seorang suporter tentang kiprah mereka.
Terakhir, sebagai suporter, apa yang kini Anda pikirkan dan bakal Anda kerjakan untuk menyambut peristiwa penting ini ?
Drama sepakbola Indonesia akan mendekati puncak. Semoga kita semua mendapat yang terbaik dari hal itu. Seperti halnya kata legenda tenis wanita dunia, Billie Jean King, dalam bukunya The Warrior Athlete, semoga aktivitas kita sebagai suporter selama ini akan juga membuahkan hikmah, �how to develop physical, mental, and emotional skills � not just for sports, but for life !�
Juga, Selamat Merayakan dan Merenungkan Makna Hari Olahraga Nasional, 9 September 2003 ! Sampai di obrolan mendatang.
Sobat Anda,
Bambang Haryanto
P.S. Catatan dikit : Kalau Sam Harie nulis saya adalah Presiden Pasoepati, saya kira keliru. Saya belum pernah jadi presiden, dan bahkan sejak Oktober 2001 (karena pindah ke Jakarta) saya sudah berada di luar kepengurusan Pasoepati sampai kini. Oh ya, kode etik FIFA itu sudah pula masuk di buku saya, disandingkan dengan kode etik Pasoepati. Sudahkah kelompok Anda memiliki kode etik serupa ?
Untuk Sam Agung Chrisnayanto yang pernah mengajukan gagasan, apakah ada data sejarah mengenai benih-benih perseteruan antardaerah sejak jaman kerajaan dulu yang kini �menurun� kepada suporter, kini saya bisa jawab. Silakan pelajari buku barunya Capt. R.P. Suyono, Peperangan Kerajaan Di Nusantara (Grasindo, 2003), yang intinya kita ini mendapat warisan leluhur, yaitu �ketidaksetiaan dan saling berperang�. Silakan, kita sebagai suporter apa mau meneruskan hal buruk itu (termasuk �kecolongan-kecolongan�, istilah Sam Agung, bila terjadi rusuh antarkelompok suporter yang di atas kertas tidak bermusuhan) atau mencoba ikut serta menghentikan aliran pewarisan leluhur kita itu.
Untuk Mas Pei (Slemania) saya sertakan kata mutiaranya Bill Shankly. Di situs web Anda memang sudah ada, tapi yang ini, menurutku, lebih melodius : "Some people think football is a matter of life and death. It is much more important than that." Juga lirik lagu Go West yang ada rasanya sedikit kurang sempurna. Lain kali akan aku kirim teks yang semoga lebih mengena.
Kapan bikin lagu yang lebih seru ? Yogya dan Sleman kan terkenal musisinya yang kondang-kondang bukan ? PSS, hebat !
SIAPA JUARA DAN SIAPA SAJA
YANG TERDEGRADASI DI LIBM 2003 INI ?
Hello, sobat, semua saudaraku, sesama suporter sepakbola Indonesia. Semoga anda selalu sehat dan sejahtera. Langsung saja : tim LI mana yang Anda favoritkan sebagai juara LIBM 2003 ini ? Siapa yang pantas terdegradasi ?
Hemat saya, agar pentas sepakbola kita penuh drama, selayaknyalah bila Tim Macan Putih, Persik Kediri, jadi juara LIBM 2003. Tetapi saya lalu jadi kuatir bahwa drama sepakbola kita akan makin seru bila Petrokimia Putra, Juara LIBM 2002, justru terkena degradasi menyusul Barito Putra ! Setuju ?
Beberapa hari lalu, lewat koran Jawapos, diceritakan betapa sobat saya Haji Mulyadi, Ketua Ultras, merasakan frustrasi yang dalam saat mengantisipasi ancaman degradasi bagi tim Petro itu. Apalagi sobat-sobat Ultras itu merasa sudah melakukan pelbagai upaya, termasuk hal-hal terpuji seperti menyantuni anak-anak panti asuhan (Jawapos, 8/9, juga menulis bahwa Panser Biru melakukan pula hal yang sama. Bagus !) sampai kendurian manakiban dan hal-hal supranatural lainnya (upaya ini juga jadi bahasan dalam calon buku saya Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati yang kini di tangan penerbit), tetapi ternyata prestasi Juara LIBM 2002 itu mengecewakan mereka. Reaksi Ultras kemudian justru berbalik jadi destruktif, termasuk melakukan pembakaran atribut mereka di stadion Tri Dharma Gresik.
Apa benar Petro nanti terdegradasi ? Repotnya, salah satu momen penentuannya adalah pada pertandingan terakhir, yang justru terjadi di Manahan. Ah, ini mengingatkan kejadian sedih 11 Juni 2000, saat Juara LI PSIS Semarang harus degradasi setelah tumbang di Manahan yang diikuti kerusuhan suporter Solo vs Semarang yang bekasnya belum terhapus sampai kini. Apakah nanti saat tanding Solo FC vs Petro itu akan terjadi d�j� vu, terdegradasinya Juara LIBM 2002 dan diikuti kerusuhan antarkedua suporter ? Amit-amit, moga tidaklah terjadi hal buruk itu !
Kita tunggu.
Lalu tim mana yang pantas mengikuti Barito Putra ? Arema ? PSDS ? Persib ? Pelita KS ? Bila hal buruk itu benar-benar terjadi, bagaimana suporter menyikapinya ? Kerusuhan ? Ada sebuah cermin : setelah timnya pasti masuk jurang degradasi di akhir musim 2003, tifosi tim Torino di Italia justru melakukan demo besar-besaran. Kota Torino (5/5/2003) diserbu 50.000 pencinta fanatiknya dari segala penjuru Italia. Mereka tetap menunjukkan kecintaannya pada tim sekaligus kemarahan pada pemilik dan dewan pengurus saat ini. Dalam pawai yang disebut Granata Pride�s Day itu, mereka ingin menunjukkan bahwa semangat khas Toro, banteng Torino, masih hidup. Melihat tifosi masih bangga mendukung Torino, para eksekutif bersumpah akan segera membuat klubnya menjadi besar lagi. Kearifan para suporter Torino dalam menerima penurunan prestasi timnya, bisakah dipraktekkan di Indonesia hari-hari di depan ini ?
Saya sendiri, berharap agar tim Persijatim Solo FC ikut terdegradasi. Apa saya �gila� ? Boleh dan silakan saja bila disebut seperti itu. Tetapi, saya punya alasan tersendiri.
Pertama, Anda harus ingat, konstelasi sepakbola Solo jauh berbeda dibanding kotanya Sam Rudi, Sam Harie dan Sam Agung yang van Malang, Pei dan Benny van Sleman, Dwi Narwanto van Jepara, atau Kediri dan bahkan Lamongan. Solo tidaklah seberuntung seperti pelbagai kota-kota Anda tersebut. Secara jujur, Solo ikutan mencuat di pentas elit sepakbola nasional hanya karena �indekos�-nya tim-tim dari luar kota yang berorientasi bisnis di Solo ini. Sejak Arseto, Pelita Bakrie sampai Persijatim kini. Passion saya sebagai suporter sempat sampai puncak ketika Pelita Solo diimpikan akan lestari di Solo. Harapan itu ternyata sia-sia !
Oleh karena itu, hemat saya, kini sudah saatnya publik bola Solo harus meninggalkan cara instan dengan sukaria menerima tim-tim indekosan yang sudah jadi elit tadi. Solo harus kembali ke bumi realitas, dan caranya (salah satunya) adalah bila tim �hibrida yang aneh�, Persijatim Solo FC itu, ikut terdegradasi ke Divisi I dan mungkin mereka akan meninggalkan Solo pula.
Konsekuensinya, Pasoepati mungkin akan menjalani hibernasi alias tertidur panjang, sebagaimana layaknya binatang yang hidup pada empat musim tatkala musim dingin tiba. Jadi saya nanti juga bisa ikut libur panjang, menjauhkan diri sementara dari hiruk pikuk dunia suporter sepakbola. Mungkin akan full-time sebagai penulis, walau mungkin bukan lagi mengupas bab suporter atau olahraga.
Terlebih lagi, menurut saya, kehadiran tim Persijatim itu di Solo (tidak disadari oleh banyak orang) telah merombak, ekstrimnya meracuni, budaya suporter Pasoepati, selama ini. Sebagai warga Pasoepati yang mungkin yang pertama kalinya menyambut kedatangan Persijatim ke Solo, ketika berdiskusi lewat telepon dengan bos Persijatim, Muhammad Zein, sekarang ini saya kecewa karena kehadirannya di Solo justru merubah orientasi kelompok suporter yang saya ikut di dalamnya. Kalau Persijatim ingin terus di Solo, sebaiknyalah bila merevisi posisi yang mengkooptasi Pasoepati seperti selama ini !
Kalau Anda pernah baca di Tabloid Bola, pernah disinggung di kolom Olaole betapa para pentolan Pasoepati kini keburu senang jadi �pegawai�-nya Persijatim Solo FC, dengan pangkat sebagai panpel dan penjual karcis mereka. Status ini membawa pengaruh plus dan minus. Yang minus, motivasi kuat mereka, ya, agar dapat uang. Sayangnya, status semacam ini secara tidak sadar atau tidak mau tahu, telah mencampurbaurkan posisi antara pegawai/panpel dengan suporter, dan ini jelas juga hibrida yang aneh.
Celakanya lagi : motivasi seperti ini sulit diubah. Seperti kata Robert T. Kiyosaki dalam The Cashflow Quadrant (2001), bahwa �uang adalah obat bius�. Lanjutnya, begitu Anda terbiasa menerimanya, kecanduan itu akan membuat Anda terikat pada cara mendapatkannya. Dengan kata lain, kalau menerima uang sebagai pegawai gajian maka Anda akan cenderung menjadi terbiasa dengan cara Anda memperolehnya. Dan hal itu merupakan pola yang sulit diubah.Kalau Anda mengaku sebagai suporter tetapi dapat duit (sebagai panpel), maka Anda akan cenderung mempertahankan status enak seperti ini. Sekuatnya.
Lalu, teman-teman saya di Pasoepati kini, seperti halnya dalil Lord Acton bahwa �kekuasaan itu cenderung korup�, saya kuatirkan diam-diam mereka akan meniru Pak Harto, dengan menganggap Pasoepati sebagai miliknya pribadi. Kalau Pasoepati dikritik, ia merasakan kritik itu menjadi personal, dianggap terarah ke pribadinya. Reaksinya pun marah-marah. Baru-baru ini, di koran Solopos (24/8/2003), saya usulkan agar Pasoepati kembali ke kithah, menjadi suporter murni dan bukan mendobel sebagai panpel, justru mereka tanggapi dengan ketersinggungan.
Yang pasti, di Pasoepati kini mencuat dikotomi tajam, yaitu adanya suporter yang mendapatkan bayaran (mereka-mereka yang jadi panpel itu) dan banyak lainnya suporter yang justru membayar sebagaimana layaknya penonton biasa. Keadaan yang sarat ketidakadilan itu (apalagi tak ada transparansi pada panpel dalam pengelolaan keuangannya) direspons sebagian besar warga Pasoepati dengan aksi yang cerdas. Mereka tidak lagi protes (walau berkali-kali hal transparansi itu muncul di media massa setempat dan juga di Bola !), tetapi aksi mereka cukup jitu : mereka tidak lagi berselera nonton ke stadion. Walau prestasi Persijatim Solo FC tidaklah jelek, tetapi nyatanya makin hari penonton Solo makin merosot jumlahnya di Stadion Manahan. Tur PSFC keluar kota, termasuk ke Malang baru-baru ini, sudah tidak menimbulkan gema atau selera lagi bagi suporternya. Jadi, menurut saya, kini Pasoepati rada �remuk, luar dan dalam�. (Opini selengkapnya bab hal ini bisa Anda baca di http://suporter.blogspot.com).
Well, sobat, itulah sekedar info aktual dari Solo. Mungkin kalau saudaraku Aremania, Ultras, Viking, Panser Biru, Volcanomania dan lainnya saat ini lagi harap-harap cemas, apakah jurang degradasi akan menelan tim kesayangannya, saya justru cemas apakah harapan saya di atas justru tidak kesampaian.
Hal harap-harap cemas lainnya adalah mengenai naskah buku saya. Kecemasan bab �remuk�-nya Pasoepati juga dibahas di buku saya ini. Hari ini, naskah itu sudah hampir sebulan lebih di tangan penerbit, tapi belum ada kata final apakah ia akan diterbitkan atau ditolak. Padahal, ini mimpi ya, buku itu inginku akan jadi kado bagi para pengurus persepakbolaan Indonesia yang bakal berkumpul di bulan Oktober 2003 nanti saat berlangsungnya pemilihan Ketua PSSI yang baru. Biar komunitas sepakbola Indonesia ya agak meliriklah, bahwa ada catatan yang diajukan oleh seorang suporter tentang kiprah mereka.
Terakhir, sebagai suporter, apa yang kini Anda pikirkan dan bakal Anda kerjakan untuk menyambut peristiwa penting ini ?
Drama sepakbola Indonesia akan mendekati puncak. Semoga kita semua mendapat yang terbaik dari hal itu. Seperti halnya kata legenda tenis wanita dunia, Billie Jean King, dalam bukunya The Warrior Athlete, semoga aktivitas kita sebagai suporter selama ini akan juga membuahkan hikmah, �how to develop physical, mental, and emotional skills � not just for sports, but for life !�
Juga, Selamat Merayakan dan Merenungkan Makna Hari Olahraga Nasional, 9 September 2003 ! Sampai di obrolan mendatang.
Sobat Anda,
Bambang Haryanto
P.S. Catatan dikit : Kalau Sam Harie nulis saya adalah Presiden Pasoepati, saya kira keliru. Saya belum pernah jadi presiden, dan bahkan sejak Oktober 2001 (karena pindah ke Jakarta) saya sudah berada di luar kepengurusan Pasoepati sampai kini. Oh ya, kode etik FIFA itu sudah pula masuk di buku saya, disandingkan dengan kode etik Pasoepati. Sudahkah kelompok Anda memiliki kode etik serupa ?
Untuk Sam Agung Chrisnayanto yang pernah mengajukan gagasan, apakah ada data sejarah mengenai benih-benih perseteruan antardaerah sejak jaman kerajaan dulu yang kini �menurun� kepada suporter, kini saya bisa jawab. Silakan pelajari buku barunya Capt. R.P. Suyono, Peperangan Kerajaan Di Nusantara (Grasindo, 2003), yang intinya kita ini mendapat warisan leluhur, yaitu �ketidaksetiaan dan saling berperang�. Silakan, kita sebagai suporter apa mau meneruskan hal buruk itu (termasuk �kecolongan-kecolongan�, istilah Sam Agung, bila terjadi rusuh antarkelompok suporter yang di atas kertas tidak bermusuhan) atau mencoba ikut serta menghentikan aliran pewarisan leluhur kita itu.
Untuk Mas Pei (Slemania) saya sertakan kata mutiaranya Bill Shankly. Di situs web Anda memang sudah ada, tapi yang ini, menurutku, lebih melodius : "Some people think football is a matter of life and death. It is much more important than that." Juga lirik lagu Go West yang ada rasanya sedikit kurang sempurna. Lain kali akan aku kirim teks yang semoga lebih mengena.
Kapan bikin lagu yang lebih seru ? Yogya dan Sleman kan terkenal musisinya yang kondang-kondang bukan ? PSS, hebat !