Daniel Nivel, Beri Mardias dan Dunia Kecil Sepakbola Indonesia
Oleh : Bambang Haryanto
Banyak orang suka terperangkap dalam dunia kecilnya sendiri. Mereka tidak peduli terhadap pelbagai hal atau peristiwa yang mereka anggap tidak memiliki kaitan langsung dengan hidupnya. Peristiwa politik dan peristiwa dunia, sekadar contoh, merupakan hal yang begitu saja dan begitu mudah terlupakan.
Terbunuhnya wartawan Udin, meninggalnya Marsinah, hilangnya Wiji Thukul, dan mungkin juga nanti kasus tewasnya pejuang HAM, Munir, akan segera mudah terhapus begitu saja dari memori banyak orang.
Untuk komunitas sepakbola Indonesia, orang mungkin sudah tidak ingat lagi skandal sepakbola gajah antara Thailand dan Indonesia di Piala Tiger 1998, di Vietnam. Saat itu Mursyid Effendi sengaja membobol gawang timnya sendiri, agar tim Indonesia tidak bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal.
DUNIA KERDIL SEPAKBOLA INDONESIA. Sudah terlalu lama prestasi sepakbola Indonesia tidak mampu berbicara di kancah internasional. Dukungan suporter-suporter cantik Indonesia di Stadion Kallang Singapura saat Final Piala Tiger 2005, tidak mampu membangkitkan tim kita pula. Mungkinkah itu semua terjadi karena kita selalu berpikir dan berwawasan kerdil ? (Foto : Dokumentasi Tabloid BOLA).
Orang juga mudah lupa preseden sepakbola gajah kelas dalam negeri, yang terjadi di tahun 1988. Dalam pertandingan terakhir putaran kedua kompetisi Divisi Utama Perserikatan PSSI Wilayah Timur, 21 Februari 1988, tuan rumah Persebaya dibantai oleh Persipura, 0 – 12. Kekalahan busuk penuh rekayasa ini merupakan balas dendam tak langsung Persebaya atas PSIS Semarang, sehingga juara bertahan 1986/1987 tersebut tidak dapat lolos untuk berlaga di putaran final di Senayan.
Bagi kalangan suporter sepakbola Indonesia, nama Suherman, suporter Persebaya yang tewas di stadion Mandala Krida Yogyakarta atau nama Beri Mardias, warga Jakarta tetapi pendukung PSP Padang yang tewas dikeroyok suporter Persija di lingkungan Senayan, mungkin sudah lenyap pula dari ingatan.
Kalau saja Daniel Nivel tinggal di Indonesia, nasibnya mungkin akan serupa pula. Tetapi karena ia tinggal di negara yang budaya tulis dan bacanya maju, penderitaannya justru menerbitkan ilham.
Daniel Nivel adalah nama polisi Perancis yang saat berlangsungnya Piala Dunia 1998 dikeroyok sampai luka berat oleh gerombolan suporter sepakbola berandalan asal Jerman.
Saat itu satu jam sebelum pertandingan antara Jerman melawan Yugoslavia, kota Lens di Perancis yang cerah dan damai dikejutkan terjadinya bentrokan antara polisi anti hura-hara Perancis melawan ratusan brandal sepakbola asal Jerman.
Hasil pertandingannya sendiri adalah 2-2. Jerman menjadi pemuncak grup F dan lolos ke babak berikutnya. Tetapi memori kebrutalan brandal sepakbola Jerman itu terpateri pada seorang polisi Perancis, Daniel Nivel, yang tubuhnya tergeletak koma, nyawanya meregang, di tepi jalan dan bersimbah darah. Brandal sepakbola asal Bochum Jerman yang diduga menjadi penganiaya Daniel Nivel akhirnya divonis masuk penjara selama 3 tahun.
Penderitaan Daniel Nivel, yang cacat seumur hidup tersebut, telah mengetuk nurani Egidius Braun, ketua “PSSI”-nya Jerman untuk berbuat sesuatu. Idenya segera mendapat dukungan dari FIFA, UEFA, organisasi sepakbola Perancis dan Jerman, dan keempat organisasi lainnya sebagai pilar pendiriannya.
Berkedudukan di Basel, Swiss, terbentuklah kemudian Yayasan Daniel Nivel (Daniel Nivel Foundation/DNF). DNF berkiprah menggalang penelitian mengenai tindak kekerasan suporter sepakbola, aksi-aksi pencegahan dan pemidanaan sampai upaya menyantuni korban-korban tindakan brutal suporter sepakbola. Dana akan dihimpun, antara lain dari hasil pemasukan pertandingan amal sepakbola yang mereka rencanakan dan sumber-sumber donasi lainnya.
Dalam pagelaran Piala Dunia 2006 di Jerman nanti, Daniel Nivel akan juga diundang sebagai tamu kehormatan FIFA.
Apakah kisah dan kiprah mulia serupa dapat juga terjadi di Indonesia ? Misalnya dengan mendirikan Yayasan Beri Mardias, untuk mengenang kematiannya karena menjadi suporter sepakbola ? Saya pesimis. Karena insan-insan sepakbola Indonesia hanya suka terperangkap dalam dunia kecil mereka sendiri.
Sejak dulu. Hingga kini.
Wonogiri, 29 Januari 2006