I Believe The Withe Magic
Oleh : Bambang Haryanto
Peter Withe menorehkan tanda tangan di kaosku.. Terjadi setahun lalu, di lobi Hotel Amara, Tanjong Pagar, Singapura. Inilah menit-menit menjelang kita bersama timnas Indonesia berkonvoi menuju National Stadium Singapura Kallang, untuk melakoni. pertandingan leg 2, Final Piala Tiger 2004/2005.
Di kaosku itu tertulis I Believe The Withe Magic. Aku percaya mukjijat yang bakal dilahirkan oleh seorang Peter Withe. Di bagian lain kaos, di dada, tertulis slogan Pasoepati Mission Possible Tiger Cup 2004/2005 Tour : Tame The Lions, Heal The Nation. Bendera Merah Putih dan simbol Garuda di lengan kanan dan kiriku.
Tim nasional Indonesia, impianku, akan mampu membekuk tim Singapura dan menjadi juara. Aku khayalkan, dampaknya pasti dahsyat untuk ikut bisa menyembuhkan luka bangsa, setelah Aceh di ujung 2005 dilanda bencana tsunami yang sangat luar biasa.
Suporter Bule Ikut Mendukung Indonesia. Tribun khusus suporter sepakbola di Stadion Kallang Singapura juga diwarnai dengan kehadiran beberapa suporter bule. Termasuk suporter cewek bule. Nampak saya berfoto dengan mereka. Sosok Peter Withe diperkirakan sebagai salah satu faktor munculnya dukungan mereka bagi timnas Indonesia. (Foto : Republik Aeng-Aeng, Solo).
Dasar suporter, segala upaya dilakukan untuk mendukung timnas. Sehari sebelum saya dan Mayor Haristanto, pendiri Pasoepati, nglurug untuk terbang menuju negeri bersih dan teratur ini, saya telah mengirimkan email ke Hotel Amara. Untuk disampaikan ke timnas Indonesia :
“The eagle has landed. Tim Garuda Indonesia telah mendarat di negeri para singa. Misi harus dituntaskan. Indonesia harus menjalankan misi yang masih mungkin, mission possible, menjadi juara Piala Tiger 2004. Semua rakyat dan bangsa Indonesia merindukannya.
Apalagi di tengah deraan bencana dahsyat yang mengguncang Aceh, membuat kita semua bangsa Indonesia berduka, bahkan juga dunia, maka pasukan Peter Withe diharapkan mampu memberikan kemenangan yang dapat menyejukkan hati bangsa yang sedang terluka ini. Ayo, Ponaryo dan kawan-kawan, jinakkan singa-singa itu dan sembuhkan luka bangsa kita !”
Impian kandas. Singa tak bisa dijinakkan di kandang mereka sendiri. Magisnya Peter Withe tidak mampu meredam Aedi Iskandar dan kawan-kawan. Di Hotel Amara malam itu tidak ada pesta. Lantai 7 tempat pemain menginap, yang pekat hanyalah suasana hambar. Ismed Sofyan yang mengeluarkan segala isi kulkasnya, sambil bernostalgia ketika ia masih main di Solo, tetapi semua omongan dan kudapan itu menguap begitu saja.
Mengapa sepakbola Indonesia kembali tak mampu bicara di Asia Tenggara ? Apa yang salah dari pengelolaan sepakbola di negeri berpenduduk ke empat terbesar di dunia ini ? Di SEA Games 2005 Manila, anak-anak asuhan Peter Withe kembali pulang juga dengan kegagalan.
Kegagalan ini, menurut Mas Ito, sebutan akrab Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (yang punya nomor HP cantik) dan guru besar psikologi UI, karena kecenderungan bangsa Indonesia yang overdosis mengaitkan segala hal dengan agama. Keberangkatan tim olahraga selalu diiringi doa-doa. Padahal, menurutnya, olahraga punya parameter sendiri : stopwatch, gol dan skor. Wacana eksotis untuk didiskusikan lebih lanjut.
Bagi saya, beruntun kegagalan timnas kita selalu mudah mengingatkan isi majalah Asiaweek (5/6/1998) yang terbit menjelang Piala Dunia 1998 di Perancis. Isinya lugas, menguliti hidup-hidup kekurangan, serta menyodok abis prestasi sepakbola Asia Tenggara dengan label sebagai buangan. Out of this world.
Khusus untuk citra persepakbolaan Indonesia, telah termuat foto besar aksi Rocky Putiray dengan rambut warna-warninya, tetapi disebut sebagai Peri Sandria. Tetapi yang lebih bikin merasa sangat ngenes, majalah itu menyimpulkan bahwa kedodorannya prestasi persepakbolaan Indonesia berpuluh tahun terakhir ini karena banyak pertandingan yang sudah diatur skornya.
Sinyalemen Asiaweek delapan tahun lalu itu ternyata belum juga terhapus di tahun 2006 ini.
Di tengah kecaman terhadap kerja amatiran personil PSSI dan Badan Liga Indonesia (BLI) yang mengakibatkan Arema Malang dan Persipura Jayapura tercoret dari keikutsertaannya dalam Liga Champions Asia, muncul juga lagu lama itu.
Mantan pemain dan pelatih tim nasional, Sinyo Aliandoe, seperti dikutip Kompas (27/2/2006 : 30), menyatakan bahwa keteledoran PSSI ini memperpanjang potret buram manajemen PSSI. Selain kasus tersebut, lanjut Sinyo, PSSI juga dilingkupi berbagai isu tak sedap, salah satunya seputar dugaan pengaturan skor pertandingan.
“Isu-isu itu bisa kita rasakan, oleh para pemain, manajer dan pelatih, sampai penonton. Tetapi memang sulit membuktikannya,” ujar Sinyo lagi.
Di kubangan lumpur kebejatan absolut, black magic yang mencederai nilai-nilai luhur olahraga itu, maka seorang Peter Withe, Rafael Benitez sampai Jose Mourinho, dijamin mandul walau mereka telah mengeluarkan segala magisnya. Magis Harry Potter pun pasti hanya jadi bahan tertawaan di Indonesia.
Dan kita, para suporter ini, apa hanya akan terus berbahagia menjadi kambing congek sekaligus bertingkah laku dengan gaya burung unta, membenamkan kepala dan akal sehat kita di dalam tanah, dengan nurani terus tumpul, karena tidak mau tahu dengan segala kebobrokan yang terjadi selama ini dalam pengelolaan sepakbola Indonesia ?
Wonogiri, 7 Maret 2006