Reuni Piala Tiger 2005 dan Pasoepati di Stadion Manahan (2)
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Sisi Gelap Sepakbola Kita. Selamat datang Nurdin Halid, di kursi nomor 1 organisasi PSSI. Untuk sekedar mengetahui posisi dan situasi sepakbola Indonesia di tengah dunia, kita dapat mengilas balik pendapat Peter Velappan, Sekretaris Jenderal AFC (Asian Football Confederation) :
“Indonesia adalah Brazil-nya Asia. Mereka bermain dengan kecerdasan dan bakat unik di antara bagian sepakbola dunia lainnya. Bakat-bakat pemain Indonesia itu lebih baik dibanding para pemain Korea atau Jepang, tetapi mereka atau pun organisasi sepakbola mereka tidak mampu membersihkan diri dari cengkeraman korupsi” (Sumber : Asiaweek, 5 Juni 1998 : hal. 49).
Kita sebagai suporter sepakbola Indonesia, ketika korupsi kini sedang digalakkan untuk diperangi di negeri ini, apakah kita mampu dan bersedia menjadi bagian dari perjuangan melawan merebaknya korupsi tersebut, juga di sepakbola Indonesia ? Selamat merenung, sahabat. Selamat menjalankan ibadah puasa.
Itulah artikel pendek yang saya tulis di blog ini, 9 November 2003, tepat tiga tahun lalu. Nama Nurdin Halid kembali masuk radar perhatian saya ketika di hari Senin, 6 November 2006 itu, saya membaca Koran Tempo. Saya baca-baca di lobi Hotel Agas Solo sambil menantikan para pemain timnas keluar dari kamar untuk makan siang. Petikan berita yang ditulis wartawan Kukuh S. Wibowo :
Suporter Persebaya Luncurkan Website
SURABAYA – Di tengah sorotan miring terhadap perilaku Bonekmania, julukan suporter Persebaya Surabaya, Yayasan Suporter Surabaya (YSS), meluncurkan website dengan nama http://www.bonek.org/, Sabtu pekan lalu. Peluncuran website suporter yang baru pertama kali kalinya di Indonesia diresmikan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid di rumah makan Taman Sari, yang bersamaan dengan acara halalbihalal Bonekmania.
Berita Koran Tempo yang banyak mengundang senyum. Banyak kontradiksi. Misalnya, dalam halaman yang sama diwartakan bahwa Ketua Umum Persebaya, Arif Affandi, menggagas pergantian nama, semula bonek menjadi Green Force. Tetapi lihat saja, nama situs web mereka. Mana ada konsistensinya ?
Kemudian, entah karena wartawan Koran Tempo itu cupet pengetahuannya, atau sobat-sobat bonek itu tidak tahu bahwa diri mereka tidak tahu, sehingga diwartakan bonek sebagai pemilik situs web suporter yang pertama kali di Indonesia. Saya bayangkan berita itu pasti hanya menjadi bahan olok-olokan warga komunitas suporter Indonesia lainnya.
Deklarator Hari Suporter Nasional 12 Juli 2000.Kantor Redaksi Tabloid Bola pernah menjadi saksi pertemuan antarkelompok suporter sepakbola di Indonesia. Mereka pun bersepakat menjadikan hari itu sebagai Hari Suporter Nasional, hari untuk menggalang persaudaraan, memupuk sportivitas dan cinta damai antar sesamanya. Sudahkah cita-cita mulia terwujud kini ? (Foto : Repro Bola).
Klaim tersebut memicu saya memutar ulang kejadian pada tanggal 12 Juli 2000. Enam tahun lalu. Di kantor Redaksi Tabloid Bola, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Hari itu saya mencetuskan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional yang disetujui oleh Aly, Arif Irawanto, Ayek, Choirul Anam, Hendyk Kheteck, Ined Arief, Lutfie, M. Noer W., Roji, Rus, Sampaiton, Yani dan Yanto (Aremania), Faisal Riza, Ferry Indrasjarief dan Sumardan (Jakmania), Adie, Agus Gigi Yulianto, Didit Prayudi, Fajar Toto, Panji Kartiko dan Ryan Adhianto (Pasoepati Jakarta), Bambang Haryanto dan Mayor Haristanto (Pasoepati Solo), dan Agus Rahmat, Eri Hendrian serta Leo Nandang Rukaran (Viking Jabotabek).
Di antara pertemuan yang riuh itu, karena Pasoepati memutar CD berisi rekaman aktivitas hebohnya selama ini, saya juga menghampiri komputer yang ada di meja resepsionis kantor Tabloid Bola. Saya ingin menunjukkan kepada kelompok rekan sesama suporter bahwa saat itu Pasoepati telah memiliki situs web, http://www.pasoepati.or.id, walau kini situs ini tidak aktif lagi. Tetapi saya yakin, bukan Pasoepati sebagai komunitas suporter yang pertama kali memiliki situs web di Internet. Agus Rahmat juga ingin menunjukkan situs web Persib Bandung, saat itu.
Sehingga klaim Wastomi Suhari, mantan tukang becak, pengusaha angkutan dan Ketua “abadi” YSS tentang situs webnya itu, pasti menjadi bahan tertawaan Agus Rahmat dari Viking Jabotabek, Rudi Permadi dkk dari Aremania, Feri Istanto dkk dari Slemania, sobat-sobat The Jaks, Kampak, Brajamusti, Paserbumi, sampai ViolaXtrim dan masih banyak lagi komunitas suporter yang jauh lebih dahulu bergulat mengolah dunia maya untuk berpromosi menggalang persaudaraan antarsuporter cinta damai di Indonesia.
Saat meninggalkan Hotel Agas, saya sempat mampir ke warnet. Antara lain untuk mengisi jajak pendapat di situs Tabloid Bola (http://www.bolanews.com/) tentang masa depan perilaku bonek Surabaya. Ada tiga pertanyaan, apakah mereka akan menjadi lebih santun, semakin brutal, atau tetap saja seperti selama ini. Saya ikut mengklik pilihan yang terakhir, dan setelah melihat hasilnya, memang pendapat ini pula yang dominan.
Kebrutalan bonek yang tidak pernah dewasa sebagai suporter sepakbola sebenarnya telah lama dikupas dalam buku berjudul buku Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997). Saya telah meresensinya di majalah Freekick, No.9/September 2006. Detil isi buku ini bisa kita bicarakan lain kali.
Apa pun yang terjadi di masa lalu, kita semua sebaiknya harus menghargai upaya sobat-sobat bonek untuk berubah. Siapa tahu melalui situs web tersebut mereka akan memperoleh umpan balik (“Internet adalah media interaktif, bukan ?”) dari komunitas suporter lainnya. Sehingga bonek mampu bercermin, mengakui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, lalu tergerak melakukan perubahan menuju perbaikan.
Tetapi yang membuat saya masih terheran : mengapa Ketua Umum PSSI Nurdin Halid begitu mengistimewakan bonek ? Bahkan memberikan harapan, nampak cenderung mengubah keputusan Komisi Banding PSSI, sehingga menguntungkan Persebaya ? Anda tentu memiliki pendapat tersendiri. Tetapi bagi saya fenomena itu mengingatkan saya akan pepatah yang berasal dari pertengahan abad 16 :
Birds of a feather flock together.
Jenis mencari jenis.
Mungkin itulah secercah gambaran betapa sepakbola kita, diakui atau tidak diakui, akan selalu dan selalu saja secara terang-terangan menampilkan sisi-sisi tergelapnya.
Membicarakan Proses Bersama Ibunda Pasoepati. Fenomena bonek di mata warga Pasoepati sebenarnya sempat pula menggoreskan kenangan manis. Memasuki kembali stadion Manahan, saya masih ingat peristiwa enam tahun lalu.
Sore itu puluhan warga Pasoepati bergairah berlatih koor dan koreografi, guna persiapan tour maut, bertajuk FROM SOLO WITH LOVE, mengawal tim Pelita Solo, melabrak Surabaya, 6 April 2000. Selain memakai bis, kendaraan pribadi, yang fenomenal adalah mencarter Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.
Mengalunlah kembali lirik lagu ”Laskare, laskare, Pasoepati” di kepala ini. Juga terngiang keberatan prematur rekan-rekan Pasoepati ketika kuajak untuk berlatih melagukan Song of Joy-nya Beethoven. Mereka menolak karena sudah “pusing” duluan mendengar nama komponis Jerman Ludwig van Beethoven (1770–1827), walau sebenarnya lagu itu mudah.
Beberapa saat kemudian lagu indah ini (juga disukai Gus Dur selain lagu Me and Bobby McGee-nya Janis Joplin) seolah menjadi lagu kebangsaan Pasoepati. Kami melagukannya jauh sebelum Red Devils, suporter timnas Korea Selatan, menyanyikannya saat Piala Dunia Korea-Jepang 2002.
Bunga Cinta Solo Untuk Surabaya. Ketika melakukan long march Stasiun Gubeng – Stadion 10 November di Tambaksari, Lintang Rembulan (saat itu SD, kini Wakil Ketua OSIS SMA St. Joseph Solo) dan Ayu Permata Pekerti (kini mahasiswi Arsitektur UNS), membagikan bunga plastik bersama kartu mungil berbentuk hati, berisi salam damai dan cinta Solo untuk Surabaya. Esoknya, Harian Surya (7/4/2000) memuat foto senapan otomatis salah satu personil Brimob Surabaya dihiasi untaian bunga cinta itu.
Salah satu yang menyaksikan latihan enam tahun lalu itu adalah Ibu Kris Pudjiatni. Ia seorang psikolog, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan aktivis. Di mata komunitas suporter Solo, beliau sosok yang didengar pendapatnya, sangat dihormati, berjulukan sebagai Ibunda Pasoepati. Tidak jarang, rumah beliau dijadikan sebagai ajang rembugan atau rekonsiliasi ketika terjadi perselisihan pendapat antarwarga Pasoepati. Kini beliau sebagai psikolog untuk tim Persis Solo.
Senin sore itu, saya kembali temui beliau. Sambil jalan keluar stadion. Bu Kris nampak lebih langsing dan tetap awet muda. Saya lapor ke Ibu Kris tentang apa yang saya obrolkan sebelumnya dengan Mas Soeharno, pelatih Persis Solo. Ah, lama sekali saya tidak bertemu Mas Harno. Barangkali sejak ia melatih PSS Sleman yang naik ke Divisi Utama 2001. Atau tanggal 26 Januari 2003, saat saya menonton Solo FC menjamu PSS Sleman ? Yang pasti, sejak tahun 2001 banyak kenangan manis terajut antara Pasoepati dengan Slemania.
Tanggal 6 Januari 2001 belasan pentolan Pasoepati diundang Slemania, bertempat di Rumah Dinas Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Kami jadi saksi pengukuhan pengurus PSS, juga Slemania yang digawangi Ir. Wahyu Wibowo dan kawan-kawan.
Ada momen agak lucu : saat ke Sleman kami kebetulan, bukan disengaja, menumpang Kijang bercat merah, sesuai warna kaos Pasoepati. Suatu hari Mas Wahyu dkk, main ke markas Pasoepati. Ia memakai Kijang bercat hijau, sesuai warna kostum PSS. Yang tidak pula terlupakan, dengan mengusung tema Red Planet Odyssey 2001 : I’d Like To Teach The World To Sing Pasoepati melakukan tur ke Stadion Tridadi, Sleman, 14 Januari 2001.
Mas Harno semula nampak tertegun ketika aku salami. Tetapi ketika memorinya jalan, lalu mengenali yang menyalami, ia segera tertawa hangat dan langsung curhat, terkait tim Persis Solo “gado-gado” yang sore itu baru saja dilumat 0-5 oleh Ponaryo Astaman dkk. Intinya, Mas Harno memintaku agar memahami kekalahan timnya sore itu. Jangan meminta tim itu segera cepat-cepat segera berprestasi bagus. “Ya, mas. Semua hal itu butuh proses dan proses. Aku berdoa untuk keberhasilan tugas Mas Harno,” kataku sambil pamit. Mas Harno segera terkepung oleh rekan-rekan wartawan Solo yang menggali pendapat darinya.
Proses. Pentingnya proses, dan bukan semata hasil akhir, menjadi bahan obrolan saya dengan Ibu Kris. Beliau menyetujui jalan pikiranku. Di sela-sela obrolan itu terdengar suara suporter Pasoepati yang terus menggerutu karena Persis Solo kalah telak sore itu.
Sugar Daddies di PSSI. Proses kini rupanya menjadi binatang langka dalam manajemen persepakbolaan di Indonesia. Utamanya ketika PSSI dipegang oleh tokoh-tokoh yang dikenal punya banyak uang : Nirwan D. Bakrie. Tentu saja juga Nurdin Halid, sosok kontroversial yang baru saja keluar dari penjara karena tersangkut kasus korupsi kelas kakap
Nirwan Bakrie adalah pengusung gagasan timnas U-23 untuk berlatih di Belanda. Ia rupanya tidak kapok mengulangi resep mengirim Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti dan Indrianto Nugroho dkk. berlatih sebagai tim Primavera di Italia. Terakhir terkuak belangnya, bahwa tim PSSI U-23 seusai mengikuti Asian Games di Doha, Qatar, akan dititipkan untuk mengikuti Liga Singapura dengan nama Pelita FC.
Pembentukan tim U-23 ini akhirnya tidak lain merupakan perwujudan ambisi pribadi Nirwan sebagai bos Pelita Jaya, untuk membentuk tim yang kuat dan instan, tetapi untuk meraihnya ia telah mencampur adukkan kuasa dan posisinya sebagai petinggi di PSSI.
Nirwan Bakrie adalah pemilik tim elit sepakbola Pelita Jaya. Ketika terjadi krismon 1998 dan banyak perusahaan kelompok Bakrie Brothers terpuruk, Pelita Jaya terancam terhenti pasokan finansial dari induknya. Salah satu jalan keluar yang mereka tempuh adalah dengan mem-bunglon-kan Pelita Jaya menjadi Pelita Solo, mencoba mencari uang di Solo.
Pentingnya proses juga hal yang kini nampak dicoba diingkari oleh Nurdin Halid. Baru-baru saja ia mengungkapkan niat untuk menaturalisasi, memindah kewarganegaraan, 7 pemain sepakbola muda asal Brasil, memecahnya untuk main di beberapa klub di tanah air, guna meraih tujuan agar Indonesia kelak mampu masuk final Piala Dunia 2014.
Langkah kedua petinggi PSSI tersebut merupakan perwujudan sikap mental suka menerabas, mental gemar ambil jalan pintas. Inilah personifikasi mental seseorang yang banyak uang, bos besar yang banyak uang, sugar daddies, walau kita tidak tahu dan tidak mampu meraba-raba atau menebak dari mana uang banyak itu bisa mereka peroleh.
Fenomena yang melecehkan pentingnya proses itu kini umum terjadi, meruyak di mana-mana, dalam banyak sektor kehidupan di Indonesia. Tidak aneh, negara kita termasuk peringkat tinggi sebagai negara yang korupsinya sudah menjadi budaya ! (Bersambung).
Penulis (kaos kuning) bersama FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph Solo yang sekolahnya mengadakan acara temu muka dengan Timnas Senior PSSI yang berlatih di Solo sebelum terjun dalam Turnamen BV Cup di Vietnam, dengan hasil tiga kali kalah. Foto diambil di Stadion Manahan Solo, 6 November 2006.
Wonogiri, 9-10 November 2006
si
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Sisi Gelap Sepakbola Kita. Selamat datang Nurdin Halid, di kursi nomor 1 organisasi PSSI. Untuk sekedar mengetahui posisi dan situasi sepakbola Indonesia di tengah dunia, kita dapat mengilas balik pendapat Peter Velappan, Sekretaris Jenderal AFC (Asian Football Confederation) :
“Indonesia adalah Brazil-nya Asia. Mereka bermain dengan kecerdasan dan bakat unik di antara bagian sepakbola dunia lainnya. Bakat-bakat pemain Indonesia itu lebih baik dibanding para pemain Korea atau Jepang, tetapi mereka atau pun organisasi sepakbola mereka tidak mampu membersihkan diri dari cengkeraman korupsi” (Sumber : Asiaweek, 5 Juni 1998 : hal. 49).
Kita sebagai suporter sepakbola Indonesia, ketika korupsi kini sedang digalakkan untuk diperangi di negeri ini, apakah kita mampu dan bersedia menjadi bagian dari perjuangan melawan merebaknya korupsi tersebut, juga di sepakbola Indonesia ? Selamat merenung, sahabat. Selamat menjalankan ibadah puasa.
Itulah artikel pendek yang saya tulis di blog ini, 9 November 2003, tepat tiga tahun lalu. Nama Nurdin Halid kembali masuk radar perhatian saya ketika di hari Senin, 6 November 2006 itu, saya membaca Koran Tempo. Saya baca-baca di lobi Hotel Agas Solo sambil menantikan para pemain timnas keluar dari kamar untuk makan siang. Petikan berita yang ditulis wartawan Kukuh S. Wibowo :
Suporter Persebaya Luncurkan Website
SURABAYA – Di tengah sorotan miring terhadap perilaku Bonekmania, julukan suporter Persebaya Surabaya, Yayasan Suporter Surabaya (YSS), meluncurkan website dengan nama http://www.bonek.org/, Sabtu pekan lalu. Peluncuran website suporter yang baru pertama kali kalinya di Indonesia diresmikan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid di rumah makan Taman Sari, yang bersamaan dengan acara halalbihalal Bonekmania.
Berita Koran Tempo yang banyak mengundang senyum. Banyak kontradiksi. Misalnya, dalam halaman yang sama diwartakan bahwa Ketua Umum Persebaya, Arif Affandi, menggagas pergantian nama, semula bonek menjadi Green Force. Tetapi lihat saja, nama situs web mereka. Mana ada konsistensinya ?
Kemudian, entah karena wartawan Koran Tempo itu cupet pengetahuannya, atau sobat-sobat bonek itu tidak tahu bahwa diri mereka tidak tahu, sehingga diwartakan bonek sebagai pemilik situs web suporter yang pertama kali di Indonesia. Saya bayangkan berita itu pasti hanya menjadi bahan olok-olokan warga komunitas suporter Indonesia lainnya.
Deklarator Hari Suporter Nasional 12 Juli 2000.Kantor Redaksi Tabloid Bola pernah menjadi saksi pertemuan antarkelompok suporter sepakbola di Indonesia. Mereka pun bersepakat menjadikan hari itu sebagai Hari Suporter Nasional, hari untuk menggalang persaudaraan, memupuk sportivitas dan cinta damai antar sesamanya. Sudahkah cita-cita mulia terwujud kini ? (Foto : Repro Bola).
Klaim tersebut memicu saya memutar ulang kejadian pada tanggal 12 Juli 2000. Enam tahun lalu. Di kantor Redaksi Tabloid Bola, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Hari itu saya mencetuskan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional yang disetujui oleh Aly, Arif Irawanto, Ayek, Choirul Anam, Hendyk Kheteck, Ined Arief, Lutfie, M. Noer W., Roji, Rus, Sampaiton, Yani dan Yanto (Aremania), Faisal Riza, Ferry Indrasjarief dan Sumardan (Jakmania), Adie, Agus Gigi Yulianto, Didit Prayudi, Fajar Toto, Panji Kartiko dan Ryan Adhianto (Pasoepati Jakarta), Bambang Haryanto dan Mayor Haristanto (Pasoepati Solo), dan Agus Rahmat, Eri Hendrian serta Leo Nandang Rukaran (Viking Jabotabek).
Di antara pertemuan yang riuh itu, karena Pasoepati memutar CD berisi rekaman aktivitas hebohnya selama ini, saya juga menghampiri komputer yang ada di meja resepsionis kantor Tabloid Bola. Saya ingin menunjukkan kepada kelompok rekan sesama suporter bahwa saat itu Pasoepati telah memiliki situs web, http://www.pasoepati.or.id, walau kini situs ini tidak aktif lagi. Tetapi saya yakin, bukan Pasoepati sebagai komunitas suporter yang pertama kali memiliki situs web di Internet. Agus Rahmat juga ingin menunjukkan situs web Persib Bandung, saat itu.
Sehingga klaim Wastomi Suhari, mantan tukang becak, pengusaha angkutan dan Ketua “abadi” YSS tentang situs webnya itu, pasti menjadi bahan tertawaan Agus Rahmat dari Viking Jabotabek, Rudi Permadi dkk dari Aremania, Feri Istanto dkk dari Slemania, sobat-sobat The Jaks, Kampak, Brajamusti, Paserbumi, sampai ViolaXtrim dan masih banyak lagi komunitas suporter yang jauh lebih dahulu bergulat mengolah dunia maya untuk berpromosi menggalang persaudaraan antarsuporter cinta damai di Indonesia.
Saat meninggalkan Hotel Agas, saya sempat mampir ke warnet. Antara lain untuk mengisi jajak pendapat di situs Tabloid Bola (http://www.bolanews.com/) tentang masa depan perilaku bonek Surabaya. Ada tiga pertanyaan, apakah mereka akan menjadi lebih santun, semakin brutal, atau tetap saja seperti selama ini. Saya ikut mengklik pilihan yang terakhir, dan setelah melihat hasilnya, memang pendapat ini pula yang dominan.
Kebrutalan bonek yang tidak pernah dewasa sebagai suporter sepakbola sebenarnya telah lama dikupas dalam buku berjudul buku Bonek : Berani Karena Bersama (Hipotesa, 1997). Saya telah meresensinya di majalah Freekick, No.9/September 2006. Detil isi buku ini bisa kita bicarakan lain kali.
Apa pun yang terjadi di masa lalu, kita semua sebaiknya harus menghargai upaya sobat-sobat bonek untuk berubah. Siapa tahu melalui situs web tersebut mereka akan memperoleh umpan balik (“Internet adalah media interaktif, bukan ?”) dari komunitas suporter lainnya. Sehingga bonek mampu bercermin, mengakui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, lalu tergerak melakukan perubahan menuju perbaikan.
Tetapi yang membuat saya masih terheran : mengapa Ketua Umum PSSI Nurdin Halid begitu mengistimewakan bonek ? Bahkan memberikan harapan, nampak cenderung mengubah keputusan Komisi Banding PSSI, sehingga menguntungkan Persebaya ? Anda tentu memiliki pendapat tersendiri. Tetapi bagi saya fenomena itu mengingatkan saya akan pepatah yang berasal dari pertengahan abad 16 :
Birds of a feather flock together.
Jenis mencari jenis.
Mungkin itulah secercah gambaran betapa sepakbola kita, diakui atau tidak diakui, akan selalu dan selalu saja secara terang-terangan menampilkan sisi-sisi tergelapnya.
Membicarakan Proses Bersama Ibunda Pasoepati. Fenomena bonek di mata warga Pasoepati sebenarnya sempat pula menggoreskan kenangan manis. Memasuki kembali stadion Manahan, saya masih ingat peristiwa enam tahun lalu.
Sore itu puluhan warga Pasoepati bergairah berlatih koor dan koreografi, guna persiapan tour maut, bertajuk FROM SOLO WITH LOVE, mengawal tim Pelita Solo, melabrak Surabaya, 6 April 2000. Selain memakai bis, kendaraan pribadi, yang fenomenal adalah mencarter Kereta Api Luar Biasa Pasoepati.
Mengalunlah kembali lirik lagu ”Laskare, laskare, Pasoepati” di kepala ini. Juga terngiang keberatan prematur rekan-rekan Pasoepati ketika kuajak untuk berlatih melagukan Song of Joy-nya Beethoven. Mereka menolak karena sudah “pusing” duluan mendengar nama komponis Jerman Ludwig van Beethoven (1770–1827), walau sebenarnya lagu itu mudah.
Beberapa saat kemudian lagu indah ini (juga disukai Gus Dur selain lagu Me and Bobby McGee-nya Janis Joplin) seolah menjadi lagu kebangsaan Pasoepati. Kami melagukannya jauh sebelum Red Devils, suporter timnas Korea Selatan, menyanyikannya saat Piala Dunia Korea-Jepang 2002.
Bunga Cinta Solo Untuk Surabaya. Ketika melakukan long march Stasiun Gubeng – Stadion 10 November di Tambaksari, Lintang Rembulan (saat itu SD, kini Wakil Ketua OSIS SMA St. Joseph Solo) dan Ayu Permata Pekerti (kini mahasiswi Arsitektur UNS), membagikan bunga plastik bersama kartu mungil berbentuk hati, berisi salam damai dan cinta Solo untuk Surabaya. Esoknya, Harian Surya (7/4/2000) memuat foto senapan otomatis salah satu personil Brimob Surabaya dihiasi untaian bunga cinta itu.
Salah satu yang menyaksikan latihan enam tahun lalu itu adalah Ibu Kris Pudjiatni. Ia seorang psikolog, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan aktivis. Di mata komunitas suporter Solo, beliau sosok yang didengar pendapatnya, sangat dihormati, berjulukan sebagai Ibunda Pasoepati. Tidak jarang, rumah beliau dijadikan sebagai ajang rembugan atau rekonsiliasi ketika terjadi perselisihan pendapat antarwarga Pasoepati. Kini beliau sebagai psikolog untuk tim Persis Solo.
Senin sore itu, saya kembali temui beliau. Sambil jalan keluar stadion. Bu Kris nampak lebih langsing dan tetap awet muda. Saya lapor ke Ibu Kris tentang apa yang saya obrolkan sebelumnya dengan Mas Soeharno, pelatih Persis Solo. Ah, lama sekali saya tidak bertemu Mas Harno. Barangkali sejak ia melatih PSS Sleman yang naik ke Divisi Utama 2001. Atau tanggal 26 Januari 2003, saat saya menonton Solo FC menjamu PSS Sleman ? Yang pasti, sejak tahun 2001 banyak kenangan manis terajut antara Pasoepati dengan Slemania.
Tanggal 6 Januari 2001 belasan pentolan Pasoepati diundang Slemania, bertempat di Rumah Dinas Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Kami jadi saksi pengukuhan pengurus PSS, juga Slemania yang digawangi Ir. Wahyu Wibowo dan kawan-kawan.
Ada momen agak lucu : saat ke Sleman kami kebetulan, bukan disengaja, menumpang Kijang bercat merah, sesuai warna kaos Pasoepati. Suatu hari Mas Wahyu dkk, main ke markas Pasoepati. Ia memakai Kijang bercat hijau, sesuai warna kostum PSS. Yang tidak pula terlupakan, dengan mengusung tema Red Planet Odyssey 2001 : I’d Like To Teach The World To Sing Pasoepati melakukan tur ke Stadion Tridadi, Sleman, 14 Januari 2001.
Mas Harno semula nampak tertegun ketika aku salami. Tetapi ketika memorinya jalan, lalu mengenali yang menyalami, ia segera tertawa hangat dan langsung curhat, terkait tim Persis Solo “gado-gado” yang sore itu baru saja dilumat 0-5 oleh Ponaryo Astaman dkk. Intinya, Mas Harno memintaku agar memahami kekalahan timnya sore itu. Jangan meminta tim itu segera cepat-cepat segera berprestasi bagus. “Ya, mas. Semua hal itu butuh proses dan proses. Aku berdoa untuk keberhasilan tugas Mas Harno,” kataku sambil pamit. Mas Harno segera terkepung oleh rekan-rekan wartawan Solo yang menggali pendapat darinya.
Proses. Pentingnya proses, dan bukan semata hasil akhir, menjadi bahan obrolan saya dengan Ibu Kris. Beliau menyetujui jalan pikiranku. Di sela-sela obrolan itu terdengar suara suporter Pasoepati yang terus menggerutu karena Persis Solo kalah telak sore itu.
Sugar Daddies di PSSI. Proses kini rupanya menjadi binatang langka dalam manajemen persepakbolaan di Indonesia. Utamanya ketika PSSI dipegang oleh tokoh-tokoh yang dikenal punya banyak uang : Nirwan D. Bakrie. Tentu saja juga Nurdin Halid, sosok kontroversial yang baru saja keluar dari penjara karena tersangkut kasus korupsi kelas kakap
Nirwan Bakrie adalah pengusung gagasan timnas U-23 untuk berlatih di Belanda. Ia rupanya tidak kapok mengulangi resep mengirim Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti dan Indrianto Nugroho dkk. berlatih sebagai tim Primavera di Italia. Terakhir terkuak belangnya, bahwa tim PSSI U-23 seusai mengikuti Asian Games di Doha, Qatar, akan dititipkan untuk mengikuti Liga Singapura dengan nama Pelita FC.
Pembentukan tim U-23 ini akhirnya tidak lain merupakan perwujudan ambisi pribadi Nirwan sebagai bos Pelita Jaya, untuk membentuk tim yang kuat dan instan, tetapi untuk meraihnya ia telah mencampur adukkan kuasa dan posisinya sebagai petinggi di PSSI.
Nirwan Bakrie adalah pemilik tim elit sepakbola Pelita Jaya. Ketika terjadi krismon 1998 dan banyak perusahaan kelompok Bakrie Brothers terpuruk, Pelita Jaya terancam terhenti pasokan finansial dari induknya. Salah satu jalan keluar yang mereka tempuh adalah dengan mem-bunglon-kan Pelita Jaya menjadi Pelita Solo, mencoba mencari uang di Solo.
Pentingnya proses juga hal yang kini nampak dicoba diingkari oleh Nurdin Halid. Baru-baru saja ia mengungkapkan niat untuk menaturalisasi, memindah kewarganegaraan, 7 pemain sepakbola muda asal Brasil, memecahnya untuk main di beberapa klub di tanah air, guna meraih tujuan agar Indonesia kelak mampu masuk final Piala Dunia 2014.
Langkah kedua petinggi PSSI tersebut merupakan perwujudan sikap mental suka menerabas, mental gemar ambil jalan pintas. Inilah personifikasi mental seseorang yang banyak uang, bos besar yang banyak uang, sugar daddies, walau kita tidak tahu dan tidak mampu meraba-raba atau menebak dari mana uang banyak itu bisa mereka peroleh.
Fenomena yang melecehkan pentingnya proses itu kini umum terjadi, meruyak di mana-mana, dalam banyak sektor kehidupan di Indonesia. Tidak aneh, negara kita termasuk peringkat tinggi sebagai negara yang korupsinya sudah menjadi budaya ! (Bersambung).
Penulis (kaos kuning) bersama FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA St. Joseph Solo yang sekolahnya mengadakan acara temu muka dengan Timnas Senior PSSI yang berlatih di Solo sebelum terjun dalam Turnamen BV Cup di Vietnam, dengan hasil tiga kali kalah. Foto diambil di Stadion Manahan Solo, 6 November 2006.
Wonogiri, 9-10 November 2006
si