Useful Idiot
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Vladimir Ilich Ulyanov Lenin (1870–1924) konon pencipta istilah useful idiot, orang dungu atau goblog yang berguna. Tokoh revolusi Uni Sovyet menggunakan istilah tersebut untuk menjuluki kalangan wartawan dan pelancong Barat yang mendukung Uni Sovyet dan juga kebijakan politiknya di dunia Barat.
Tetapi dalam jargon politik di masa Perang Dingin, useful idiot justru digunakan kalangan anti komunis untuk menggambarkan kalangan tertentu di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang menaruh simpati terhadap Uni Sovyet. Digambarkan bahwa pribadi bersangkutan merupakan sosok naif, bodoh, mudah dimanfaatkan, mudah dimanipulasi, baik oleh gerakan politik, kelompok teroris, pemerintah musuh, baik yang beraliran komunis atau pun bukan.
Apakah pribadi useful idiot itu juga hadir dalam budaya suporter sepakbola Indonesia ? Positif. Terutama bila kita mendata meledaknya kerusuhan demi kerusuhan tanpa henti di kalangan suporter sepakbola Indonesia. Tindak kekerasan merupakan cerminan pribadi yang bersumbu pendek, emosional, tidak rasional.
Apalagi menurut Aji Wibowo dalam skripsinya “Dinamika Kelompok Suporter Sepakbola : Studi Kelompok Suporter Brajamusti dan Slemania” (Sosiologi UGM, 2005) yang mengutip Gustave Le Bon, bahwa ketika seseorang berada di kerumunan maka nalar dan akal sehatnya berada di bawah rata-rata kondisi normal. Ketika berada di tengah kerumunan, dirinya mengalami de-inviduasi, menyusutnya kesadaran diri yang selanjutnya mengurangi kendali diri, sehingga sangat mudah dipengaruhi dan terpancing untuk bertindak di luar kemauannya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, mobilisasi dan komando seseorang akan sangat mudah diikuti massa.
Di luar lapangan sepakbola, kelompok suporter juga rawan untuk dimobilisasi. Dimanfaatkan sebagai kelompok penekan, sarana mobilisasi massa untuk Pemilu atau Pilkada, sampai menjadi mesin demo demi menjunjung tinggi UUD (ujung-ujungnya duit), guna meng-gol-kan interes bisnis atau politik pentolannya. Merujuk fenomena ini membuat kelompok suporter Arema Malang, Aremania, alergi terhadap semua bentuk-bentuk organisasi suporter.
Kekuatiran Aremania, memang beralasan. Tetapi perangai useful idiot, ibarat kerbau dicocok hidung itu, tetap saja marak dalam urusan seputar sepakbola kita. Kelompok suporter useful idiot semakin menarik bila dikaitkan dengan fenomena sepakbola “plat merah” di Indonesia yang terus ramai digugat. Tim-tim tersebut hanya mampu menyusu anggaran pemerintah, hidup-matinya pun berada di tangan dan minat sang birokrat. Tak ayal, silakan mendata berapa banyak pimpinan daerah yang menjadi ketua umumnya, sementara anak atau menantu menjadi manajer tim bersangkutan.
Praktek KKN yang nyata-nyata di depan mata itu, dengan segenap efek sampingnya, sayangnya justru jauh dari sorotan kritis kalangan suporter sepakbola. Mereka pantas disebut sebagai useful idiot, sosok-sosok naif yang mudah dimanfaatkan, ditutup mata dan daya kritisnya, begitu mudah dimanipulasi, sehingga tidak mampu kritis terhadap jalannya pengelolaan tim-tim yang mereka dukung.
Sekadar contoh : menjelang putaran Babak 8 Besar Liga Indonesia 2006, kelompok-kelompok suporter di pelbagai kota Jawa Tengah dimobilisasikan guna membentuk organisasi kekerabatan. Salah satu misinya adalah mendukung tim PSIS (Semarang), yang “wakil” Jawa Tengah, agar mampu meraih juara. Kemudian dipilihlah ketuanya, tidak lain adalah Yoyok Sukawi, anak walikota Semarang dan manajer PSIS Semarang.
Ilustrasi lain : kelompok suporter Pasoepati (Solo) terkesan ngambek, lesu darah mendukung tim kotanya sendiri gara-gara pentolannya tidak lagi dilibatkan sebagai panitia penyelenggara. Motif UUD lagi ?
Ada pula kelompok suporter terkenal lain yang justru menutup mata, tidak bersuara apa-apa karena kooptasi penguasa, ketika stadion kebanggaan tim yang didukungnya dihancurkan buldozer, menjadi puing, terhapus dari sejarah. Atau berhimpunnya kelompok-kelompok suporter nasional yang digalang dengan label jambore suporter nasional di mana secara halus mereka diajak bermitra oleh sponsor, tanpa mereka sadari, untuk “mensosialisasikan” budaya merokok di kalangan suporter sepak bola Indonesia.
Fenomena-fenomena aneh di atas mengingatkan saya filosofi The National Federation of Football Supporters' Clubs (NFFSC), organisasi independen kelompok suporter terbesar di Inggris yang didirikan 3 September 1927. Filosofi NFFSC adalah, suporter harus mampu membentuk organisasinya sendiri sebagai kelompok sukarela, independen dan demokratis, dengan satu-satunya interes adalah dukungan bagi keberhasilan tim yang mereka dukung dengan sepenuh hati.
Kapankah filosofi NFFSC tersebut mampu menggusur budaya useful idiot di kalangan suporter sepakbola Indonesia ? Anda punya komentar ? ***
Wonogiri, 29/8/2006
si
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Vladimir Ilich Ulyanov Lenin (1870–1924) konon pencipta istilah useful idiot, orang dungu atau goblog yang berguna. Tokoh revolusi Uni Sovyet menggunakan istilah tersebut untuk menjuluki kalangan wartawan dan pelancong Barat yang mendukung Uni Sovyet dan juga kebijakan politiknya di dunia Barat.
Tetapi dalam jargon politik di masa Perang Dingin, useful idiot justru digunakan kalangan anti komunis untuk menggambarkan kalangan tertentu di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang menaruh simpati terhadap Uni Sovyet. Digambarkan bahwa pribadi bersangkutan merupakan sosok naif, bodoh, mudah dimanfaatkan, mudah dimanipulasi, baik oleh gerakan politik, kelompok teroris, pemerintah musuh, baik yang beraliran komunis atau pun bukan.
Apakah pribadi useful idiot itu juga hadir dalam budaya suporter sepakbola Indonesia ? Positif. Terutama bila kita mendata meledaknya kerusuhan demi kerusuhan tanpa henti di kalangan suporter sepakbola Indonesia. Tindak kekerasan merupakan cerminan pribadi yang bersumbu pendek, emosional, tidak rasional.
Apalagi menurut Aji Wibowo dalam skripsinya “Dinamika Kelompok Suporter Sepakbola : Studi Kelompok Suporter Brajamusti dan Slemania” (Sosiologi UGM, 2005) yang mengutip Gustave Le Bon, bahwa ketika seseorang berada di kerumunan maka nalar dan akal sehatnya berada di bawah rata-rata kondisi normal. Ketika berada di tengah kerumunan, dirinya mengalami de-inviduasi, menyusutnya kesadaran diri yang selanjutnya mengurangi kendali diri, sehingga sangat mudah dipengaruhi dan terpancing untuk bertindak di luar kemauannya sendiri. Dalam kondisi seperti itu, mobilisasi dan komando seseorang akan sangat mudah diikuti massa.
Di luar lapangan sepakbola, kelompok suporter juga rawan untuk dimobilisasi. Dimanfaatkan sebagai kelompok penekan, sarana mobilisasi massa untuk Pemilu atau Pilkada, sampai menjadi mesin demo demi menjunjung tinggi UUD (ujung-ujungnya duit), guna meng-gol-kan interes bisnis atau politik pentolannya. Merujuk fenomena ini membuat kelompok suporter Arema Malang, Aremania, alergi terhadap semua bentuk-bentuk organisasi suporter.
Kekuatiran Aremania, memang beralasan. Tetapi perangai useful idiot, ibarat kerbau dicocok hidung itu, tetap saja marak dalam urusan seputar sepakbola kita. Kelompok suporter useful idiot semakin menarik bila dikaitkan dengan fenomena sepakbola “plat merah” di Indonesia yang terus ramai digugat. Tim-tim tersebut hanya mampu menyusu anggaran pemerintah, hidup-matinya pun berada di tangan dan minat sang birokrat. Tak ayal, silakan mendata berapa banyak pimpinan daerah yang menjadi ketua umumnya, sementara anak atau menantu menjadi manajer tim bersangkutan.
Praktek KKN yang nyata-nyata di depan mata itu, dengan segenap efek sampingnya, sayangnya justru jauh dari sorotan kritis kalangan suporter sepakbola. Mereka pantas disebut sebagai useful idiot, sosok-sosok naif yang mudah dimanfaatkan, ditutup mata dan daya kritisnya, begitu mudah dimanipulasi, sehingga tidak mampu kritis terhadap jalannya pengelolaan tim-tim yang mereka dukung.
Sekadar contoh : menjelang putaran Babak 8 Besar Liga Indonesia 2006, kelompok-kelompok suporter di pelbagai kota Jawa Tengah dimobilisasikan guna membentuk organisasi kekerabatan. Salah satu misinya adalah mendukung tim PSIS (Semarang), yang “wakil” Jawa Tengah, agar mampu meraih juara. Kemudian dipilihlah ketuanya, tidak lain adalah Yoyok Sukawi, anak walikota Semarang dan manajer PSIS Semarang.
Ilustrasi lain : kelompok suporter Pasoepati (Solo) terkesan ngambek, lesu darah mendukung tim kotanya sendiri gara-gara pentolannya tidak lagi dilibatkan sebagai panitia penyelenggara. Motif UUD lagi ?
Ada pula kelompok suporter terkenal lain yang justru menutup mata, tidak bersuara apa-apa karena kooptasi penguasa, ketika stadion kebanggaan tim yang didukungnya dihancurkan buldozer, menjadi puing, terhapus dari sejarah. Atau berhimpunnya kelompok-kelompok suporter nasional yang digalang dengan label jambore suporter nasional di mana secara halus mereka diajak bermitra oleh sponsor, tanpa mereka sadari, untuk “mensosialisasikan” budaya merokok di kalangan suporter sepak bola Indonesia.
Fenomena-fenomena aneh di atas mengingatkan saya filosofi The National Federation of Football Supporters' Clubs (NFFSC), organisasi independen kelompok suporter terbesar di Inggris yang didirikan 3 September 1927. Filosofi NFFSC adalah, suporter harus mampu membentuk organisasinya sendiri sebagai kelompok sukarela, independen dan demokratis, dengan satu-satunya interes adalah dukungan bagi keberhasilan tim yang mereka dukung dengan sepenuh hati.
Kapankah filosofi NFFSC tersebut mampu menggusur budaya useful idiot di kalangan suporter sepakbola Indonesia ? Anda punya komentar ? ***
Wonogiri, 29/8/2006
si