Kabar Baik : Sepakbola Indonesia Mati di Solo
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Cinta berpamrih. Sid Worley bunuh diri. Di kamar motel ia mengakhiri hidupnya yang masih muda itu dengan menggantung diri. Ia memakai ikat pinggang dari seragam taruna akademi militer angkatan laut yang ia ikuti untuk berlayar menuju alam baka dengan cara yang tragis.
Hidupnya ia rasakan hancur ketika pacarnya, Lynette, menolak untuk ia nikahi. Sebelumnya, Sid Worley memutuskan untuk drop out dari akademi karena ia merasa sebagai militer bukan pilihan hidupnya. Ia masuk karena dorongan (paksaan ?) untuk menyenangkan kakaknya. Lynette menolak cinta Sid karena ia bercita-cita menjadi istri penerbang angkatan laut. Ia ingin tinggal di luar negeri. Ia ingin menjadi istri seorang pilot.
Itulah potongan cerita yang mengiris dari film An Officer and a Gentleman (1982). Ketika layar televisi kita hiruk-pikuk dengan pemberitaan seputar SBY-Boediono merekrut para calon menterinya, sampai saat pengambilan sumpah, saya lebih tertarik untuk menonton kembali film ini di layar HBO (19-20/10/2009).
Kamis pagi hari (22/10/2009), saat ingin memperoleh informasi tentang siapa saja yang diumumkan SBY semalam sebagai menteri kabinetnya. Saya rada paranoid untuk mengetahui siapa Menkominfo dan perkiraan garis-garis besar pemikirannya mengenai Internet. Saya juga ingin tahu Menegpora kita. Sayang, pagi itu Radio BBB tidak memberikan rincian. Ketika siaran BBC usai, saya berlanjut mendengarkan radio Solopos FM. Acara Kopi Pagi, dipandu Yanto Martono.
Dari radio itu saya malah saya memperoleh informasi lain. Bahwa tim sepakbola asal Solo, Persis, memutuskan untuk tidak mengikuti Liga Indonesia 2009-2010. Ketiadaan biaya, sekitar 4-5 milyar, menjadi penyebabnya. Lalu muncul wawancara dengan Presiden Pasoepati, kelompok suporter Solo, Satrio Hadinegoro. Pimpinan kelompok suporter ini hanya menyatakan terkejut dan berkabung.
Beberapa hari sebelumnya dalam laporan khusus koran Suara Merdeka terkait krisis yang melanda Persis, Satrio Hadinagoro hanya mengatakan bahwa untuk ikut mengatasi problem Persis itu kini Pasoepati lagi berkonsolidasi. Bentuk konsolidasi yang ia maksud, bahwa saat ini Pasoepati lagi mempersiapkan pembuatan kartu tanda anggota untuk puluhan ribu anggotanya.
Kira-kira apa relevansi antara pembuatan KTA Pasoepati dengan krisis berat yang melilit Persis, hingga bahkan akhirnya membuat Persis itu “bunuh diri” ?
Tanda-tanda kematian. Bunuh dirinya tokoh Sid Worley dan “bunuh diri”-nya Persis Solo memang tak bisa persis disamakan. Tetapi dalam beberapa hal, ada kesamaan yang bisa ditarik dari keduanya. Misalnya, mereka mungkin sama-sama menjadi korban dari cinta bersyarat, cinta yang penuh pamrih.
Bahkan artis Agnes Monica terlibat pula dalam karut-marut sepakbola Solo ini. Tetapi Anda jangan dulu berpikiran yang macam-macam. Misalnya, apakah ia kini, seperti artis Nia Ramadhani, telah menjadi calon istri anak keluarga konglomerat yang gurita bisnisnya juga menyangkut sepakbola Indonesia ?
Keterlibatan Agnes Monica sebatas sebagai artis profesional. Pertengahan Januari 2009 ia berpentas di Solo, dalam perhelatan untuk menggalang dana bagi Persis Solo. Tak ada yang salah bagi diri Agnes Monica. Ikhtiar panitia itu juga bagus bagi masa depan Persis Solo.
Hanya saja bau tak sedap juga keras menguar dari acara penggalangan dana itu. Media massa Solo banyak memunculkan rasan-rasan, gunjingan, bahwa penjualan tiket untuk malam dana itu bersifat setengah paksaan. Harga satu meja untuk resepsi yang berilai 5 juta rupiah dijual dengan kebijakan top down, mentang-mentang ketua umum Persis itu sebagai wakil walikota Solo.
Akibatnya, pelbagai pejabat instansi pemerintahan di lingkungan Pemkot Solo merasa seperti ditodong untuk ikut serta. Pola-pola pemaksaan kehendak model Orde Baru muncul lagi. Kalau mereka tidak ikut serta, bayang-bayang hukuman dari birokrat atasan itu sudah berada di depan mata.
Selain gerundelan masyarakat sekitar paksaan untuk membeli tiket, malam dana itu juga berbau keras kampanye Pemilu. Di panggung malam itu telah terpajang nomor urut partai peserta pemilu, yang tidak lain merupakan partai yang mampu melambungkan wakil walikota Solo itu menempati kursinya yang sekarang.
Sepakbola Solo kini seolah hanya milik sebuah partai politik mayoritas. Ia bukan lagi dimiliki para pencinta sepakbola yang netral dari kungkungan platform politik tertentu. Sepakbola kemudian menjadi alat politik. Jelas saja, realitas pahit ini mudah mengingatkan ucapan politisi dan penulis esai Inggris, George Savile (1633–1695) bahwa partai politik tidak lain merupakan persekongkolan untuk melawan sisa warga bangsa lainnya.
Bumerang politik. Dalam konteks Persis Solo, di mana sepakbola kini telah ditarik masuk dalam wacana persekongkolan, maka mudah diperkirakan bahwa kelanjutan dunia sepakbola Solo itu seperti menanam bom waktu di masa depan. Kalau Nelson Mandela menyebutkan sepakbola sebagai sarana pemersatu umat manusia, maka di Solo telah berlaku sebaliknya. Sepakbola Solo justru menjadi picu pemecah belah warganya.
Bukan obrolan sepakbola. Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudiyatmo(kaos garis hitam dan putih), menyempatkan hadir di tengah para netter Solo, 12 Juli 2008. Nampak Dwi Haryanto, GM Telkom Solo (kiri) sedang menjelajahi situs Google Earth guna menemukan lokasi rumah Pak Rudy di daerah Pucangsawit. Berjas putih adalah Handoko, Ketua Apkomindo Surakarta. Penjelajahan situs Google Earth itu atas permintaan seorang blogger : Bambang Haryanto (kaos merah). Apakah Internet juga ia lirik sebagai bagian solusi untuk Persis Solo kelak ?
Ketika krisis tiba, ketika kekuasaan wakil walikota sebagai ketua Persis antara lain tidak mampu meloloskan adanya dana APBD untuk Persis, “kematiannya” tinggal menghitung hari. Hal tragis itu kini benar-benar terjjadi, dan kita bisa memperkirakan kemana arah tudingan masyarakat atas bencana olahraga satu ini !
“Kematian” Persis Solo tersebut berpeluang merambat ke ranah politik, utamanya terkait dengan makin hangatnya Solo menjelang pemilihan walikota tahun 2010 mendatang. Baik Persis Solo mau pun Pasoepati yang masing-masing dipimpin oleh tokoh dengan latar belakang dari PDIP, mau tidak mau harus mau mendirikan benteng kokoh guna menghadapi serangan atau pun tudingan sebagai biang kerok hancurnya tim sepakbola Solo di kota yang penduduknya getol terhadap olahraga rakyat satu ini.
Kelompok yang berseberangan dengan PDIP kini memperoleh amunisi baru menjelang pemilihan walikota 2010 itu. Apalagi kota yang tersohor sebagai kandang banteng bermoncong putih ini juga porak-poranda dan menelan kekalahan saat Pilpres 2009 yang baru lalu.
Solo, Mana Kreativitasmu ? Dari kacamata olahraga, “bunuh diri”-nya Persis itu, bagi saya, justru merupakan kabar baik. Realitas itu menunjukkan secara gamblang bahwa sepakbola kini tak bisa dikelola dengan jurus-jurus masa lalu. Misalnya, dengan mengandalkan pimpinan dari seorang birokrat dan operasionalnya ditopang dengan uang hasil nyadong atau menyerobot hasil akumulasi kerja dan keringat rakyat.
Para pemangku kepentingan dunia sepakbola Solo, hemat saya, kini tiba pada momen bersejarah untuk melakukan perombakan paradigma. Mereka harus melakukan dekonstruksi, baik ide, gagasan, sampai wawasan pemikiran guna membuang jurus-jurus lama, jurus-jurus usang, yang tidak lagi relevan di masa kini. Lalu mengeksplorasi formula-formula baru, sebagai fondasi untuk mampu bangkit lagi di masa depan.
Mengingat penyakit akut yang sama tidak hanya menghantui Persis Solo semata, masalah ini semoga juga menjadi PR bagi Menpora kita yang baru. Putra mantan bupati Grobogan ini yang sesekali menjadi kolumnis sepakbola ketika berlangsungnya Piala Dunia, Andi Alfian Mallarangeng, kita tunggu jurus-jurus barunya untuk mempersegar dunia olahraga kita. Termasuk harapan kita, dirinya mampu membersihkan PSSI dari “benalu,” yaitu bercokolnya tokoh yang pernah masuk penjara karena tindak korupsi, yang beratnya, justru sama-sama berasal dari daerah yang sama.
Akhir kata, seorang pesepakbola Perancis terkenal, David Ginola, pernah berujar bahwa "football is a matter of creativity and imagination." Sepakbola memang terkait erat dengan kreativitas dan imajinasi. Sayangnya, dan mungkin saja, ucapan pesepakbola yang pernah membela Tottenham Hotspur dan menjadi model ini tak pernah terdengar di kuping petinggi dunia sepakbola kita. Juga mereka yang mengurusi Persis Solo.
Ucapan David Ginola itu membekas di kepala saya sejak beberapa tahun lalu. Karena olah kreativitas dan olah imajinasi, seperti tercermin dalam isi blog ini, merupakan lahan menggairahkan yang saya cangkul dengan cinta, semampunya, dalam setiap tarikan nafas saya.
Kemudian, terkait semaputnya Persis Solo kini, para pengelolanya semoga mau bercermin dari fenomena gelegak olah daya kreativitas dan imajinasi yang terjadi di depan hidung mereka sendiri. Yaitu di balik gairah dan hiruk-pikuk penyelenggaraan Solo Batik Carnival (SBC) yang telah berlangsung dua kali itu. Kalau para petinggi Persis Solo itu cerdas, formula kebangkitannya dapat diunduh dari penyelenggaraan SBC tersebut.
Mampukah mereka ?
Kalau tidak mampu, mereka memang pantas melakukan “bunuh diri” itu. Dengan catatan, mungkin nasib tragisnya tersebut tidak akan mampu mengundang kejutan atau rasa sedih yang mendalam seperti meninggalnya tokoh Sid Worley dalam film indah tersebut.
Wonogiri, 23/10/2009
si
Labels: andi mallarangeng, bambang haryanto, blog, crowdsourcing, kreativitas, paradigma baru, pasoepati, persis solo, sepakbola indonesia, solo batik carnival