Anti Pensiun Bagi Suporter Sepakbola
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Sepakbola Bikin Awet Muda. Wartawan Mexico Miguel Angel Ramirez pada tahun 1988 mampu menguak rahasia bahwa sepakbola bisa membuat awet muda. Saat itu ia temukan beberapa pemain tim yunior nasional Meksiko ternyata ada yang berumur dua, tiga bahkan enam tahun melebihi batas umur yang ditentukan.
Mereka semua jadi awet muda karena dibasuh air mukjijat : pimpinan tim sengaja memalsukan tanda surat kelahiran mereka dan memalsukan pula data bagi paspor mereka. Bagi kita di Indonesia, cerita pemalsuan umur dalam sepakbola adalah sebuah déjà vu, karena bukankah pengalaman serupa juga sering terjadi di dunia sepakbola negeri ini yang pimpinan puncaknya kini masuk penjara karena kasus korupsi ?
Cerita tentang tim Meksiko yunior di atas itu saya kutip dari bukunya Eduardo Galeano, Football in Sun and Shadow (2003). Buku ini merupakan hadiah tak terduga dari Andibachtiar Yusuf, yang ia kirimkan melalui istrinya yang mahasiswi sekolah film London, Swastika, saat ketemuan tanggal 29 Maret 2006 di Sukoharjo.
Anda tahu bukan siapa Andibachtiar Yusuf (ABY) ? Sudahkah Anda menonton filmnya yang terbaru, The Conductor, yang antara lain mengangkat prestasi dan karisma Yuli Soempil, sang dirijen Aremania ke layar perak ? Setelah majalah gratis sepakbola Freekick yang ABY kelola bersama kawan-kawan (dan saya sering menulis untuknya) berpindah ke pemilik modal lain, saya rada jarang berkontak dengan dirinya.
Akhir-akhir ini, saya bisa kontak ABY lagi. Hal ini terjadi pascakematian Fathul Mulyadin, suporter Persija yang dikeroyok pendukung kesebelasan Persipura (6/2/08) di kawasan Senayan, di tengah berlangsungnya semi final Liga Indonesia 2007. Peristiwa itu memicu adrenalin wartawan tabloid BOLA, Sigit Nugroho, hingga menulis gagasan bahwa di Indonesia perlu didirikan yayasan seperti Yayasan Daniel Nivel (Daniel Nivel Foundation/DNF). DNF direncanakan berkiprah menggalang penelitian mengenai tindak kekerasan suporter sepakbola, aksi-aksi pencegahan dan pemidanaan sampai upaya menyantuni korban-korban tindakan brutal suporter sepakbola.
Yayasan itu diusahakan berdiri menyusul peristiwa menyedihkan yang terjadi saat Piala Dunia 1998 Perancis. Saat itu suporter brandal asal Jerman mengamuk dan Daniel Nivel menjadi korban. Nyawanya meregang di tepi jalan, koma dan bersimbah darah. Daniel Nivel adalah polisi Perancis yang dikeroyok suporter brandal asal Jerman tersebut. Nyawanya selamat, tetapi cacat seumur hidup, dan syukurlah pengeroyoknya telah dijebloskan dalam jeruji penjara.
Ide tentang DNF di Indonesia sudah saya wacanakan, antara lain dengan mengirim email ke Sigit Nugroho di awal pendirian Asosiasi supporter sepakbola Indonesia (ASSI), ketika seorang anak Jakarta asal Jatiwaringin tetapi suporter Semen Padang, Beri Mardias, tewas dikeroyok suporter Persija pada tanggal yang sulit dilupakan : 02-02-02. Saya sih setuju ketika Sigit Nugroho mengontak saya, dan konon juga ABY, untuk mencoba merealisasikan cita-cita mendirikan yayasan itu. Sebagai orang kampung yang tinggal di Wonogiri, yang bisa saya kerjakan kemudian memang hanya menunggu kelanjutannya. Sayang, sejak pertengahan Januari 2008 tak ada lanjutan kontak -kontak dari Jakarta lagi. Ide mulia tu mungkinkah kini justru telah mati ?
Blog Bicara Ke Dunia. Kontak-kontak di atas cukup menggembirakan. Terutama karena sejak tahun 2002 saya sudah menjauhkan diri dari aktivitas riuh-rendah sebagai suporter sepakbola. Walau pun menjauh, saya ingin terus menyumbangkan apa yang bisa saya perbuat, sebisanya, antara lain dengan mengelola blog satu ini.
Karena kita sebagai suporter mungkin seperti Sisyphus, tokoh mitos Yunani. Ia dihukum dewa agar mendorong batu besar ke puncak dan ketika sampai, harus menemui batu itu menggelincir ke bawah lagi. Kemudian ia harus kembali mendorong batu besar itu ke atas lagi. Begitulah seterusnya dan seterusnya lagi.
Jadinya, ah, niat untuk bersepi-sepi diri dari sepakbola memang tidak mudah. Karena sepakbola masih saja menghantui saya. Bulan Februari 2008 saya mendapat pemberitahuan dari Anung Handoko, pengarang buku baru, Sepakbola Tanpa Batas (2007). Kabarnya, ia dan termasuk teman-teman Slemania (Supriyoko, Daru Supriyono dll) ingin mengadakan diskusi tentang persepakbolaan dan persuporteran Indonesia, launching bukunya cuma numpang.
“Rencananya, diskusinya nanti di (kantor penerbit) Kanisius Jogja sekitar pertengahan Maret. Pengennya nanti yang jadi pembicara ada yang dari PSSI atau Menpora, terus yang dari tokoh suporter pengennya mas Bambang bisa hadir,” begitu tulisnya di email. Email itu saya balas dan saya menunggu kabar berikutnya. Sampai bulan April tiba, kabar itu tetap saja tidak saya terima.
Kontak lain saya terima dari Nacha, pengelola situs Pasoepati.net. Mungkin setelah ia menemukan blog saya ini, seperti ia tulis, ia ingin agar saya bisa menulis untuk situsnya tersebut. Sudah saya balas, kiranya saya sulit untuk memenuhi permintaan itu. Saya hanya bisa anjurkan agar ia dan kawan-kawan membina dan mengajak warga-warga Pasoepati baru untuk mengisi situsnya itu. Semoga anjuranku ini manjur adanya. Apalagi hal itu terkait dengan aktivitasku di bawah ini, ketika interaksi di luar komunitas sepakbola juga terjadi.
Gara-gara blog juga.
Adalah Lembaga Pers Mahasiswa Visi dari FISIP UNS pada tanggal 28 Februari 2008 telah mengundang saya untuk menjadi pemakalah dalam seminar nasional yang mereka adakan. Menurut Haris Firdaus dan Lia, yang panitia seminar tersebut, ia memilih saya untuk menjadi pemakalah gara-gara telah membaca-baca isi blog saya, Esai Epistoholica. Tema seminar langka itu adalah, “Jurnalisme warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” Makalah saya dapat Anda tengok dengan klik di sini dan laporan tentangnya dapat Anda klik di sini.
Persatuan JogloSemar. Dengan dipandu moderator Anissa (mahasiswa UNS) secara kebetulan ketiga pembicara merepresentasikan Joglosemar. (Ki-ka) Ana Nadhya Abrar (Yogyakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri/Solo) dan Aulia A. Muhammad (Semarang).
Dalam seminar itu antara lain saya mengajak audiens, yang sebagian besar mahasiswa, untuk menulis surat-surat pembaca dan mengelola blog. Sebab saat itu sempat saya tanyakan berapa di antara mereka yang sudah memiliki blog. Saya rada kaget, juga agak sedih, karena dari seratusan peserta hanya 1-2 saja yang menunjukkan jari. Oleh karena itu, didorong niat serupa, maka kembali tak bosan-bosannya saya utarakan keinginan saya di sini, kepada sesama pencinta sepakbola Indonesia, agar Anda-anda itu meluncurkan dan mengelola blog juga. Anda jangan hanya membaca blog belaka. Anda harus memilikinya pula.
Untuk mendorong kemajuan sepakbola Indonesia, Anda semua harus bicara. Harus bicara. Harus bicara. Jangan hanya berbicara antarteman sekampung atau sekota, tetapi berbicaralah kepada dunia. Cara murah dan mudah adalah dengan mengelola blog di Internet. Sampaikan uneg-uneg dan cita-cita Anda mengenai sepakbola Indonesia. Bercita-citalah yang tinggi, karena semakin tinggi akan semakin mudah untuk digapai. Percayalah.
Menggalang koneksi global. Penulis, komedian, aktor dan sutradara film pemenang Oscar, Woody Allen, pernah bilang bahwa “delapan puluh persen kunci sukses adalah dengan mejeng.” Dengan mejeng tersebut kita akan terlihat, visible, oleh orang lain. Yuli Soempil dari Aremania dapat menjadi bintang film dadakan, karena ia terlihat. Mengapa pula banyak pelawak yang kualitasnya pas-pasan tetapi selalu saja muncul di layar TV, karena mereka terlihat oleh para produser acara televisi. Karena para produser itu kebanyakan memang tidak mau capek-capek mencari talenta-talenta baru, dan itulah yang terjadi. Mereka juga cenderung tidak mau berpikir kreatif dalam menemukan formula-formula baru acaranya, dan itulah juga yang sering terjadi.
Bagi kita semua pencinta sepakbola yang tidak berambisi menjadi pesohor, niatan agar kita bisa selalu terlihat itu tak lain agar aspirasi-aspirasi kita dapat lebih bisa terdengar.Dengan mengelola blog Anda secara sepenuh hati, pelan dan pasti, Anda akan mampu meraih kredibilitas dan reputasi.
Paling tidak, dengan mengelola blog di Internet nama Anda akan jadi lebih mudah ditemukan oleh orang lain. Dari mana pun di dunia ini. Karena ada fasilitas Google, sang mesin pencari di Internet. Cobalah iseng-iseng masukkan nama Anda ke Google, aksi yang disebut sebagai, kalau tak salah, google ganger itu, dan adakah nama Anda muncul dari sana ? Kalau belum ada, atau ada nama yang sama tetapi dia bukan diri Anda, maka dapat disebut bahwa Anda tidak atau belum “eksis” di dunia ini.
Sekadar contoh: gara-gara blog sepakbola ini saya pernah dikontak agen pemain dari Uruguay. Mereka mengirimkan data pemain dari Amerika Latin yang berpeluang dipasarkan untuk menjadi bintang dalam percaturan Liga Indonesia. Contoh lainnya : saya memiliki blog berisi kabar tentang trah, leluhur, kakek-nenek saya. Namanya : Trah Martowirono.
Suatu saat, saya mendapatkan email berbahasa Belanda dari seseorang di New York, namanya Armand Martowirono. Ia bercerita, neneknya berasal dari Jawa, lalu pindah ke Suriname. Armand, setelah menemukan blog saya, berkontak dan ingin tahu apakah di antara kami ini masih ada hubungan keluarga. Ternyata, itu hanya kebetulan bahwa para leluhur kami memiliki nama yang sama.
Walau pun tidak bersaudara, ada rasa kaget dan kegembiraan tersendiri. Cerita belum berakhir, ketika malam-malam saya mendapatkan telepon. Dari seorang marinir Belanda. Kita ngobrol beberapa menit dengan bahasa Inggris. Ia cerita, kerabatnya banyak yang tinggal di Irlandia dan Bahama. Ada saudaranya, cewek yang mahasiswi perbankan, Sharona atau Dewi, baru saja memenangkan sebuah kontes kecantikan di Belanda. Ia ingin berkunjung ke Indonesia dan ingin ketemu pula. Sang marinir itu bernama : Erwin Martowirono. Itulah manfaat blog sebagai sarana untuk menggalang networking, atau koneksi.
Jadi Bintang di TV. Gara-gara koneksi pula, saya bisa bertemu dan berinteraksi dengan Dewi lainnya. Dewi Cahyaningrum. Ini warga Solo. Bulan September lalu, tepatnya 11 September 2007, saya mengantarkan Mayor “Pendiri Pasoepati” Haristanto yang didaulat menjadi bintang tamu acara TTC (Tenguk-Tenguk Crito/Duduk-Duduk Sambil Ngobrol) di TATV Solo. Setelah acara selesai, saya bertukar kartu nama dengan produser eksekutif acara itu, ya mBak Dewi tadi.
Agar pertemuan itu tidak segera terlupakan, beberapa hari kemudian saya kirimi dia email. Ngobrol sana-sini, sambil meledek apakah dress code awak televisi itu selalu pakaian hitam-hitam. Mengingatkan saya akan judul lagunya supergroup favorit di tahun70-an, Uriah Heep, yaitu “Lady in Black.” Lirik lagu ini pernah aku gunakan untuk memuji cewek cantik banget, Erika Michiko, yang juga awak sebuah rumah produksi untuk acara televisi, tahun 2005 yang lalu.
Awal Maret 2008, tak terduga, saya mendapat kontak dari Dewi Cahyaningrum lagi. Aku diundang untuk jadi tamu pada acara TTC tersebut. Tanggal 1 April 2008, aku memenuhi undangan untuk tampil dan mejeng di TATV. Aku bercerita mengenai seluk beluk komunitas yang aku dirikan, yaitu komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.
Trio Dewa-Beha-Esa. Acara TTC sore itu dipandu oleh Dewa (paling kiri) dan Esa. Keduanya telah mengeroyok saya dengan pertanyaan yang menggelitik. Dewa dan Esa (emailnya : dewasa_dewaesa@yahoo.com) adalah juga penyiar radio SAS Solo yang bersegmen kaum muda.
Hari Yang Cerah. Band tetap yang mengiringi acara TTC adalah Sunny Day dengan vokalis cewek yang menawan. Dalam kesempatan itu saya berseru kepada anak muda Solo agar selain ber-TTC, sebaiknya juga ber-TTN. Tenguk-Tenguk Nulis. Duduk-duduk bareng dan menulis, menghasilkan karya. Kepada Mino dkk. yang awak band Sunny Day itu juga saya imbau agar mereka mulai menciptakan lagu-lagunya sendiri dan mengelola blog untuk berinteraksi dengan fans mereka.
Hati Yang Kehilangan. Sebelum manggung, aku sebenarnya ingin berfoto bareng dengan mBak Dewi. Tapi aku berpikir, sudahlah, nanti saja bila acara selesai. Saat itu saya hanya merasa agak aneh, karena Dewi tidak mengenakan pakaian kebesarannya yang hitam-hitam itu. Yang bikin pangling lain, ia berkacamata. Tetap cantik. Tetapi lebih berwibawa. Ia malah mengenalkan awak lainnya, mBak Myu, sebagai pembantunya.
Ada tiga kejutan sore itu. Dalam segmen menjawab pertanyaan dari pemirsa melalui telepon, muncul nama Gondrong Maryadi Suryadharma. Ia terkenal di kalangan pencinta sepakbola Solo sebagai dirijen dan Menteri Kreatif Pasoepati. Ia teman saya ketika sama-sama merintis Pasoepati sejak tahun 2000. Mas Gondrong saat itu mengimbau agar saya bersedia kembali aktif di Pasoepati. Paling tidak, menulis untuk Pasoepati. Rupanya menjadi suporter sepakbola memang tidak boleh pensiun.
Padahal saya sudah tua, tahun ini umur saya 55 tahun. Hal ini diperkuat dengan kejutan kedua, datangnya SMS yang saya terima setelah acara berakhir. Dari adik saya Nuning, yang agak lama tidak pernah ketemu. Ia tinggal di Ngadirojo dan saya posnya di Wonogiri. Ia cerita, sempat menonton acara TATV itu di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Ia sedang mengantar cucu pertamanya, Nabila, yang gejalanya terkena sakit demam berdarah.
Ketika saya bezoek sore itu bersama Basnendar, adik saya yang kartunis, desainer logo dan kebetulan lagi libur dari kuliahnya di S-2 ITB, Nabila si gadis kecil dengan alis mata indah itu lagi tergolek tidur. Saya memotretnya beberapa kali. Semoga cepat sembuh, Nabila sayang.
Kejutan ketiga, pada lagu penutup acara TTC itu, Dewa dan Esa bernyanyi bersama-sama dengan seluruh band Sunny Day. Aksi mereka rupanya sebagai accolade atau penghargaan bagi cinta dan dedikasi awak TATV yang sejak hari itu tidak lagi bersama mereka, mengelola acara ini. Mereka sebutkan nama itu dengan dibalut kesedihan dan rasa kehilangan.
Dewi.
Saya terkaget. Firasat saya tadi ini buktinya. Lirik lagu saat itu terdengar menggemakan lirik pernyataan pedihnya rasa kehilangan dan betapa berharganya seseorang tercinta yang telah pergi. Di bawah benderangnya lampu saya mencoba mencari-cari sosok Dewi di antara awak yang bekerja saat itu, di tengah keremangan. Dewi sudah tidak nampak lagi di sana.
Senja pun mulai turun di Solo. “Thx berat mBak Dewi, akhirnya sy bs mejeng di TATV. Sy agk heran, kok ga pake hitam2 ? Duh, trnyta hr ini hr perpisahan buat mBak. Keep in touch ya ? Sukses selalu. ” (Selasa, 1 April 2008 : 17.22.50). Itulah SMS yang aku kirim kepada Dewi Cahyaningrum. Ia pun membalas :
“Slmt mlm bpk, iya sm2 pak maaf td tdk sempat pamitan nanti malah mengharubiru pak hehe…iya pak keep in touch sukses bt bpk. maturnuwun” (Selasa, 1 April 2008 : 18.32.04).
Niat atau cita-cita saya sore itu untuk berpotret dengan Dewi Cahyaningrum di TATV tidak kesampaian. Bahkan selamanya. Tetapi kebaikannya akan selalu terpateri di dalam hati. Terima kasih, mBak Dewi.
Wonogiri, 3/4/2008
si
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Sepakbola Bikin Awet Muda. Wartawan Mexico Miguel Angel Ramirez pada tahun 1988 mampu menguak rahasia bahwa sepakbola bisa membuat awet muda. Saat itu ia temukan beberapa pemain tim yunior nasional Meksiko ternyata ada yang berumur dua, tiga bahkan enam tahun melebihi batas umur yang ditentukan.
Mereka semua jadi awet muda karena dibasuh air mukjijat : pimpinan tim sengaja memalsukan tanda surat kelahiran mereka dan memalsukan pula data bagi paspor mereka. Bagi kita di Indonesia, cerita pemalsuan umur dalam sepakbola adalah sebuah déjà vu, karena bukankah pengalaman serupa juga sering terjadi di dunia sepakbola negeri ini yang pimpinan puncaknya kini masuk penjara karena kasus korupsi ?
Cerita tentang tim Meksiko yunior di atas itu saya kutip dari bukunya Eduardo Galeano, Football in Sun and Shadow (2003). Buku ini merupakan hadiah tak terduga dari Andibachtiar Yusuf, yang ia kirimkan melalui istrinya yang mahasiswi sekolah film London, Swastika, saat ketemuan tanggal 29 Maret 2006 di Sukoharjo.
Anda tahu bukan siapa Andibachtiar Yusuf (ABY) ? Sudahkah Anda menonton filmnya yang terbaru, The Conductor, yang antara lain mengangkat prestasi dan karisma Yuli Soempil, sang dirijen Aremania ke layar perak ? Setelah majalah gratis sepakbola Freekick yang ABY kelola bersama kawan-kawan (dan saya sering menulis untuknya) berpindah ke pemilik modal lain, saya rada jarang berkontak dengan dirinya.
Akhir-akhir ini, saya bisa kontak ABY lagi. Hal ini terjadi pascakematian Fathul Mulyadin, suporter Persija yang dikeroyok pendukung kesebelasan Persipura (6/2/08) di kawasan Senayan, di tengah berlangsungnya semi final Liga Indonesia 2007. Peristiwa itu memicu adrenalin wartawan tabloid BOLA, Sigit Nugroho, hingga menulis gagasan bahwa di Indonesia perlu didirikan yayasan seperti Yayasan Daniel Nivel (Daniel Nivel Foundation/DNF). DNF direncanakan berkiprah menggalang penelitian mengenai tindak kekerasan suporter sepakbola, aksi-aksi pencegahan dan pemidanaan sampai upaya menyantuni korban-korban tindakan brutal suporter sepakbola.
Yayasan itu diusahakan berdiri menyusul peristiwa menyedihkan yang terjadi saat Piala Dunia 1998 Perancis. Saat itu suporter brandal asal Jerman mengamuk dan Daniel Nivel menjadi korban. Nyawanya meregang di tepi jalan, koma dan bersimbah darah. Daniel Nivel adalah polisi Perancis yang dikeroyok suporter brandal asal Jerman tersebut. Nyawanya selamat, tetapi cacat seumur hidup, dan syukurlah pengeroyoknya telah dijebloskan dalam jeruji penjara.
Ide tentang DNF di Indonesia sudah saya wacanakan, antara lain dengan mengirim email ke Sigit Nugroho di awal pendirian Asosiasi supporter sepakbola Indonesia (ASSI), ketika seorang anak Jakarta asal Jatiwaringin tetapi suporter Semen Padang, Beri Mardias, tewas dikeroyok suporter Persija pada tanggal yang sulit dilupakan : 02-02-02. Saya sih setuju ketika Sigit Nugroho mengontak saya, dan konon juga ABY, untuk mencoba merealisasikan cita-cita mendirikan yayasan itu. Sebagai orang kampung yang tinggal di Wonogiri, yang bisa saya kerjakan kemudian memang hanya menunggu kelanjutannya. Sayang, sejak pertengahan Januari 2008 tak ada lanjutan kontak -kontak dari Jakarta lagi. Ide mulia tu mungkinkah kini justru telah mati ?
Blog Bicara Ke Dunia. Kontak-kontak di atas cukup menggembirakan. Terutama karena sejak tahun 2002 saya sudah menjauhkan diri dari aktivitas riuh-rendah sebagai suporter sepakbola. Walau pun menjauh, saya ingin terus menyumbangkan apa yang bisa saya perbuat, sebisanya, antara lain dengan mengelola blog satu ini.
Karena kita sebagai suporter mungkin seperti Sisyphus, tokoh mitos Yunani. Ia dihukum dewa agar mendorong batu besar ke puncak dan ketika sampai, harus menemui batu itu menggelincir ke bawah lagi. Kemudian ia harus kembali mendorong batu besar itu ke atas lagi. Begitulah seterusnya dan seterusnya lagi.
Jadinya, ah, niat untuk bersepi-sepi diri dari sepakbola memang tidak mudah. Karena sepakbola masih saja menghantui saya. Bulan Februari 2008 saya mendapat pemberitahuan dari Anung Handoko, pengarang buku baru, Sepakbola Tanpa Batas (2007). Kabarnya, ia dan termasuk teman-teman Slemania (Supriyoko, Daru Supriyono dll) ingin mengadakan diskusi tentang persepakbolaan dan persuporteran Indonesia, launching bukunya cuma numpang.
“Rencananya, diskusinya nanti di (kantor penerbit) Kanisius Jogja sekitar pertengahan Maret. Pengennya nanti yang jadi pembicara ada yang dari PSSI atau Menpora, terus yang dari tokoh suporter pengennya mas Bambang bisa hadir,” begitu tulisnya di email. Email itu saya balas dan saya menunggu kabar berikutnya. Sampai bulan April tiba, kabar itu tetap saja tidak saya terima.
Kontak lain saya terima dari Nacha, pengelola situs Pasoepati.net. Mungkin setelah ia menemukan blog saya ini, seperti ia tulis, ia ingin agar saya bisa menulis untuk situsnya tersebut. Sudah saya balas, kiranya saya sulit untuk memenuhi permintaan itu. Saya hanya bisa anjurkan agar ia dan kawan-kawan membina dan mengajak warga-warga Pasoepati baru untuk mengisi situsnya itu. Semoga anjuranku ini manjur adanya. Apalagi hal itu terkait dengan aktivitasku di bawah ini, ketika interaksi di luar komunitas sepakbola juga terjadi.
Gara-gara blog juga.
Adalah Lembaga Pers Mahasiswa Visi dari FISIP UNS pada tanggal 28 Februari 2008 telah mengundang saya untuk menjadi pemakalah dalam seminar nasional yang mereka adakan. Menurut Haris Firdaus dan Lia, yang panitia seminar tersebut, ia memilih saya untuk menjadi pemakalah gara-gara telah membaca-baca isi blog saya, Esai Epistoholica. Tema seminar langka itu adalah, “Jurnalisme warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” Makalah saya dapat Anda tengok dengan klik di sini dan laporan tentangnya dapat Anda klik di sini.
Persatuan JogloSemar. Dengan dipandu moderator Anissa (mahasiswa UNS) secara kebetulan ketiga pembicara merepresentasikan Joglosemar. (Ki-ka) Ana Nadhya Abrar (Yogyakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri/Solo) dan Aulia A. Muhammad (Semarang).
Dalam seminar itu antara lain saya mengajak audiens, yang sebagian besar mahasiswa, untuk menulis surat-surat pembaca dan mengelola blog. Sebab saat itu sempat saya tanyakan berapa di antara mereka yang sudah memiliki blog. Saya rada kaget, juga agak sedih, karena dari seratusan peserta hanya 1-2 saja yang menunjukkan jari. Oleh karena itu, didorong niat serupa, maka kembali tak bosan-bosannya saya utarakan keinginan saya di sini, kepada sesama pencinta sepakbola Indonesia, agar Anda-anda itu meluncurkan dan mengelola blog juga. Anda jangan hanya membaca blog belaka. Anda harus memilikinya pula.
Untuk mendorong kemajuan sepakbola Indonesia, Anda semua harus bicara. Harus bicara. Harus bicara. Jangan hanya berbicara antarteman sekampung atau sekota, tetapi berbicaralah kepada dunia. Cara murah dan mudah adalah dengan mengelola blog di Internet. Sampaikan uneg-uneg dan cita-cita Anda mengenai sepakbola Indonesia. Bercita-citalah yang tinggi, karena semakin tinggi akan semakin mudah untuk digapai. Percayalah.
Menggalang koneksi global. Penulis, komedian, aktor dan sutradara film pemenang Oscar, Woody Allen, pernah bilang bahwa “delapan puluh persen kunci sukses adalah dengan mejeng.” Dengan mejeng tersebut kita akan terlihat, visible, oleh orang lain. Yuli Soempil dari Aremania dapat menjadi bintang film dadakan, karena ia terlihat. Mengapa pula banyak pelawak yang kualitasnya pas-pasan tetapi selalu saja muncul di layar TV, karena mereka terlihat oleh para produser acara televisi. Karena para produser itu kebanyakan memang tidak mau capek-capek mencari talenta-talenta baru, dan itulah yang terjadi. Mereka juga cenderung tidak mau berpikir kreatif dalam menemukan formula-formula baru acaranya, dan itulah juga yang sering terjadi.
Bagi kita semua pencinta sepakbola yang tidak berambisi menjadi pesohor, niatan agar kita bisa selalu terlihat itu tak lain agar aspirasi-aspirasi kita dapat lebih bisa terdengar.Dengan mengelola blog Anda secara sepenuh hati, pelan dan pasti, Anda akan mampu meraih kredibilitas dan reputasi.
Paling tidak, dengan mengelola blog di Internet nama Anda akan jadi lebih mudah ditemukan oleh orang lain. Dari mana pun di dunia ini. Karena ada fasilitas Google, sang mesin pencari di Internet. Cobalah iseng-iseng masukkan nama Anda ke Google, aksi yang disebut sebagai, kalau tak salah, google ganger itu, dan adakah nama Anda muncul dari sana ? Kalau belum ada, atau ada nama yang sama tetapi dia bukan diri Anda, maka dapat disebut bahwa Anda tidak atau belum “eksis” di dunia ini.
Sekadar contoh: gara-gara blog sepakbola ini saya pernah dikontak agen pemain dari Uruguay. Mereka mengirimkan data pemain dari Amerika Latin yang berpeluang dipasarkan untuk menjadi bintang dalam percaturan Liga Indonesia. Contoh lainnya : saya memiliki blog berisi kabar tentang trah, leluhur, kakek-nenek saya. Namanya : Trah Martowirono.
Suatu saat, saya mendapatkan email berbahasa Belanda dari seseorang di New York, namanya Armand Martowirono. Ia bercerita, neneknya berasal dari Jawa, lalu pindah ke Suriname. Armand, setelah menemukan blog saya, berkontak dan ingin tahu apakah di antara kami ini masih ada hubungan keluarga. Ternyata, itu hanya kebetulan bahwa para leluhur kami memiliki nama yang sama.
Walau pun tidak bersaudara, ada rasa kaget dan kegembiraan tersendiri. Cerita belum berakhir, ketika malam-malam saya mendapatkan telepon. Dari seorang marinir Belanda. Kita ngobrol beberapa menit dengan bahasa Inggris. Ia cerita, kerabatnya banyak yang tinggal di Irlandia dan Bahama. Ada saudaranya, cewek yang mahasiswi perbankan, Sharona atau Dewi, baru saja memenangkan sebuah kontes kecantikan di Belanda. Ia ingin berkunjung ke Indonesia dan ingin ketemu pula. Sang marinir itu bernama : Erwin Martowirono. Itulah manfaat blog sebagai sarana untuk menggalang networking, atau koneksi.
Jadi Bintang di TV. Gara-gara koneksi pula, saya bisa bertemu dan berinteraksi dengan Dewi lainnya. Dewi Cahyaningrum. Ini warga Solo. Bulan September lalu, tepatnya 11 September 2007, saya mengantarkan Mayor “Pendiri Pasoepati” Haristanto yang didaulat menjadi bintang tamu acara TTC (Tenguk-Tenguk Crito/Duduk-Duduk Sambil Ngobrol) di TATV Solo. Setelah acara selesai, saya bertukar kartu nama dengan produser eksekutif acara itu, ya mBak Dewi tadi.
Agar pertemuan itu tidak segera terlupakan, beberapa hari kemudian saya kirimi dia email. Ngobrol sana-sini, sambil meledek apakah dress code awak televisi itu selalu pakaian hitam-hitam. Mengingatkan saya akan judul lagunya supergroup favorit di tahun70-an, Uriah Heep, yaitu “Lady in Black.” Lirik lagu ini pernah aku gunakan untuk memuji cewek cantik banget, Erika Michiko, yang juga awak sebuah rumah produksi untuk acara televisi, tahun 2005 yang lalu.
Awal Maret 2008, tak terduga, saya mendapat kontak dari Dewi Cahyaningrum lagi. Aku diundang untuk jadi tamu pada acara TTC tersebut. Tanggal 1 April 2008, aku memenuhi undangan untuk tampil dan mejeng di TATV. Aku bercerita mengenai seluk beluk komunitas yang aku dirikan, yaitu komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia.
Trio Dewa-Beha-Esa. Acara TTC sore itu dipandu oleh Dewa (paling kiri) dan Esa. Keduanya telah mengeroyok saya dengan pertanyaan yang menggelitik. Dewa dan Esa (emailnya : dewasa_dewaesa@yahoo.com) adalah juga penyiar radio SAS Solo yang bersegmen kaum muda.
Hari Yang Cerah. Band tetap yang mengiringi acara TTC adalah Sunny Day dengan vokalis cewek yang menawan. Dalam kesempatan itu saya berseru kepada anak muda Solo agar selain ber-TTC, sebaiknya juga ber-TTN. Tenguk-Tenguk Nulis. Duduk-duduk bareng dan menulis, menghasilkan karya. Kepada Mino dkk. yang awak band Sunny Day itu juga saya imbau agar mereka mulai menciptakan lagu-lagunya sendiri dan mengelola blog untuk berinteraksi dengan fans mereka.
Hati Yang Kehilangan. Sebelum manggung, aku sebenarnya ingin berfoto bareng dengan mBak Dewi. Tapi aku berpikir, sudahlah, nanti saja bila acara selesai. Saat itu saya hanya merasa agak aneh, karena Dewi tidak mengenakan pakaian kebesarannya yang hitam-hitam itu. Yang bikin pangling lain, ia berkacamata. Tetap cantik. Tetapi lebih berwibawa. Ia malah mengenalkan awak lainnya, mBak Myu, sebagai pembantunya.
Ada tiga kejutan sore itu. Dalam segmen menjawab pertanyaan dari pemirsa melalui telepon, muncul nama Gondrong Maryadi Suryadharma. Ia terkenal di kalangan pencinta sepakbola Solo sebagai dirijen dan Menteri Kreatif Pasoepati. Ia teman saya ketika sama-sama merintis Pasoepati sejak tahun 2000. Mas Gondrong saat itu mengimbau agar saya bersedia kembali aktif di Pasoepati. Paling tidak, menulis untuk Pasoepati. Rupanya menjadi suporter sepakbola memang tidak boleh pensiun.
Padahal saya sudah tua, tahun ini umur saya 55 tahun. Hal ini diperkuat dengan kejutan kedua, datangnya SMS yang saya terima setelah acara berakhir. Dari adik saya Nuning, yang agak lama tidak pernah ketemu. Ia tinggal di Ngadirojo dan saya posnya di Wonogiri. Ia cerita, sempat menonton acara TATV itu di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Ia sedang mengantar cucu pertamanya, Nabila, yang gejalanya terkena sakit demam berdarah.
Ketika saya bezoek sore itu bersama Basnendar, adik saya yang kartunis, desainer logo dan kebetulan lagi libur dari kuliahnya di S-2 ITB, Nabila si gadis kecil dengan alis mata indah itu lagi tergolek tidur. Saya memotretnya beberapa kali. Semoga cepat sembuh, Nabila sayang.
Kejutan ketiga, pada lagu penutup acara TTC itu, Dewa dan Esa bernyanyi bersama-sama dengan seluruh band Sunny Day. Aksi mereka rupanya sebagai accolade atau penghargaan bagi cinta dan dedikasi awak TATV yang sejak hari itu tidak lagi bersama mereka, mengelola acara ini. Mereka sebutkan nama itu dengan dibalut kesedihan dan rasa kehilangan.
Dewi.
Saya terkaget. Firasat saya tadi ini buktinya. Lirik lagu saat itu terdengar menggemakan lirik pernyataan pedihnya rasa kehilangan dan betapa berharganya seseorang tercinta yang telah pergi. Di bawah benderangnya lampu saya mencoba mencari-cari sosok Dewi di antara awak yang bekerja saat itu, di tengah keremangan. Dewi sudah tidak nampak lagi di sana.
Senja pun mulai turun di Solo. “Thx berat mBak Dewi, akhirnya sy bs mejeng di TATV. Sy agk heran, kok ga pake hitam2 ? Duh, trnyta hr ini hr perpisahan buat mBak. Keep in touch ya ? Sukses selalu. ” (Selasa, 1 April 2008 : 17.22.50). Itulah SMS yang aku kirim kepada Dewi Cahyaningrum. Ia pun membalas :
“Slmt mlm bpk, iya sm2 pak maaf td tdk sempat pamitan nanti malah mengharubiru pak hehe…iya pak keep in touch sukses bt bpk. maturnuwun” (Selasa, 1 April 2008 : 18.32.04).
Niat atau cita-cita saya sore itu untuk berpotret dengan Dewi Cahyaningrum di TATV tidak kesampaian. Bahkan selamanya. Tetapi kebaikannya akan selalu terpateri di dalam hati. Terima kasih, mBak Dewi.
Wonogiri, 3/4/2008
si
Labels: bangkrutnya sepakbola indonesia, pasoepati, tatv