Orgasme Palsu Sepakbola Kita
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Anda Percaya Siapa ? Nurdin Halid masih bisa jumawa. Menyusul tersingkirnya tim nasional kita dan gagal masuk perempat final Piala Asia 2007, bos PSSI yang pernah memasuki “pelatnas jangka panjang” di balik jejruji besi, masih mampu berkoar-koar. Saya mengupingnya dari BBC Siaran Indonesia, ia bilang, “kita kecewa karena tim kita tidak lolos, tetapi saya bangga karena permainan Ponaryo Astaman dan kawan-kawan sudah setara dengan tim-tim kelas dunia.”
Sementara itu, di media yang sama, pelatih Benny Dolo menyebutkan bahwa timnas kita masih berada dua tingkat di bawah tim-tim Jepang dan Korea yang ia sebut sudah memiliki kompetisi yang menghasilkan kualitas pemain sedikit di bawah kelas Eropa. Kini, Anda silakan memilih : setuju dengan pendapat Nurdin Halid atau pendapatnya Benny Dolo ?
Setuju atau tidak setuju, tetapi bangsa yang memiliki penduduk 200 juta lebih dan talenta pemain-pemain sepakbolanya yang oleh mantan Sekjen AFC Peter Velappan disebut sebagai “Brazilnya Asia,” kini hanya terpuruk menjadi penonton perhelatan sepakbola Asia di depan hidungnya sendiri itu.
Tanggal 29 Juli 2007 Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan hanya mampu menjadi saksi bisu kejayaan Iraq, negara kecil yang dewasa ini tercabik-cabik perang sektarian, atau kegemilangan tim Arab Saudi sebagai kampiun bola Asia. Apa yang salah dengan diri kita, bangsa Indonesia kita ?
Berburu Orgasme Palsu ! “Ini Kandang Kita !” Itulah tagline atau slogan dalam billboard raksasa dari Nike yang dipasang di depan pintu barat Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Gambarnya Ponaryo Astaman yang diibaratkan sebagai Kresna, ahli taktik, pengatur serangan. Gambar lain adalah Bambang Pamungkas yang dalam timnas dianalogikan sebagai Arjuna, jago panah, tukang gedor pertahanan lawan, dari dunia pewayangan.
Totot Indrarto, Strategic Planning Director Satucitra, blogger, juga kritikus film, dalam tulisannya di majalah AdDiction (7/2007) berjudul “Kapan Terakhir Merasa Bangga Jadi Orang Indonesia ?” (foto di atas saya ambil dari ilustrasi artikelnya itu) memuji pembuatan iklan tersebut, yang ia sebut memiliki pemahaman bahwa dalam sepakbola bermain di kandang sendiri artinya sudah 50 persen menang. Dukungan penonton di stadion, sering dianggap sebagai pemain ke-12.
Di sisi lain, menurutnya lagi, pembuat iklan itu juga tahu betul betapa sepakbola sudah jadi agama baru sebagian besar laki-laki di atas bumi. Dalam agama itu, fanatisme penganutnya sangat mudah dibakar cukup dengan sebuah harapan yang paling tidak masuk akal sekali pun : tim kecintaannya berpeluang mengalahkan tim berkelas dunia yang jauh lebih hebat. Kemudian dalam konteks kebangsaan, fanatisme itu identik dengan nasionalisme.
“Anda yang sudah tidak percaya lagi dengan nasionalisme sebaiknya datang ke Stadion Utama, berbaur dengan puluhan ribu penonton, sebagian adalah kelas menengah Jakarta yang selama ini cuma mau menonton sepakbola di televisi. Seketika Anda bakal merasakan, orang-orang itu datang bukan cuma untuk sepakbola. Orang-orang itu berkumpul dan mendukung tim yang sama dengan alasan yang mungkin absurd : karena merasa sama-sama orang Indonesia. Jika timnas menang, atau kalah secara terhormat, sebuah perasaan aneh dan asing bakal tiba-tiba menyelinap di dada : perasaan bangga menjadi orang Indonesia !,” tulis Totot Indrarto.
Terima kasih, Pakde.
“Pakde” ini adalah nama sapaan akrab Totot. Pelukisannya di atas memang tidaklah berkelebihan. Saya memiliki beberapa pita rekaman suara saat saya beberapa kali berada di tengah gemuruhnya lagu Indonesia Raya mengumandang di Senayan. Juga saat air mata saya panas dan merebak ketika melagukan lagu yang sama di tengah ratusan suporter Indonesia, sementara kita terkepung oleh lautan 55 ribu suporter tuan rumah, di tribun Timur Laut, Kallang Stadium, Singapura, 16/1/2005 (foto).
Perasaan aneh dan asing semacam itu barangkali yang membuat peneliti seks dan feminis Shere Hite yang terkenal dengan bukunya The Hite Report: A Nationwide Study of Female Sexuality (1976) bilang bahwa “football can be categorised as a type three masturbatory technique." Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi tipe ketiga. Barangkali karena teknik ketiga itu dilakukan secara beramai-ramai, entah atas nama fanatisme, agama baru, atau pun bahkan nasionalisme.
Tetapi di ajang Piala Asia 2007 itu, toh orgasme puncak sebenarnya tidak kita peroleh. Yang ada hanyalah fake orgasm di mana para petinggi PSSI kita, termasuk Nurdin Halid, piawai untuk menghadirkan atau menggembar-gemborkan hal satu ini. Ucapannya di awal tulisan ini merupakan cerminan yang nyata. Dan mungkin sebagian besar kita, yaitu para suporter sepakbola Indonesia, sudah cukup puas dengan gembar-gembor mengenai orgasme palsu itu. Selama ini !
Bagi kita, pesta sepakbola Piala Asia 2007 praktis telah usai. Kita pun nampaknya akan segera hanya memburu sensasi-sensasi orgasme palsu itu dari ritus dunia sepakbola kita berikutnya. Mengapa nampaknya kita hanya puas menguber-uber hal-hal yang melulu palsu, selama ini ?
Di Solo, menjelang Piala Asia 2007, dilangsungkan acara dialog interaktif bertopik potret sepakbola Indonesia masalah dan solusinya. Diadakan oleh Sumaryoto, tokoh sepakbola nasional, politisi, juga pengusaha angkutan bus dari Wonogiri. “Pemain dan pelatih hebat bukan kunci keberhasilan,” demikian judul berita dari harian Suara Merdeka (9/7/2007) tentang acara tersebut.
Salah satu pembicaranya adalah M. Nigara, anggota Komite Disiplin PSSI. Katanya, “Andai Indonesia punya pemain dan pelatih hebat, program kerja organisasi juga bagus, prestasi belum tentu didapat. Kunci bagi dicapainya hasil menggembirakan PSSI adalah hati yang bersih. Soal hati bersih bukan melulu menyangkut pengurus PSSI, tetapi juga semua praktisi dan pembina sepakbola di Indonesia.”
Menurutnya, peluang masih terbuka. Katanya, Rinus Michel saat ditunjuk FIFA melakukan survey di dunia ketiga tahun 1989, berkesimpulan bakat anak Indonesia sesungguhnya satu tingkat di atas anak-anak Jerman. “Itu jelas modal utama kita. Hanya saat ini yang terjadi banyak pemimpin yang maunya menang, jika perlu melakukan hal illegal. Padahal cara itu telah menutup jalan bagi perkembangan sepakbola,” simpul M. Nigara.
Saya senyum-senyum kecut membaca penuturan orang dalam PSSI itu. Seharusnya ia menulis buku tentang maraknya beragam praktek hati yang tidak bersih di tubuh sepakbola Indonesia itu. Seharusnya ia dan kawan-kawannya yang merasa memiliki hati bersih di PSSI berani mengungkap aib paling mutakhir yang mencoreng wajah persepakbolaan nasional, yaitu terkuaknya kasus suap klub Penajam Medan Jaya kepada petinggi PSSI yang jelas semakin menunjukkan betapa semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia.
Atau dalam pandangan psikolog Jo Rumeser (Kompas, 9/6/2007), kasus hitam itu terjadi karena dalam tubuh PSSI diisi orang-orang yang tidak tahu esensi olahraga, sehingga memungkinkan munculnya kasus-kasus pengingkaran sportivitas seperti suap dan kolusi pengaturan skor. Majalah AsiaWeek (5/6/1998) yang melaporkan memblenya prestasi sepakbola Asia Tenggara, juga akibat budaya kotor yang sama, menjelang Piala Dunia 1998 di Perancis, memajang gambar Rocky Putiray. Tetapi teksnya berbunyi : Unsporting Indonesian players such as the leaping Peri Shandria have talent – but games are often fixed.
Saya juga tersenyum ketika di koran yang sama, edisi 20/7/2007, mewartakan isu yang berkembang dalam acara Jambore Suporter Indonesia II/2007 di Bali. Pertemuan yang didukung pabrik rokok ini diikuti 67 perwakilan dari 75 kelompok suporter yang diundang (foto).
Tommy Hermanto, Ketua Asosiasi Suporter Kalimantan Timur dikutip mengatakan, “kami merasa perlu membentuk Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) untuk menyatukan seluruh suporter Indonesia dan meminimalkan terjadinya perselisihan.” Adam Baedowi, Ketua Harian Laskar Benteng Viola, menimpali bahwa dengan adanya ASSI itu maka kelompok suporter memiliki posisi tawar terhadap klub atau pun PSSI. Dalam foto yang menyertai berita itu terpampang tokoh PSSI, Djoko Driyono, dan juga Sigit Nugroho yang wartawan Tabloid BOLA yang oleh Suara Merdeka disebut sebagai penggagas acara bersangkutan.
Déjà vu !
ASSI mau hidup lagi ? Adam Baedowi, Tommy Hermanto dan kawan-kawan itu sebaiknya mau menengok sejarah, sudi membuka-buka arsip lama Tabloid BOLA. Dalam edisi 14/8/2001 (foto) sudah dilaporkan saat-saat ASSI dideklarasikan. Tempatnya di Wisma PHI Cempaka Putih dan diberi ilustrasi gegap gempita bersemangat dari suporter Jakmania lengkap dengan drumnya, para perwakilan kelompok supporter kita itu menandatangani prasasti saat deklarasi di Gedung Yayasan Tenaga Kerja (YTKI), Jakarta.
Dalam tabloid tersebut telah pula dikutip pendapat dari mereka yang hadir. Antara lain, Ahmad Lanjir (Laskar Benteng Persita), Andri Kurniawan (Semen Padang Fans Klub), Bambang Haryanto (Pencetus Hari Suporter Nasional), Beni Setiawan (Panser Biru PSIS), Faisal Karim (Persebaya Fans Klub), Ferry Indrasjarief (The Jakmania Jakarta), Heru Joko (Viking Persib), Indra Pangeran (The Macz Man), Lukman (Balad Persib), Mayor Haristanto (Pasoepati), Nurul (Aremania), Prayitno Hadi (PKT Fans Klub) dan juga Reni Rohaeni (Lady Vikers). Tokoh kunci yang tidak dikutip, tetapi penting adalah Eko Haryanto (Bonekmania Persebaya).
Eksistensi ASSI 2001 itu tidak mampu bertahan lama. Penyebab utamanya, terjadinya distrust yang parah antara personilnya. Antara lain akibat mekanisme selingkuh dalam pengambilan keputusan dalam organisasi, main potong kompas sana-sini, tidak transparan, menjunjung tinggi UUD (ujung-ujungnya duit), sehingga akumulasinya memunculkan ulah tokoh karbitan sekaligus pencoleng dalam dunia suporter Indonesia. Oknum itu bernama Robert Manurung yang kelakuannya tidaklah berhati bersih, bila meminjam istilah M. Nigara di atas.
Anda tahu kata lain yang lebih terus terang ketimbang eufemisme “hati bersih” itu ? Tanyakanlah kepada M. Nigara, juga kepada Nurdin Halid. Sebaiknya tanya juga kepada Indonesian Corruption Watch. Paling gampang tanya saja ke hati nurani Anda.
Terakhir, bila ASSI Anno 2007 akan dideklarasikan, harapan saya, semoga di tengahnya tidak ada lagi personilnya yang mempunyai hati yang tidak bersih. Maafkanlah saya, bila saya meragukannya. Termasuk dengan asumsi yang sama, saya juga meragukan segera terbitnya fajar cerah bagi masa depan sepakbola Indonesia kita !
Wonogiri, 26/7/2007
si
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Anda Percaya Siapa ? Nurdin Halid masih bisa jumawa. Menyusul tersingkirnya tim nasional kita dan gagal masuk perempat final Piala Asia 2007, bos PSSI yang pernah memasuki “pelatnas jangka panjang” di balik jejruji besi, masih mampu berkoar-koar. Saya mengupingnya dari BBC Siaran Indonesia, ia bilang, “kita kecewa karena tim kita tidak lolos, tetapi saya bangga karena permainan Ponaryo Astaman dan kawan-kawan sudah setara dengan tim-tim kelas dunia.”
Sementara itu, di media yang sama, pelatih Benny Dolo menyebutkan bahwa timnas kita masih berada dua tingkat di bawah tim-tim Jepang dan Korea yang ia sebut sudah memiliki kompetisi yang menghasilkan kualitas pemain sedikit di bawah kelas Eropa. Kini, Anda silakan memilih : setuju dengan pendapat Nurdin Halid atau pendapatnya Benny Dolo ?
Setuju atau tidak setuju, tetapi bangsa yang memiliki penduduk 200 juta lebih dan talenta pemain-pemain sepakbolanya yang oleh mantan Sekjen AFC Peter Velappan disebut sebagai “Brazilnya Asia,” kini hanya terpuruk menjadi penonton perhelatan sepakbola Asia di depan hidungnya sendiri itu.
Tanggal 29 Juli 2007 Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan hanya mampu menjadi saksi bisu kejayaan Iraq, negara kecil yang dewasa ini tercabik-cabik perang sektarian, atau kegemilangan tim Arab Saudi sebagai kampiun bola Asia. Apa yang salah dengan diri kita, bangsa Indonesia kita ?
Berburu Orgasme Palsu ! “Ini Kandang Kita !” Itulah tagline atau slogan dalam billboard raksasa dari Nike yang dipasang di depan pintu barat Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Gambarnya Ponaryo Astaman yang diibaratkan sebagai Kresna, ahli taktik, pengatur serangan. Gambar lain adalah Bambang Pamungkas yang dalam timnas dianalogikan sebagai Arjuna, jago panah, tukang gedor pertahanan lawan, dari dunia pewayangan.
Totot Indrarto, Strategic Planning Director Satucitra, blogger, juga kritikus film, dalam tulisannya di majalah AdDiction (7/2007) berjudul “Kapan Terakhir Merasa Bangga Jadi Orang Indonesia ?” (foto di atas saya ambil dari ilustrasi artikelnya itu) memuji pembuatan iklan tersebut, yang ia sebut memiliki pemahaman bahwa dalam sepakbola bermain di kandang sendiri artinya sudah 50 persen menang. Dukungan penonton di stadion, sering dianggap sebagai pemain ke-12.
Di sisi lain, menurutnya lagi, pembuat iklan itu juga tahu betul betapa sepakbola sudah jadi agama baru sebagian besar laki-laki di atas bumi. Dalam agama itu, fanatisme penganutnya sangat mudah dibakar cukup dengan sebuah harapan yang paling tidak masuk akal sekali pun : tim kecintaannya berpeluang mengalahkan tim berkelas dunia yang jauh lebih hebat. Kemudian dalam konteks kebangsaan, fanatisme itu identik dengan nasionalisme.
“Anda yang sudah tidak percaya lagi dengan nasionalisme sebaiknya datang ke Stadion Utama, berbaur dengan puluhan ribu penonton, sebagian adalah kelas menengah Jakarta yang selama ini cuma mau menonton sepakbola di televisi. Seketika Anda bakal merasakan, orang-orang itu datang bukan cuma untuk sepakbola. Orang-orang itu berkumpul dan mendukung tim yang sama dengan alasan yang mungkin absurd : karena merasa sama-sama orang Indonesia. Jika timnas menang, atau kalah secara terhormat, sebuah perasaan aneh dan asing bakal tiba-tiba menyelinap di dada : perasaan bangga menjadi orang Indonesia !,” tulis Totot Indrarto.
Terima kasih, Pakde.
“Pakde” ini adalah nama sapaan akrab Totot. Pelukisannya di atas memang tidaklah berkelebihan. Saya memiliki beberapa pita rekaman suara saat saya beberapa kali berada di tengah gemuruhnya lagu Indonesia Raya mengumandang di Senayan. Juga saat air mata saya panas dan merebak ketika melagukan lagu yang sama di tengah ratusan suporter Indonesia, sementara kita terkepung oleh lautan 55 ribu suporter tuan rumah, di tribun Timur Laut, Kallang Stadium, Singapura, 16/1/2005 (foto).
Perasaan aneh dan asing semacam itu barangkali yang membuat peneliti seks dan feminis Shere Hite yang terkenal dengan bukunya The Hite Report: A Nationwide Study of Female Sexuality (1976) bilang bahwa “football can be categorised as a type three masturbatory technique." Sepakbola dapat dikategorisasikan sebagai teknik masturbasi tipe ketiga. Barangkali karena teknik ketiga itu dilakukan secara beramai-ramai, entah atas nama fanatisme, agama baru, atau pun bahkan nasionalisme.
Tetapi di ajang Piala Asia 2007 itu, toh orgasme puncak sebenarnya tidak kita peroleh. Yang ada hanyalah fake orgasm di mana para petinggi PSSI kita, termasuk Nurdin Halid, piawai untuk menghadirkan atau menggembar-gemborkan hal satu ini. Ucapannya di awal tulisan ini merupakan cerminan yang nyata. Dan mungkin sebagian besar kita, yaitu para suporter sepakbola Indonesia, sudah cukup puas dengan gembar-gembor mengenai orgasme palsu itu. Selama ini !
Bagi kita, pesta sepakbola Piala Asia 2007 praktis telah usai. Kita pun nampaknya akan segera hanya memburu sensasi-sensasi orgasme palsu itu dari ritus dunia sepakbola kita berikutnya. Mengapa nampaknya kita hanya puas menguber-uber hal-hal yang melulu palsu, selama ini ?
Di Solo, menjelang Piala Asia 2007, dilangsungkan acara dialog interaktif bertopik potret sepakbola Indonesia masalah dan solusinya. Diadakan oleh Sumaryoto, tokoh sepakbola nasional, politisi, juga pengusaha angkutan bus dari Wonogiri. “Pemain dan pelatih hebat bukan kunci keberhasilan,” demikian judul berita dari harian Suara Merdeka (9/7/2007) tentang acara tersebut.
Salah satu pembicaranya adalah M. Nigara, anggota Komite Disiplin PSSI. Katanya, “Andai Indonesia punya pemain dan pelatih hebat, program kerja organisasi juga bagus, prestasi belum tentu didapat. Kunci bagi dicapainya hasil menggembirakan PSSI adalah hati yang bersih. Soal hati bersih bukan melulu menyangkut pengurus PSSI, tetapi juga semua praktisi dan pembina sepakbola di Indonesia.”
Menurutnya, peluang masih terbuka. Katanya, Rinus Michel saat ditunjuk FIFA melakukan survey di dunia ketiga tahun 1989, berkesimpulan bakat anak Indonesia sesungguhnya satu tingkat di atas anak-anak Jerman. “Itu jelas modal utama kita. Hanya saat ini yang terjadi banyak pemimpin yang maunya menang, jika perlu melakukan hal illegal. Padahal cara itu telah menutup jalan bagi perkembangan sepakbola,” simpul M. Nigara.
Saya senyum-senyum kecut membaca penuturan orang dalam PSSI itu. Seharusnya ia menulis buku tentang maraknya beragam praktek hati yang tidak bersih di tubuh sepakbola Indonesia itu. Seharusnya ia dan kawan-kawannya yang merasa memiliki hati bersih di PSSI berani mengungkap aib paling mutakhir yang mencoreng wajah persepakbolaan nasional, yaitu terkuaknya kasus suap klub Penajam Medan Jaya kepada petinggi PSSI yang jelas semakin menunjukkan betapa semangat berkompetisi secara fair play masih impian langka di Indonesia.
Atau dalam pandangan psikolog Jo Rumeser (Kompas, 9/6/2007), kasus hitam itu terjadi karena dalam tubuh PSSI diisi orang-orang yang tidak tahu esensi olahraga, sehingga memungkinkan munculnya kasus-kasus pengingkaran sportivitas seperti suap dan kolusi pengaturan skor. Majalah AsiaWeek (5/6/1998) yang melaporkan memblenya prestasi sepakbola Asia Tenggara, juga akibat budaya kotor yang sama, menjelang Piala Dunia 1998 di Perancis, memajang gambar Rocky Putiray. Tetapi teksnya berbunyi : Unsporting Indonesian players such as the leaping Peri Shandria have talent – but games are often fixed.
Saya juga tersenyum ketika di koran yang sama, edisi 20/7/2007, mewartakan isu yang berkembang dalam acara Jambore Suporter Indonesia II/2007 di Bali. Pertemuan yang didukung pabrik rokok ini diikuti 67 perwakilan dari 75 kelompok suporter yang diundang (foto).
Tommy Hermanto, Ketua Asosiasi Suporter Kalimantan Timur dikutip mengatakan, “kami merasa perlu membentuk Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) untuk menyatukan seluruh suporter Indonesia dan meminimalkan terjadinya perselisihan.” Adam Baedowi, Ketua Harian Laskar Benteng Viola, menimpali bahwa dengan adanya ASSI itu maka kelompok suporter memiliki posisi tawar terhadap klub atau pun PSSI. Dalam foto yang menyertai berita itu terpampang tokoh PSSI, Djoko Driyono, dan juga Sigit Nugroho yang wartawan Tabloid BOLA yang oleh Suara Merdeka disebut sebagai penggagas acara bersangkutan.
Déjà vu !
ASSI mau hidup lagi ? Adam Baedowi, Tommy Hermanto dan kawan-kawan itu sebaiknya mau menengok sejarah, sudi membuka-buka arsip lama Tabloid BOLA. Dalam edisi 14/8/2001 (foto) sudah dilaporkan saat-saat ASSI dideklarasikan. Tempatnya di Wisma PHI Cempaka Putih dan diberi ilustrasi gegap gempita bersemangat dari suporter Jakmania lengkap dengan drumnya, para perwakilan kelompok supporter kita itu menandatangani prasasti saat deklarasi di Gedung Yayasan Tenaga Kerja (YTKI), Jakarta.
Dalam tabloid tersebut telah pula dikutip pendapat dari mereka yang hadir. Antara lain, Ahmad Lanjir (Laskar Benteng Persita), Andri Kurniawan (Semen Padang Fans Klub), Bambang Haryanto (Pencetus Hari Suporter Nasional), Beni Setiawan (Panser Biru PSIS), Faisal Karim (Persebaya Fans Klub), Ferry Indrasjarief (The Jakmania Jakarta), Heru Joko (Viking Persib), Indra Pangeran (The Macz Man), Lukman (Balad Persib), Mayor Haristanto (Pasoepati), Nurul (Aremania), Prayitno Hadi (PKT Fans Klub) dan juga Reni Rohaeni (Lady Vikers). Tokoh kunci yang tidak dikutip, tetapi penting adalah Eko Haryanto (Bonekmania Persebaya).
Eksistensi ASSI 2001 itu tidak mampu bertahan lama. Penyebab utamanya, terjadinya distrust yang parah antara personilnya. Antara lain akibat mekanisme selingkuh dalam pengambilan keputusan dalam organisasi, main potong kompas sana-sini, tidak transparan, menjunjung tinggi UUD (ujung-ujungnya duit), sehingga akumulasinya memunculkan ulah tokoh karbitan sekaligus pencoleng dalam dunia suporter Indonesia. Oknum itu bernama Robert Manurung yang kelakuannya tidaklah berhati bersih, bila meminjam istilah M. Nigara di atas.
Anda tahu kata lain yang lebih terus terang ketimbang eufemisme “hati bersih” itu ? Tanyakanlah kepada M. Nigara, juga kepada Nurdin Halid. Sebaiknya tanya juga kepada Indonesian Corruption Watch. Paling gampang tanya saja ke hati nurani Anda.
Terakhir, bila ASSI Anno 2007 akan dideklarasikan, harapan saya, semoga di tengahnya tidak ada lagi personilnya yang mempunyai hati yang tidak bersih. Maafkanlah saya, bila saya meragukannya. Termasuk dengan asumsi yang sama, saya juga meragukan segera terbitnya fajar cerah bagi masa depan sepakbola Indonesia kita !
Wonogiri, 26/7/2007
si