Blogger Pemberontak, Pasukan Brody dan Media Olahraga
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Dansa Kematian Media. Terpilihnya Rita Subowo sebagai Ketua KONI yang baru, saya ketahui ketika mengakses situs Kompas Cyber Media (KCM). Beritanya berbunyi sebagai berikut :
Jakarta, Kompas - Rita Subowo terpilih sebagai Ketua Umum KONI Pusat masa bakti 2007-2011 pada Musyawarah Olahraga Nasional X 2007 di Gedung Serba Guna Senayan, Jakarta, Jumat (23/2). Rita mengumpulkan 43 suara. Dia mengalahkan pesaingnya, Luhut Binsar Pandjaitan yang meraih 38 suara pada pemungutan suara tahap ketiga.
Rita adalah Sekretaris Jenderal KONI Pusat dan sebelumnya pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PB PBVSI). Dia menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan puncak di KONI Pusat.
Ketika di Perpustakaan Umum Wonogiri dan menemukan berita yang sama di harian Kompas, membuat saya tersenyum-senyum. Karena di media berbasis jurnalisme pohon mati, alias kertas itu, berita tersebut justru lebih detil dan komprehensif. Adakah sesuatu yang mengundang kelucuan ?
Begitulah. Mengapa dalam media berbasis digital atau sinyal-sinyal elektronik yang bahan dasarnya quartz atau pasir begitu melimpah ruah di dunia sehingga memiliki kapasitas tanpa batas, justru berita yang tampil jauh lebih kerdil dibanding dalam edisi cetaknya ?
Bukan salah medianya. Tetapi kunci soalnya terletak pada paradigma berpikir para pengelola media tersebut dalam memandang media digital. Mereka nampak memperlakukan media digitalnya itu sebagaimana mereka mengelola media cetaknya.
Mungkin karena pertimbangan bahwa para pengakses situs web KCM tidak membayar dengan uang, kemudian mereka mendaulat situs bersangkutan hanya sebagai appetizer, umpan tekak, dengan harapan pengakses itu kemudian bersedia berlari ke kios koran dan membeli edisi cetaknya.
Contoh lain : sebuah penerbitan olahraga selalu memajang universal resource locator, alamat situsnya di tabloidnya. Tetapi pengakses akan kecewa, karena isi situs tersebut jauh sangat miskin dibanding edisi cetaknya. Beberapa pajangan fotonya dijepret 2-3 tahun yang lalu. Kolomnya pun hanya diisi secara sporadis oleh para pensiunan wartawan mereka.
”Corporate web sites work best as flagpoles or cemeteries,” simpul Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net (1996). Pendapat itu kiranya cocok untuk menggambarkan pendekatan tabloid tersebut dalam mengelola situs webnya : hanya sebagai kuburan informasi daluarsa mereka.
Dari kedua contoh tersebut, mengelola media berbasis digital seperti pertimbangan di atas, ibaratnya hanya seperti mengurung jin selamanya dalam botol. William Davidow dalam artikelnya “Online Advertisers Must Beware” (Forbes ASAP, 7/4/1997) telah wanti-wanti : “Upaya membuat media elektronik hanya meniru media tradisional pasti gagal, menghasilkan model bisnis yang ridiculous, menggelikan.”
Media-media yang mengetrapkan model-model bisnis yang menggelikan semacam itu banyak kita temui di Indonesia. Waktu terus mengejar mereka. Kepiawaian mereka dalam melakukan dansa di antara kedua domain itu, media cetak dan digitalnya, kini sungguh-sungguh merupakan pertaruhan yang serius. Dengan konsekuensi yang serius pula : antara hidup atau mati.
Peluru Tertuju Ke Bisnis Anda ! ”Somewhere out there is a bullet with your company’s name on it. Somewhere out there is a competitor, unborn and unknown, that will render your business model obsolete,” demikian mukadimah yang puitis sekaligus mencekam dari Gary Hamel dan Jeff Sampler dalam artikel monumentalnya, “The E-Corporation : More than just Web-based, it’s building a new industrial order,” di majalah Fortune, 7/12/1998 (foto di atas).
Kedigdayaan model bisnis dari orde baru industri tersebut pernah didemonstrasikan secara menarik dan dramatis oleh Philips Evans dan Thomas S. Wuster dalam bukunya Blown to Bits : How the New Economics of Information Transforms Strategy (Harvard Business School Press ( 2004).
Mereka menceritakan bagaimana ensiklopedia yang terkenal sejak 1768 sebagai sumber himpunan ilmu pengetahuan terpercaya, Encyclopedia Brittanica, hanya dalam waktu lima tahun nyaris hancur riwayatnya gara-gara munculnya teknologi baru : keping disk.
Teknologi baru tersebut dapat datang dari mana saja dan mampu menghancurkan merek dan bisnis yang telah mapan beberapa dekade, bahkan berabad-abad sekali pun. Tandas Evans dan Wuster lebih lanjut, “Berkompetisi dalam tataran ekonomi baru berbasis ekonomi mensyaratkan terjadinya kanibalisasi, atau bahkan penghancuran bisnis tersebut. Para inkumben enggan melakukannya, terutama bila bisnisnya tersebut masih memberikan marjin yang positif.”
Para pengelola media cetak olahraga itu kini nampaknya memilih bertahan. Memanglah, dalam sebagian besar situasi kompetitif dalam bisnis tradisional posisi bertahan memiliki keunggulan.
Tetapi ketika terjadi pergeseran menuju ekonomi berbasis informasi, keunggulan justru bergeser untuk memihak para pemberontak. Para pemberontak itu tidak dibebani oleh warisan, baik sistem, aset atau pun sikap mental masa lampau. Tidak ada sesuatu yang mereka pertaruhkan, nothing to lose, merupakan keunggulan signifikan yang berada di kubunya.
Pemberontak Bersenjatakan Blog. Senjata kaum pemberontak masa kini, yang terhebat, tidak lain adalah blog. “Baiklah. Anda boleh terus mengeluh tentang blog. Namun, yang pasti, Anda tak mungkin tak mengacuhkan fenomena ini. Sejak Internet diciptakan, blog lah mahluk yang tingkat penyebarannya tercepat di dunia informasi,” tutur Stephen Baker dan Heather (“yang cantik”-BH) Green dalam Business Week (11/5/2005) yang sampulnya terpampang di atas.
Dalam diskusi yang riuh dan berbobot mengenai 95 tesis bisnis baru yang diajukan Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), mencuat pendapat Luis Marinho Falcão, Direktur dari Ogilvy Interactive yang mengatakan, "the most frightening thing about an electronic whisper is the fact that it becomes a gigantic roar before some notice it."
Suporter sepakbola Indonesia harus menggunakan blog untuk bersuara. Mengubah bisik-bisik olektronik mereka menjadi bengokan yang membahana. Apalagi ketika pelbagai media mainstream yang cocoknya pantas disebut sebagai lame stream media, media yang lamban, semakin tidak bergigi menyuarakan ide-ide perbaikan bagi dunia olah raga, khususnya sepakbola Indonesia (“saya menulis di Tabloid Liga 26/1/2007 dan honornya setelah satu bulan tak jelas sampai kini sampai saya menulis ARTIKEL ke Tabloid BOLA 6/2/2007, tentang Peter Withe, tetapi mereka ubah hanya menjadi pengisi kolom surat pembaca secara sefihak dan tanpa berkonsultasi secara lebih dulu !), maka jaringan blogger yang sekaligus suporter merupakan alternatif masa kini untuk menyuarakan opini guna aktif mengubah keadaan.
Terlebih lagi, konstelasi media secara global telah berubah. Di Yahoo telah hadir You Witness News, situs di mana masyaraakat adalah pula wartawan yang dapat mengirimkan berita atau foto untuk dipajang di sana. Ada pula situs serupa, Now Public.com. Leonard Brody, CEO-nya, berkata : “ Di masa depan, berita akan menjadi crowd-source dan kami sedang membangun pasukan itu.”
Ketika media olahraga Indonesia nampaknya sedang kepayahan karena tergerusnya tiras dan pemasukan iklan-iklan mereka, sudah saatnya para suporter yang secara hakiki merupakan crowd itu selayaknya menerjunkan diri menjadi blogger dan mempersiapkan diri sebagai anggota pasukan masa depannya Leonard Brody !
Wonogiri, 1 Maret 2007
si
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com
Dansa Kematian Media. Terpilihnya Rita Subowo sebagai Ketua KONI yang baru, saya ketahui ketika mengakses situs Kompas Cyber Media (KCM). Beritanya berbunyi sebagai berikut :
Jakarta, Kompas - Rita Subowo terpilih sebagai Ketua Umum KONI Pusat masa bakti 2007-2011 pada Musyawarah Olahraga Nasional X 2007 di Gedung Serba Guna Senayan, Jakarta, Jumat (23/2). Rita mengumpulkan 43 suara. Dia mengalahkan pesaingnya, Luhut Binsar Pandjaitan yang meraih 38 suara pada pemungutan suara tahap ketiga.
Rita adalah Sekretaris Jenderal KONI Pusat dan sebelumnya pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PB PBVSI). Dia menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan puncak di KONI Pusat.
Ketika di Perpustakaan Umum Wonogiri dan menemukan berita yang sama di harian Kompas, membuat saya tersenyum-senyum. Karena di media berbasis jurnalisme pohon mati, alias kertas itu, berita tersebut justru lebih detil dan komprehensif. Adakah sesuatu yang mengundang kelucuan ?
Begitulah. Mengapa dalam media berbasis digital atau sinyal-sinyal elektronik yang bahan dasarnya quartz atau pasir begitu melimpah ruah di dunia sehingga memiliki kapasitas tanpa batas, justru berita yang tampil jauh lebih kerdil dibanding dalam edisi cetaknya ?
Bukan salah medianya. Tetapi kunci soalnya terletak pada paradigma berpikir para pengelola media tersebut dalam memandang media digital. Mereka nampak memperlakukan media digitalnya itu sebagaimana mereka mengelola media cetaknya.
Mungkin karena pertimbangan bahwa para pengakses situs web KCM tidak membayar dengan uang, kemudian mereka mendaulat situs bersangkutan hanya sebagai appetizer, umpan tekak, dengan harapan pengakses itu kemudian bersedia berlari ke kios koran dan membeli edisi cetaknya.
Contoh lain : sebuah penerbitan olahraga selalu memajang universal resource locator, alamat situsnya di tabloidnya. Tetapi pengakses akan kecewa, karena isi situs tersebut jauh sangat miskin dibanding edisi cetaknya. Beberapa pajangan fotonya dijepret 2-3 tahun yang lalu. Kolomnya pun hanya diisi secara sporadis oleh para pensiunan wartawan mereka.
”Corporate web sites work best as flagpoles or cemeteries,” simpul Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net (1996). Pendapat itu kiranya cocok untuk menggambarkan pendekatan tabloid tersebut dalam mengelola situs webnya : hanya sebagai kuburan informasi daluarsa mereka.
Dari kedua contoh tersebut, mengelola media berbasis digital seperti pertimbangan di atas, ibaratnya hanya seperti mengurung jin selamanya dalam botol. William Davidow dalam artikelnya “Online Advertisers Must Beware” (Forbes ASAP, 7/4/1997) telah wanti-wanti : “Upaya membuat media elektronik hanya meniru media tradisional pasti gagal, menghasilkan model bisnis yang ridiculous, menggelikan.”
Media-media yang mengetrapkan model-model bisnis yang menggelikan semacam itu banyak kita temui di Indonesia. Waktu terus mengejar mereka. Kepiawaian mereka dalam melakukan dansa di antara kedua domain itu, media cetak dan digitalnya, kini sungguh-sungguh merupakan pertaruhan yang serius. Dengan konsekuensi yang serius pula : antara hidup atau mati.
Peluru Tertuju Ke Bisnis Anda ! ”Somewhere out there is a bullet with your company’s name on it. Somewhere out there is a competitor, unborn and unknown, that will render your business model obsolete,” demikian mukadimah yang puitis sekaligus mencekam dari Gary Hamel dan Jeff Sampler dalam artikel monumentalnya, “The E-Corporation : More than just Web-based, it’s building a new industrial order,” di majalah Fortune, 7/12/1998 (foto di atas).
Kedigdayaan model bisnis dari orde baru industri tersebut pernah didemonstrasikan secara menarik dan dramatis oleh Philips Evans dan Thomas S. Wuster dalam bukunya Blown to Bits : How the New Economics of Information Transforms Strategy (Harvard Business School Press ( 2004).
Mereka menceritakan bagaimana ensiklopedia yang terkenal sejak 1768 sebagai sumber himpunan ilmu pengetahuan terpercaya, Encyclopedia Brittanica, hanya dalam waktu lima tahun nyaris hancur riwayatnya gara-gara munculnya teknologi baru : keping disk.
Teknologi baru tersebut dapat datang dari mana saja dan mampu menghancurkan merek dan bisnis yang telah mapan beberapa dekade, bahkan berabad-abad sekali pun. Tandas Evans dan Wuster lebih lanjut, “Berkompetisi dalam tataran ekonomi baru berbasis ekonomi mensyaratkan terjadinya kanibalisasi, atau bahkan penghancuran bisnis tersebut. Para inkumben enggan melakukannya, terutama bila bisnisnya tersebut masih memberikan marjin yang positif.”
Para pengelola media cetak olahraga itu kini nampaknya memilih bertahan. Memanglah, dalam sebagian besar situasi kompetitif dalam bisnis tradisional posisi bertahan memiliki keunggulan.
Tetapi ketika terjadi pergeseran menuju ekonomi berbasis informasi, keunggulan justru bergeser untuk memihak para pemberontak. Para pemberontak itu tidak dibebani oleh warisan, baik sistem, aset atau pun sikap mental masa lampau. Tidak ada sesuatu yang mereka pertaruhkan, nothing to lose, merupakan keunggulan signifikan yang berada di kubunya.
Pemberontak Bersenjatakan Blog. Senjata kaum pemberontak masa kini, yang terhebat, tidak lain adalah blog. “Baiklah. Anda boleh terus mengeluh tentang blog. Namun, yang pasti, Anda tak mungkin tak mengacuhkan fenomena ini. Sejak Internet diciptakan, blog lah mahluk yang tingkat penyebarannya tercepat di dunia informasi,” tutur Stephen Baker dan Heather (“yang cantik”-BH) Green dalam Business Week (11/5/2005) yang sampulnya terpampang di atas.
Dalam diskusi yang riuh dan berbobot mengenai 95 tesis bisnis baru yang diajukan Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), mencuat pendapat Luis Marinho Falcão, Direktur dari Ogilvy Interactive yang mengatakan, "the most frightening thing about an electronic whisper is the fact that it becomes a gigantic roar before some notice it."
Suporter sepakbola Indonesia harus menggunakan blog untuk bersuara. Mengubah bisik-bisik olektronik mereka menjadi bengokan yang membahana. Apalagi ketika pelbagai media mainstream yang cocoknya pantas disebut sebagai lame stream media, media yang lamban, semakin tidak bergigi menyuarakan ide-ide perbaikan bagi dunia olah raga, khususnya sepakbola Indonesia (“saya menulis di Tabloid Liga 26/1/2007 dan honornya setelah satu bulan tak jelas sampai kini sampai saya menulis ARTIKEL ke Tabloid BOLA 6/2/2007, tentang Peter Withe, tetapi mereka ubah hanya menjadi pengisi kolom surat pembaca secara sefihak dan tanpa berkonsultasi secara lebih dulu !), maka jaringan blogger yang sekaligus suporter merupakan alternatif masa kini untuk menyuarakan opini guna aktif mengubah keadaan.
Terlebih lagi, konstelasi media secara global telah berubah. Di Yahoo telah hadir You Witness News, situs di mana masyaraakat adalah pula wartawan yang dapat mengirimkan berita atau foto untuk dipajang di sana. Ada pula situs serupa, Now Public.com. Leonard Brody, CEO-nya, berkata : “ Di masa depan, berita akan menjadi crowd-source dan kami sedang membangun pasukan itu.”
Ketika media olahraga Indonesia nampaknya sedang kepayahan karena tergerusnya tiras dan pemasukan iklan-iklan mereka, sudah saatnya para suporter yang secara hakiki merupakan crowd itu selayaknya menerjunkan diri menjadi blogger dan mempersiapkan diri sebagai anggota pasukan masa depannya Leonard Brody !
Wonogiri, 1 Maret 2007
si
Labels: blog, blogger, media digital, media lama