« Home | Sewindu Ikrar Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000... » | Anti Pensiun Bagi Suporter SepakbolaOleh : Bambang... » | Sepakbola Indonesia : Hanya Untuk Bisnis dan Bukan... » | Orgasme Palsu Sepakbola KitaOleh : Bambang Haryant... » | Red Devil vs Suporter Sepakbola KitaPiala Dunia 20... » | Desperately Seeking “TV Bal-Balan” In WonogiriOleh... » | ASSI, Suporter Teroris dan Kepala Ikan Sepakbola K... » | Otak Reptil, Suporter Blogger dan Sepakbola Indone... » | Blogger Pemberontak, Pasukan Brody dan Media Olahr... » | Perempuan Sidney Sheldon dan Impian Suporter Sepak... » 

Friday, September 19, 2008 

The Bright Side of Soccer Blogger


Oleh : Bambang Haryanto



Lima puluh lima ribu “singa” itu mengaum bersamaan. The lion’s roar yang menggetarkan. Ole, ole, ole, ole ! Ole, ole ! Gemuruhnya mengepung kami yang hanya berjumlah ratusan kepala di pojok timur laut stadion. Inilah final leg 2 Piala Tiger 2004. Stadion Kallang Singapura, 16 Januari 2005.

Impor, impor, impor, impor !
Impor, impor !

Itulah teriakan balik kami, suporter sepakbola Indonesia. Mantra pengusir auman singa itu lumayan manjur, karena kiranya langsung menohok jantung eksistensi suatu bangsa. Negeri pulau Singapura yang warganya terdiri pelbagai ras dan suku bangsa itu tak bisa mengelak dari tembakan miring kami ini.

Karena di skuad sepakbola mereka saat itu bertabur pemain impor Ada Itimi Dickson dan Agu Casmir, asal Nigeria. Ada pula bek tangguh Daniel Bennett yang bule, kelahiran Inggris. Mereka semua dinaturalisasikan sebagai warga negara Singapura.

Teriakan kami saat itu boleh jadi merupakan cerminan sikap miopia. Rabun dekat. Nasionalisme yang sempit. Sebab ketika globalisasi semakin nyata, hal yang terjadi di Singapura itu sebenarnya hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi pula di Indonesia. “Nasionalisme adalah penyakit kekanak-kanakan. Ia merupakan penyakit campak bagi kemanusiaan,” demikian ujar Albert Einstein.

Sakit campak atau tidak, yang bergemuruh di dada saat itu adalah rasa nasionalisme yang meluap. Kami benar-benar cinta Indonesia. Ketika saya dan Mayor Haristanto tiba di stadion dan membentangkan spanduk besar yang kami bawa dari Solo, bertuliskan slogan “Bangkit Indonesia !,” api nasionalisme itu ibarat kena semburan bensin. Tribun kami terbakar oleh perasaan cinta yang membara terhadap tanah air.

Photobucket

Tidak sedikit dari kami, yang bila dilihat dari warna kulit dan bentuk mata menunjukkan keturunan Cina. Tetapi kami semua kompak bersama-sama melagukan Indonesia Raya. Nasionalisme kami benar-benar mendidih. Saya saat itu merinding dan meneteskan air mata. Bangga sebagai bangsa Indonesia.

Sayang, Indonesia gagal jadi juara. Misi yang tertuang di kaos saya, “Tame The Lions, Heal The Nation” tak jadi kenyataan. Impian kemenangan timnas sebagai pelipur duka bangsa setelah Aceh diguncang tsunami dahsyat, tidak kesampaian. Pada pertandingan leg 1 di Senayan, kita sudah kalah 1-3. Di Singapura, walau di kaos saya juga sudah bertuliskan mantra I Believe The Withe Magic, toh Ponaryo Astaman dkk kalah lagi, 2-1. Agregat : 5-2 untuk Singapura.

”Singaporeans cheered last night, with all their hearts,” tulis kolumnis Godfrey Robert di koran The New Paper esok harinya. Singapura, negeri mini itu, memuncaki prestasi sepakbola Asia Tenggara.

Malam itu saya dan Mayor yang ikut mobil tim kembali ke hotel timnas Indonesia, Hotel Amara di Tanjong Pagar, dengan perasaan hambar. Di lantai tujuh hotel bintang 4 itu saya mengambil titipan tas di kamarnya Ismed Sofyan. Ia mengeluarkan semua isi lemari es hotel, tetapi kudapan kelas hotel mewah itu terasa hambar. Serasa lebih nikmat ketika makan bersamanya, tahun 2002, dengan sayur asem, sambal dan sepotong ayam goreng di asramanya saat Ismed Sofyan masih di Solo memperkuat tim Persijatim Solo FC.

Sedikit “kemenangan” saya peroleh secara pribadi di keesokan harinya (17/1/2005). Sambil sarapan pagi di Hotel Quality, saya membuka-buka surat kabar utama negerinya Lee Kuan Yew itu, The Straits Times. Pendapat saya sebagai suporter sepakbola Indonesia (foto) termuat di sana.


Football flaneur ! Sebagai seorang suporter sepakbola, cerita di atas telah saya gurat untuk menjadi salah satu khasanah sebuah blog, Suporter Indonesia, yang saya luncurkan sejak bulan Juli 2003. Termasuk cerita di Bandara Changi ketika saya memergoki buku kedua dari Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005). Juga buku kumpulan lelucon tentang David Beckham. Anda tahu ciri-ciri komputer yang baru saja digunakan oleh David Beckham ? Kalau Anda temui banyak bercak-bercak bekas Tipp-Ex di monitornya.

Ketika memutuskan untuk surut dari kegiatan suporter di lapangan, termasuk undur dari status sebagai seorang football flaneur, istilah dari penyair Perancis Charles Baudelaire (1821–1867) yang bermakna sosok pengembara dari satu kota ke kota lainnya untuk mengikuti tur sepakbola, maka status sebagai seorang soccer blogger menjadi kiprah lain untuk menunjukkan kecintaan (sekaligus kebencian !) saya terhadap sepakbola. Sepakbola Indonesia.

Nick Hornby, penulis novel Inggris, pernah berujar "I fell in love with football as I was later to fall in love with women. Suddenly, uncritically, giving no thought to the pain it would bring." Memang begitulah yang terjadi. Kecintaan itu ternyata membawa terlalu banyak duka lara dan kekecewaan saya terhadap prestasi sepakbola Indonesia.

Termasuk kecewa terhadap sesama sobat saya, para suporter sepakbola Indonesia. Tanggal 12 Juli 2008, untuk memperingati sewindu deklarasi Hari Suporter Nasional, saya dan kawan-kawan berdemo di perempatan Gladag Solo. Kami memajang banner, antara lain bertuliskan otokritik : “Suporter Indonesia, Suporter Myopia !”

Suporter Indonesia sekarang ini kena penyakit rabun dekat, cadok, mendewakan kedaerahan. Berani mengadu nyawa untuk membela daerahnya. Tetapi tak mau terbang tinggi, mengawasi dengan nurani jernih dan pikiran cerdas, bagaimana roda sepakbola Indonesia dijalankan. Terutama oleh pimpinan PSSI yang kini masuk penjara karena tersangkut perkara korupsi. Termasuk mencermati ulah kroni-kroninya pula.Hemat saya dan harapan saya, sepakbola Indonesia memerlukan lebih banyak lagi, dan lebih banyak sekali soccer blogger untuk mengkritisi bagaimana industri sepakbola Indonesia dijalankan selama ini dan nanti.

Dalam diskusi yang riuh dan berbobot mengenai 95 tesis bisnis baru yang diajukan Rick Levine, Christopher Locke , Doc Searls dan David Weinberger dalam Cluetrain Manifesto : The End of Business as Usual (1999), mencuat pendapat Luis Marinho Falcão, Direktur dari Ogilvy Interactive. Ia mengatakan, "the most frightening thing about an electronic whisper is the fact that it becomes a gigantic roar before some notice it."

Merujuk hal di atas, kini saatnya suporter sepakbola Indonesia harus menggunakan blog untuk bersuara. Mengubah bisik-bisik olektronik mereka menjadi bengokan yang membahana untuk mengoreksi salah kelola pada sepakbola Indonesia. Apalagi ketika pelbagai media mainstream yang cocoknya pantas disebut sebagai lame stream media, media yang lamban, semakin tidak bergigi menyuarakan ide-ide perbaikan bagi masa depan dunia olah raga, khususnya sepakbola Indonesia. Suporter Indonesia, jadilah seorang soccer blogger saat ini pula. Mari bersuara terus untuk perbaikan sepakbola Indonesia !


Sisi cerah blogger sepakbola. Mendung tak selamanya kelabu. Bisik-bisik elektronik tentang sepakbola dan suporternya yang saya tulis di blog itu, syukurlah, bukan selalu cinta yang melulu bertepuk sebelah tangan. Pernah mengalami pula kejadian yang mencengangkan.

Antara lain satu dua kali dikontak agen pemain dari Uruguay (“mereka temukan via Google”) untuk diajak bekerjasama. Dan blog itu pula yang membuat saya diminta untuk menjadi penulis atau menjadi nara sumber untuk wawancara media.

Misalnya oleh Andibachtiar “Ucup” Yusuf. Secara pribadi, saya belum pernah bertemu muka dengan dirinya. Ketika ia dan kawan-kawannya di Jakarta (saat ia sendiri tinggal di London) meluncurkan majalah sepakbola gratis, FreeKick, maka sekitar satu setengah tahun sejak awal 2006 saya ikut mengisi majalah tersebut. Hadiah indah lain dari dirinya adalah buku Football in Sun and Shadow, karya Eduardo Galeano (2003). Ini buku tentang sepakbola yang ditulis dengan cita rasa sastra yang tinggi.

Kali yang lain, ketika jaringan Radio 68 H Jakarta membincangkan tentang perangai brutal suporter sepakbola Indonesia, saya yang tinggal di Wonogiri ikut berdiskusi melalui telepon. Nara sumber lainnya adalah wartawan Arya Abhiseka, yang kini sering muncul dalam siaran sepakbola antv, dan satu rekan lagi dari The Jakmania.

Kabar terbaru muncul dari Budapest. Dari Andibachtiar “Ucup” Yusuf lagi. Ia yang telah menghasilkan film yang merupakan genre baru di pentas perfilman nasional, yaitu The Jak dan The Conductors, mengabarkan bahwa perusahaannya Bogalakon Pictures bersiap meluncurkan film baru. Dengan mengadaptasi lakon klasik Romeo & Juliet-nya Shakespeare, tetapi tema filmnya itu tetap sepakbola.

Saya sempat bertanya : pakai versi Romeo & Juliet yang dibintangi Olivia Hussey-Leonard Whitting dengan sutradara Franco Zeffireli (1968, “termasuk film favorit saya”), versi Leonardo Di Caprio dan Claire Dane dengan sutradara Baz Luhrmann, atau versi West Side Story yang pernah di-Indonesiakan dengan judul Laila Majnun, dibintangi Ahmad Albar dan Rini S. Bono ?

Dalam email Ucup bercerita : “Tensi cerita (film itu) akan lebih tinggi dan keras berhubung yang sedang digambarkan adalah dunia pendukung sepakbola. Referensi saya adalah Football Factory dan Rise of The Footsoldiers untuk beberapa kekerasan suporter, tetapi film-film seperti Bittersweet Life, Iron Man sampai Apocalypto rasanya juga akan saya jadikan acuan beberapa adegan.

Seperti rencana saya yang sekarang sudah tertulis di draft 1, saya dan Mas Bambang akan muncul sebagai cameo, berkicau tentang sepakbola Indonesia dan kelakuan para suporternya di bagian pembuka dan penutup. Sama kan dengan versinya Baz Luhrmann dan Leonardo Di Caprio itu ? ”

Seorang suporter sepakbola, seorang soccer blogger, dan di depan nanti, moga-moga jadi, sebagai seorang cameo dalam film layar lebar tentang suporter sepakbola. Ah, kisah hidup seorang soccer blogger yang tak terduga-duga.


Bambang Haryanto, blogger dari Wonogiri sejak tahun 2003. Tahun 2000 aktif sebagai Menko Kreatif dan Media dalam kelompok suporter Pasoepati (Solo). Meraih MURI tahun 2000 sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli. Tesisnya mengenai revolusi untuk mengubah budaya kelompok suporter dari destruktif menjadi berbudaya kreatif memenangkan Honda The Power of Dreams Award 2002. Penggagas dan salah satu pendiri Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), 2002.

Labels: ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates