Bakrie Brothers dan Efek Domino Sepakbola Indonesia
Oleh : Bambang Haryanto
Terpuruk di sini. Sidoarjo ikut kena dampak krisis keuangan global. Yang menjadi korban terutama mereka yang sudah tergusur, tercerabut dari tanah tercinta, akibat tanah dan rumahnya terbenam lumpur panas Lapindo. Demo mereka ke Jakarta untuk menuntut pembayaran tuntas ganti rugi, nampaknya sia-sia. Fihak Lapindo berkilah, seperti dikutip oleh BBC, krisis keuangan global telah membuat pembayaran ganti rugi itu tersendat.
Radio BBC (19/11/2008) juga mewartakan hal lain : perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia, Bumi Resources, sahamnya anjlok menjadi hanya sebesar Rp. 900-an per saham. Dalam sebulan, harga sahamnya terpangkas lebih dari lima puluh persen.
Lalu, apa hubungannya kedua berita buruk itu dengan sepakbola Indonesia ? Kedua perusahaan yang sedang bermasalah itu, baik Lapindo mau pun Bumi Resources, dimiliki oleh konglomerat Bakrie Brothers. Sedang salah satu pemilik konglomerat itu adalah Nirwan Darmawan Bakrie. Dalam peta sepakbola nasional ia boleh disebut sebagai orang kedua paling berkuasa, sesudah Nurdin Halid, dengan jabatan sebagai Ketua Badan Liga Sepakbola Indonesia (BLI).
Mental sepakbola melayu. Wartawan olahraga Kompas, Yesayas Octovianus (20/2/2006 : 31) pernah menyoroti peran dominan Nirwan di tubuh PSSI. Merujuk nama-nama pejabat yang menangani tim nasional dua tahun yang lalu itu, Yesayas menyebutnya sebagai “koncoisme” yang kental. Misalnya, untuk manajer timnas U-23, telah muncul nama Rahim Sukasah. Nama ini 15 tahun lalu adalah bos klub Pelita Jaya, yang tidak lain milik Bakrie Brothers juga.
Nirwan Bakrie, kita tahu, pernah membidani proyek mercusuar dengan Tim Primavera yang dibentuk di Genoa, Italia. Proyek ambisius ini disebut Yesayas sebagai proyek yang gagal total. Nirwan mengulangi lagi dengan mengirim timnas U-23 dengan pelatih yang eks pemain Pelita Jaya juga, Bambang Nurdiansyah, ke Belanda. Hasilnya ? Saya telah menulis surat pembaca dengan judul “Hancurnya Sepakbola Melayu” di Koran Tempo (22/11/ 2006) atau dua tahun yang lalu sebagai berikut :
Tim nasional Indonesia di bawah umur 23 tahun digunduli 6-0 di penyisihan sepakbola Asian Games 2006 di Qatar. Padahal mereka sempat berlatih 4 bulan, menghabiskan biaya 28 milyar rupiah di Belanda. Asisten pelatih Bambang Nurdiansyah seperti dikutip wartawan Kompas, Syamsul Hadi, yang ditanyai oleh BBC (20/11) mengabarkan bahwa Ferry Rotinsulu dan kawan-kawan itu bermain dengan “gaya sepakbola Melayu, bukan sepakbola Eropa.”
Apa yang ia maksud sebagai sepakbola Melayu ? Perlu penjelasan lebih lanjut. Yang pasti, dalam pertandingan tersebut dua pemain kita kena kartu merah dan enam pemain kena kartu kuning. Itukah cerminan “sepakbola Melayu” yang berarti pemain-pemain kita tidak mengindahkan peraturan bermain sepakbola yang berlaku secara universal ?
Tanggal 6/11/2006, di Solo, saya mewawancarai Ponaryo Astaman, kapten timnas senior kita, terkait pernyataan dia yang juga pernah dikutip oleh BBC. Kata Ponaryo, sepanjang menjadi pemain sepakbola dirinya tidak pernah sama sekali memperoleh sosialisasi mengenai pelbagai peraturan dalam bermain sepakbola.
Para pemain kita, ujarnya lebih lanjut dan bagi saya sangat mengherankan, mematuhi peraturan bermain sepakbola hanya berdasar pengalaman dan instink masing-masing pribadi, yaitu ketika mereka memperoleh hukuman dari wasit. Realitas yang memprihatinkan !
Hancurnya timnas U-23 di ajang Asian Games 2006 antara lain akibat hukuman dua kartu merah dan enam kartu kuning, walau mereka berlatih di Belanda 4 bulan sekali pun, hanya menunjukkan bahwa mengubah teknik dan mental pesepakbola kita bukan hal yang bisa dilakukan secara instan. Sikap mental suka ambil jalan pintas yang dianut para petinggi PSSI, terutama yang memiliki pendekatan bahwa uang menentukan segalanya, kini terantuk oleh bukti kegagalan yang benar-benar nyata. Uang bukan segala-galanya, Bung Nurdin Halid dan Bung Nirwan Bakrie. Selamat berintrospeksi.
Bitter taste of sugar daddy ! Ide-ide instan model Primavera di atas, tidak lain merupakan perwujudan sikap para sugar daddies, bos besar yang banyak uang, dalam mencoba meraih sesuatu prestasi. Upaya yang cenderung mengingkari hukum alam itu hanya memiliki satu konsekuensi yang pasti : kegagalan. Tetapi prestasi internasional memang bukan impian para petinggi PSSI itu. Tabloid BOLA (21/3/2006) mengutip pernyataan Nirwan Bakrie bahwa, “Inilah sepakbola, meski prestasi timnas kita kurang bagus, tetap saja liga tak pernah sepi.”
Ia mungkin memang benar, bahwa sepakbola kita nampak tak pernah sepi. Tetapi fondasi liga itu semata mengandalkan pada komporan sikap-sikap primordial. Fanatisme kedaerahan yang sempit. Suporter-suporter kita ibarat dipasangi kacamata kuda dengan kebanggaan tim daerahnya.
Mereka tidak tahu bahwa diri mereka ibarat boneka yang tali-talinya digerakkan dari Senayan, untuk keuntungan finansial yang mengalir kembali ke Senayan. Bila pun ada sepuluh atau seratus suporter yang mati konyol akibat bentrokan antarsuporter, hal itu dianggap sebagai hal yang “baik-baik saja” bagi rejim oligarki sepakbola Indonesia. Sepanjang industri sepakbola domestic itu mampu mengalirkan keuntungan kepada mereka.
Kini, akibat krisis finansial global, para sugar daddies sepakbola kita itu kelimpungan. Dalam posisi keuangan yang terhuyung itu maka peran dominan mereka di PSSI, diakui atau tidak diakui, cepat atau lambat, pasti juga memiliki dampak bagi persepakbolaan nasional kita. Domino pertama menunggu jatuh.
Berita lain, walau tidak langsung terkait, kita baca bahwa untuk menyelamatkan kelangsungan tim maka klub elit Persik Kediri sekarang ini bersiap menjual para pemain asing topnya. Dari klub yang sama, kita masih ingat berita mengenai upaya salah seorang pengurusnya yang mencoba melakukan bunuh diri. Bahkan mereka memutuskan untuk tidak mengikuti Copa Indonesia. Virus yang sama juga menyebar ke Solo. Karena dicekam kekuatiran tidak mampu membiayai keikutsertaannya, Persis Solo konon juga telah memutuskan untuk mangkir dari Copa Indonesia.
Sepakbola Indonesia kini gonjang-ganjing, dibelit banyak persoalan yang rumit. Di balik buih-buih busa bahasa hiperbola yang meluncur deras dari mulut-mulut reporter dan komentator sepakbola di ANTV, stasiun televise yang juga milik Bakrie, kini kuat diduga betapa bangunan keropos persepakbolaan Indonesia tinggal menanti rubuhnya saja.
Boleh jadi krisis keuangan global dewasa ini justru merupakan tsunami yang kita nantikan kedahsyatannya, berkahnya dan sekaligus manfaatnya bagi perubahan masa depan sepakbola Indonesia. Pencinta sejati sepakbola Indonesia, mampukah kita mencari inspirasi perubahan dari seorang bekas murid sekolah dasar di Menteng, yang bernama Barack Obama ?
Wonogiri, 19/11/2008
si
Labels: bangkrutnya sepakbola indonesia