Sunday, March 28, 2010 

Tionghoa Surabaya, Sepakbola, dan Suporter Indonesia




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


“Sepak bola,” demikian kata Nelson Mandela, “merupakan aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia.”

Merujuk negerinya dengan sejarah kelam tergencet politik apartheid yang panjang, kemudian bangkit dalam rekonsiliasi, dan di bulan Juni 2010 mendatang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, ucapan Bapak Afrika Selatan itu terasa membiaskan kebenaran. Sepak bola memang mempersatukan dan Indonesia pun sempat merasakannya.

Eduardo Galeano, novelis asal Uruguay dalam Football in Sun and Shadow (2003), yang menulis panorama sepak bola dunia dengan kaya konteks, berdegup dan indah, telah menyandingkan nama Indonesia dalam tiga kali Piala Dunia. Tahun 1938, 1966 dan 1998.

Dirunut dari momen yang mutakhir, bara gairah Piala Dunia 1998 yang kembali diadakan di Paris, ternyata di Indonesia tersaingi oleh kobaran api, derak puing, air mata dan kematian. Peristiwa mengerikan itu akibat politik bumi hangus yang sebagian memakan korban etnis Cina, mengiringi tumbangnya diktator Soeharto.

Surut tiga puluh dua tahun sebelumnya, ketika penyelenggaraan Piala Dunia 1966 di London, Inggris, Indonesia tergenang banjir darah. Noda-noda darah itu tersembunyi mengiringi langkah sepatu lars Soeharto naik ke puncak untuk mencengkeram Indonesia.

Hanya pada tahun yang disebut pertama, 1938, nama Indonesia benar-benar disebut Galeano terkait dalam pesta sepakbola dunia di Perancis itu. Di sinilah ucapan Nelson Mandela boleh jadi punya makna bagi kita. Karena tim yang dikirim ke Perancis itu, walau di bawah bendera pemerintahan Hindia Belanda, terdiri beragam etnis bangsa.


Oportunistis ? Sebuah buku baru yang ditulis R.N. Bayuaji berjudul Tionghoa Surabaya Dalam Sepakbola 1915-1942 (Ombak, 2010), punya cerita menarik. Utamanya, menyebutkan bahwa dalam tim tersebut terdapat pemain orang Belanda, Tionghoa dan Bumiputera (h.88).

Keberadaan tiga etnis tersebut memang mencerminkan trikotomi organisasi sepakbola era kolonial saat itu. NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) untuk etnis Belanda, HNVB (Hwa Nan Voetbal Bond) bagi keturunan Tionghoa dan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) untuk kaum bumi putera. Yang menarik dicatat adalah, menjelang Piala Dunia 1938 tersebut telah terjadi perbenturan kepentingan antara NIVU versus PSSI.

“Pihak PSSI bersikukuh bahwa wakil di Piala Dunia adalah PSSI bukan NIVU, akan tetapi FIFA mengakui NIVU sebagai wakil Dutch East Indies. Ir. Soeratin (Ketua PSSI saat itu) menolak memakai nama NIVU karena ketika NIVU mempunyai hak, maka dalam penentuan komposisi materi pemain yang menentukan adalah orang-orang Belanda. Perjanjian tersebut lantas dibatalkan oleh PSSI.” (h.77-78).

Urusan sepakbola telah bercampur politik, juga nasionalisme. Bagaimana posisi etnis Tionghoa saat itu dalam urusan sepak bola ?

R.N. Bayuaji menyimpulkan, “Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan sepak bola Tionghoa di Hindia Belanda…Akibat perselisihan itu, pemain Tionghoa Surabaya dapat ikut serta dalam rombongan pemain yang memperkuat Dutch East Indies (NIVU) untuk mengikuti Piala Dunia. Kesempatan yang datang mungkin saja tidak akan terjadi untuk kedua kalinya, sehingga bagi sepak bola Tionghoa hal itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin.” (h.87).

Itukah cerminan sikap oportunistis etnis Tionghoa ? Yang senantiasa sigap mengail di kolam yang keruh ? Yang juga terjadi tidak hanya dalam kancah sepak bola, baik di jaman dulu dan juga di masa sekarang ?

Yang menonjol dalam buku yang diterbitkan berdasar skripsi karya R.N. Bayuaji di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu, adalah jajaran fakta upaya untuk naik kelas, upward mobility, bagi etnis Tionghoa sebagai bangsa kelas dua (bersama Arab) melalui jalur sepak bola. Bahkan terungkap ujaran betapa kaum Tionghoa saat itu dinilai “lebih Belanda dibandingkan bangsa Belanda itu sendiri.”

Sementara interaksi mereka dengan bangsa kelas tiga, kaum bumi putera, hanya muncul sekilas-sekilas dan itu pun teramat kabur dalam buku ini. Walau juga muncul jargon nasionalisme dalam sepak bola kaum Tionghoa saat itu, dengan manifestasi aksi penggalangan dana melalui pertandingan sepakbola, tetapi dana itu ternyata digunakan untuk “meringankan beban kesengsaraan” warga leluhurnya di Tiongkok Utara (h.111-112).


Jauh panggang dari api. Dalam konteks di atas, kata pengantar Freek Colombijn, antropolog lulusan Leiden dan mantan pemain bek kanan Harlemsche Football Club di Belanda, membuat saya kecewa berat. Pandangannya bahwa buku ini menekankan bahwa masyarakat Cina, melalui sepak bola, justru terintegrasi dengan masyarakat lainnya, masih jauh panggang dari api.

Entah mungkin karena keterbatasan waktu (dikejar tenggat skripsi) atau visi, interaksi antara etnis Tionghoa dan bumi putera di lapangan sepak bola di era itu sama sekali belum ia gali.

Atau justru dengan teknik reading between the line, mengungkap makna yang tersembunyi, wilayah yang tidak atau belum disentuh penulis itu boleh jadi merupakan cerminan betapa problematika antara etnis Tionghoa dan pribumi sebagai masalah laten yang belum selesai. Hingga kini.

Etnis Tionghoa yang di masa kolonial itu dipatok sebagai bemper pemerintahan Belanda, demikian juga di masa Soeharto, akhirnya stereotip yang melekat adalah kuatnya orientasi mereka untuk lebih dekat kepada penguasa daripada kepada rakyat. Mereka baru ngeh terhadap rakyat bila terjadi kerusuhan dan huru-hara berbau SARA, yang memakan korban dari mereka.

Terakhir, bagi saya yang berkomentar dari kacamata seorang suporter, buku ini juga menyiratkan betapa sejarahwan sepak bola masih belum memasukkan suporter dalam radar dan perangkat rekaman mereka. Bahkan seiring tumbuhnya perkumpulan olah raga di Surabaya oleh etnis Tionghoa saat itu, juga sepakbola, suporter menjadi latar belakang yang kabur. Penjelasan berbunyi, “Konflik yang terjadi berupa perkelahian dan kekacauan karena sepak bola, bahkan kerusuhan antarsuporter, bukanlah suatu hambatan dalam membina dunia persepakbolaan.” (h.81).

Tak ada penjelasan secara rinci, misalnya dengan mengambil rumus penulisan berita 5W+1H terkait dengan kerusuhan suporter tersebut. Apakah melibatkan suporter pendukung tim beretnis Belanda, melawan tim etnis Tionghoa, atau kaum bumi putera ? Semuanya tidak jelas. Atau sebaiknya, kalimat itu dihilangkan saja.

Dalam bingkai itu, buku ini ibarat deretan catatan sejarah jajaran papan-papan nama organisasi sepak bola. Juga nama beberapa stadion. Beberapa nama pemain sepakbola. Tetapi secara keseluruhan papan-papan itu tersalut warna pucat.

Sepi. Tak ada darah, karena nyaris tidak ada cerita-cerita tentang manusia-manusia sepakbola, dialektika dan dinamikanya. Apalagi, sekali lagi, juga tidak ada cerita tentang suporternya, walau seorang Jock Stein, legenda sepakbola Skotlandia bilang bahwa tanpa suporter sepak bola hanyalah omong kosong belaka.

Isi buku ini jelas bukan omong kosong. Mungkin saya menuntut terlalu banyak untuk sebuah karya skripsi. Mungkin itu tugas bagi penulis lain, sejarawan lain, untuk mau menulis kisah sejarah yang disebut sebagai micro history, tentang sosok individu dan jamannya, yang di era digital ini sebenarnya dapat tersaji secara mudah melalui blog-blog pribadi.

Imbauan saya, sobat-sobat para suporter, mulailah menulis sejarah Anda sendiri, dalam blog-blog Anda saat ini. Karena baru-baru ini sebuah koran nasional tiba-tiba menulis masalah mengatasi kerusuhan suporter, tetapi nampak tidak mau menjelajah apa yang pernah dilakukan dan sudah tercatat dalam sepuluh tahun terakhir mosaik-mosaik ikhtiar sebagian individu suporter Indonesia dalam berbenah diri.

Buku yang menambah rak khasanah literatur sepak bola Indonesia. Tetapi karena tidak terdengar gema suara-suara manusia dari sana, saya sebagai tukang cerita merasa tidak mampu menemukan ajaran, hikmah atau pesan yang dapat didaulat sebagai inspirasi bagi sesama pencinta sepak bola di negeri ini.

Misalnya sebagai suntikan bagi kita bersama guna berusaha mengentaskan jiwa dan raga sepak bola kita yang terlalu lama terendam di kolam kotor, akibat meruyaknya budaya korupsi di negeri ini pula.

Dengan sasaran puncak, seturut tutur Nelson Mandela, menjadikan sepak bola sebagai pemersatu dan ajang prestasi beragam etnis bangsa Indonesia guna mengangkat bangsa ini meraih prestasi terhormat di kancah dunia.


Wonogiri, 28/3/2010

si

Labels: , , , , , , , , , , ,

Thursday, March 18, 2010 

Suporter Indonesia, Media Sosial dan Revolusi di PSSI




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



PSSI mungkin bisa bangkrut.
Gara-gara ulah suporter Indonesia.

Kalau selama ini organisasi pimpinan Nurdin Halid itu bisa serta biasa mungkir, cuci tangan, sebagai fihak yang ikut bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan yang menimpa suporter, kini sepertinya tak bisa mengelak.

Federasi Sepakbola Asia telah memutuskan denda ribuan ringgit Malaysia kepada PSSI. Semua itu terjadi karena ulah dungu dan tidak elegan suporter Indonesia saat mendukung timnas futsal Indonesia berlaga melawan Malaysia. Suporter Indonesia itu tidak berdiri, untuk menghormat saat lagu kebangsaan Malaysia diperdengarkan.

Mungkin ini kabar bagus.

Mudah-mudahan pada pelbagai event sepakbola internasional lainnya akan semakin banyak suporter Indonesia yang melecehkan negara lain. Sehingga PSSI kena denda dan denda lagi. Mungkin kemudian solusi yang akan dipilih oleh PSSI adalah kembali mungkir bila peristiwa serupa terjadi. Misalnya dengan berkilah bahwa para suporter Indonesia yang berulah itu “merupakan suporter-suporter liar dan karena itu kami tidak ikut bertanggung jawab.”

Suporter liar. Suporter yang harus dinaturalisasikan, diorganisasikan ? Wacana mengenai topik ini muncul dalam posting sahabat saya, Panji Kartiko di Facebook. Ia menyebutnya dalam salah satu seri artikel-artikel lawas. Kita hargai niat baiknya untuk berbagi wawasan mengenai masalah satu ini. Tulisannya itu melemparkan saya untuk surut ke belakang, di tahun 2000-an.

bambang haryanto,12 juli 2000,hari suporter nasional,aremania,jakmaia,pasoepati,viking

Hari suporter nasional. Tanggal 12 Juli 2000, bertempat di kantor Redaksi Tabloid BOLA, Palmerah Selatan, terjadi momen sejarah bagi perjalanan perkembangan suporter sepakbola Indonesia. Saat itu, sebuah kesepakatan telah diambil, sebagaimana dilaporkan oleh Tabloid BOLA (14/7/2000, foto di atas) tersebut.

“Dalam dialog seusai santap siang, para kelompok suporter pembaru menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional (HSN). Mungkin di antara negara-negara penggila sepakbola, hanya Indonesia saja yang memiliki hari bagi suporter sepakbola.

Kelompok suporter yang bersepakat saat itu adalah Aremania, The Jakmania, dan Pasoepati, yang sudah kerap beraksi dengan segala kreativitasnya, serta Viking Persib Fans Club yang ingin menjejaki langkah langkah ketiga pendahulunya.

‘Kelak tiap tahun kita akan memperingati hari persaudaraan antarsuporter se-Indonesia dengan kegiatan-kegiatan positif bersifat sosial. Kita akan berkumpul lagi seperti ini. Terima kasih kepada BOLA yang telah menjembatani dan memberi perhatian secara aktif terhadap perkembangan suporter di Indonesia,’ papar Bambang Haryanto dari Departemen Humas dan Media Pasoepati.

Bambang-lah yang mengusulkan penetapan HSN dan semua peserta mendukungnya. Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum penyatuan visi dan mempererat tali silaturahmi antarkelompok suporter yang beragam.

Para kelompok suporter diwakili para pentolannya masing-masing. Sebut saja Yuli Sugiarto dan Muhammad Noer dari Aremania. Mayor Haristanto selaku Presiden Pasoepati. The Jak langsung dipimpin Ferry Indrasjarief dan Faisal, sementara Viking diwakili Eri Hendrian dan Nandang Leo Rukaran. Acara dipandu Sigit Nugroho, Koordinator Liputan Sepakbola Nasional BOLA.

Dialog informal berjalan penuh keakraban dalam semangat kesetaraan. Mereka saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dalam mengorganisasikan kelompoknya.

Peserta sepakat bahwa wadah kelompok suporter bisa menjadi sarana untuk menularkan virus positif, seperti persaudaraan, sportivitas, serta antikekerasan. ‘Inilah salah satu cara untuk mengikis sikap fanatisme sempit di kalangan suporter’ sebut M. Noer dari Aremania.”

Setahun kemudian, seperti dilaporkan lagi oleh Tabloid BOLA (14/8/2001), Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) dideklarasikan. Diiringi ilustrasi gegap gempita nyanyian bersemangat dari suporter Jakmania lengkap dengan drumnya, para perwakilan kelompok suporter kita itu menandatangani prasasti saat deklarasinya di Gedung Yayasan Tenaga Kerja (YTKI), Jakarta.

Dalam tabloid tersebut telah pula dikutip pendapat dari mereka yang hadir. Antara lain, Ahmad Lanjir (Laskar Benteng Persita), Andri Kurniawan (Semen Padang Fans Klub), Bambang Haryanto (Pencetus Hari Suporter Nasional), Beni Setiawan (Panser Biru PSIS), Faisal Karim (Persebaya Fans Klub), Ferry Indrasjarief (The Jakmania Jakarta), Heru Joko (Viking Persib), Indra Pangeran (The Macz Man), Lukman (Balad Persib), Mayor Haristanto (Pasoepati), Nurul (Aremania), Prayitno Hadi (PKT Fans Klub) dan juga Reni Rohaeni (Lady Vikers). Tokoh kunci yang tidak dikutip, tetapi penting adalah Eko Haryanto (Bonekmania Persebaya).


Bawa pulang Alya Rohali. Semangat untuk merayakan pendirian dan meneguhkan eksistensi ASSI tersebut bahkan diusung dalam acara kuis di televisi, Siapa Berani ?, di Indosiar, 12 Maret 2002. Dalam kuis itu para pentolan ASSI bertanding adu cerdas melawan kelompok suporter The Aremania (Malang), Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo), dan Viking (Bandung).

Saya, Taufik Ismail (almarhum), dan Ryan yang saudaranya Panji, Sigit Nugroho, dan Erwin Fitriansyah, masuk kelompok ASSI. Kami berlatih di sekolahnya Sherina, berkat bantuan Eko Haryanto Bonek yang guru di sekolah itu. Sementara Panji dan Gigi bergabung di kubu Pasoepati, baik yang datang khusus dari Solo mau pun dari Pasoepati Jakarta. Itulah sepotong masa-masa indah sebagai suporter sepakbola.

Slogan ASSI di acara kuis itu adalah, “Bawa Pulang Alya Rohali.” Alya bersama Helmy Yahya adalah host acara. Slogan itu tertera di kaos dan juga dalam lirik lagu kami. Saat latihan sebelum pentas, floor director acara itu senyum-senyum mendengar slogan kami. Di Jakarta Post Helmy Yahya bilang, “penampilan kelompok suporter itu merupakan salah satu acara Siapa Berani ? yang paling baik.”

Tetapi polesan bedak ala Helmy Yahya itu seperti tidak berarti apa-apa. Ketika seusai acara, kantin Indosiar menjadi ajang perang berupa olahraga baru. Berwujud lempar-lemparan kursi dan hujan umpatan antara suporter Jakarta melawan Bandung.

Bahkan kemudian terjadi aksi pencegatan, penganiayaan, dan bahkan diduga juga penyerobotan harta benda, ketika kelompok suporter Jakarta mencegat mobil suporter Bandung. Kasus ini dilaporkan kepada polisi, tetapi segera dilupakan oleh jaman. Kecuali dendam kesumat yang membara di dada yang merasa teraniaya.

Tiang dan pilar yang didirikan atas nama persahabatan antarsuporter yang diharapkan mampu menyangga rumah ASSI, robohlah sudah. Tindak kerusuhan, anarkis dan tawuran antarsuporter sepakbola di kancah sepakbola Indonesia bahkan semakin menjadi merajalela.


Binatang jadi-jadian. Tindak anarkis seusai mengikuti acara kuis di Indosiar di atas tadi merupakan perbuatan kelompok suporter “resmi,” bukan “liar.” Karena pentolannya ikut pula aktif berperan serta. Jadi hemat saya, pembuatan batas antara suporter resmi dan suporter liar, tak mudah dilakukan.

Keterlibatan individu dalam organisasi kelompok suporter bersifat cair. Bisa masuk, keluar, patuh atau tidak patuh, semuanya bebas saja dilakukan. Setiap waktu. Kita para suporter ibarat pasir dalam sebuah mangkuk. Sepertinya bersatu, tetapi senyatanya terpisah-pisah.

Jadi impian teman-teman dan juga impian saya di tahun 2000an tentang eksistensi ASSI, boleh jadi dipandu niatan bawah sadar untuk meniru organisasi semacam KNPI, AMPI, dan sejenisnya. Organisasi seperti ini sebenarnya merupakan jenis binatang jadi-jadian. Ia sengaja dibentuk sebagai alat pemerintah Orde Baru untuk mengontrol generasi muda.

Organisasi seperti itu diberi restu, diberi dana, pimpinannya harus cocok sama pemerintah. Tetapi sekaligus dibuat gemuk, malas, sehingga tidak muncul fikiran-fikiran kritis terhadap pemerintah otoriter yang memberi mereka segalanya. Pimpinan organisasi semacam seringkali merupakan kader, calon untuk menduduki kursi-kursi menteri dalam pemerintahan.

ASSI tidak memiliki kemewahan seperti itu. Maka wajar, bila organisasi yang berilusi sebagai payung organisasi suporter sepakbola Indonesia itu kini hanya tinggal sebagai kenangan. Bahkan ketika hiruk-pikuk wacana konggres atau sarasehan yang digagas oleh PWI untuk mengoreksi kondisi persepakbolaan nasional, di Malang, Maret 2010 ini, tak ada suara suporter yang ikut berbunyi di media massa. Padahal sebagai salah satu pilar industri sepakbola, bila suporter bersepakat melakukan boikot total, tidak menonton sepakbola, dampaknya akan luar biasa.

Tidak ada atau tidak eksisnya ASSI di saat-saat genting persepakbolaan nasional seperti dewasa ini, kiranya tidak perlu diratapi. Pakar ekonomi atensi, Michael H. Goldhaber, menegaskan betapa di tengah era maraknya beragam media sosial yang membuka seluas-luasnya transparensi, baik itu media blog,Facebook sampai Twitter, memang membuat organisasi menjadi tidak terlalu penting lagi.

Tembok-tembok organisasi birokrasi bahkan sampai universitas pun, menurutnya, kini menjadi bangunan yang serba tembus pandang. Orang-orang semakin saling berhubungan dengan orang. Bukan dengan organisasi. Sehingga kini adalah jamannya para tokoh. Juga jamannya gagasan. Para tokoh dan pemilik gagasan itu tergabung dengan entourage-nya dalam komunitas atau jaringan yang lebih egaliter, yang diikat oleh kesamaan visi dan cita-cita.

Seorang jenius pemasaran dunia digital paling moncer saat kini, Seth Godin menyebut kondisi di atas sebagai era keemasan bagi cheap leader, pemimpin “murahan.” Karena menurutnya, di luaran sana, terdapat ribuan atau jutaan orang yang menanti hadirnya pemimpin-pemimpin mereka. Modal sang pemimpin itu hanyalah gagasan yang visioner dan mampu menular sebagai ideavirus. Bukan lagi pangkat, wibawa atau duit milyar-milyaran.

Kasus demo maya yang masif dalam membela Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah sampai Prita Mulyasari, merupakan contoh betapa kita orang-orang biasa mampu melakukan sebuah “revolusi.” Apalagi hanya melawan ide dangkal seperti RPM Konten-nya seorang menteri baru yang beraksi sebagai penangkal petir (silakan baca Richard W. Brislin dalam The Art of Getting Things Done : A Practical Guide to the Use of Power, 1991), yang semata dicuatkan untuk mengurangi tekanan publik kepada bosnya yang tersudut akibat skandal Bank Century.

Suporter memang kelompok liar, apalagi bila sedang berkerumun. Menghimpun mereka, menjinakkan atau menaturalisasikan mereka seperti halnya ulah pemerintah Orde Baru terhadap KNPI, AMPI atau Pam Swakarsa (termasuk pelaku demo bayaran dengan sosok-sosok anak-anak pelajar ), adalah suatu kemustahilan. Mengatur suporter itu seperti menggembala kucing.

Sehingga tindak kerusuhan demi kerusuhan oleh mereka, termasuk hilangnya nyawa suporter sepakbola kita secara sia-sia, akan menjadi daftar yang pasti semakin panjang saja di kemudian hari. Demikian pula semakin banyaknya kerusuhan dilakukan oleh para suporter kita di luar negeri, membuat semakin banyak denda yang akan dijatuhkan kepada PSSI, juga membuat semakin sering pula dilarangnya tim-tim Indonesia bertanding di luar negeri.

Mungkin terasa sinis, tetapi barangkali itu justru merupakan kabar yang baik. Memang ini suatu gagasan yang berlandaskan pada rasa putus asa dan tiadanya harapan bagi masa depan sepakbola Indonesia. Biarlah sepakbola Indonesia dan suporternya terpuruk sampai kedasar, dan barangkali sesudahnya akan muncul arus balik. Sesuatu aksi yang radikal.

Karena tanpa aksi radikal, para pemangku kepentingan sepakbola kita akan terus merasa nyaman walau dengan keadaan di saat penyakit kanker yang menggerogoti sepakbola kita sudah mencapai stadium yang sudah sangat lanjut. Kanker itu, tak jemu saya sebut, adalah : korupsi, korupsi dan korupsi.

Aksi radikal itu kini tinggal bersandar kepada pemanfaatan media-media sosial. Semakin masifnya suporter atau pencinta sepakbola memiliki blog, mengelola akun Facebook dan Twitter, semua itu boleh jadi merupakan ujung lorong yang cerah bagi masa depan sepakbola kita.

Alasannya, pertama, kita dapat merujuk ujaran seorang blogger, mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo dan kini peneliti di Harvard, Rebecca McKinnon. Ia bilang bahwa seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut.

Bahkan mereka memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik. Semakin mendalamnya pengetahuan para suporter sepakbola kita, yang juga meningkat secara kuantitatif itu, akan memberi bobot wacana yang lebih signifikan guna menemukan solusi secara masif dan demokratis dari problem sepakbola kita. Lokal dan nasional.

Ijinkanlah saya bermimpi, alangkah hebatnya bila semakin banyak suporter sepakbola kita yang mau menjadi seorang blogger. Kita semua bisa menulis apa saja, tentang sepakbola Indonesia. Termasuk mengritisi pengelolaan sepakbola kotanya, syukur-syukur pula sampai mau berpikir berlingkup nasional, juga mendunia.

Seorang jenius dalam bidang perangkat lunak open source, Linus Torvald, telah dikutip oleh Eric Steven Raymond dalam makalahnya yang terkenal, The Cathedral and the Bazaar (1999), tentang tesis sentralnya yang berbunyi : "given enough eyeballs, all bugs are shallow." Oleh Raymond proposisi ini disebutnya sebagai Hukum Linus Pertama.

Maknanya adalah, bahwa semakin luas tersebarnya sumber-sumber kode (perangkat lunak) untuk diakses, dipelototi, dikaji dan dilakukan percobaan oleh masyarakat, maka semakin cepat pula semua bugs, cacat cela, dari perangkat lunak itu mudah ditemukan untuk dibereskan.

Pesan Hukum Linus itu bagi kita, sesama suporter sepakbola adalah : semakin banyak suporter sepakbola kita menjadi blogger, semakin banyak mereka mampu menulis tentang segala seluk beluk pengelolaan sepakbola Indonesia, maka semakin mudah dikuak pula adanya beragam tindak kriminal yang selama ini diam-diam menjadi kanker yang menggerogoti jiwa dan raga sepakbola kita.

Kedua, kita bisa catat apa yang Churchill bilang, “to jaw-jaw is always better than to war-war.” Adu bacot lebih baik dibanding adu otot. Adu olok lebih baik dibanding adu golok. Melalui pemanfaatan media sosial, kita para suporter misalnya, dapat mencontoh aksi suporter Glasgow Celtic vs Glasgow Rangers di Skotlandia.

Perseteruan mereka yang bahkan berlandaskan agama pun, tetapi perang mereka meledak di dunia maya dengan canda, secara berbudaya. Tak ada darah tertumpah. Suporter Indonesia harus pula bergerak ke arah sana.

Ketiga, melalui media sosial pula kita dapat diasah untuk berpikir dan memiliki wawasan yang lebih luas dari sekadar pikiran sempit tentang haus kemenangan atau pun merasakan pedih akibat kekalahan klub-klub yang kita dukung. Sikap katak dalam tempurung itu, harus disingkirkan.

Di tengah atmosfir penyelenggaraan Piala Dunia 2010 bulan Juni mendatang, marilah kita merenung, di mana posisi persepakbolaan kita saat ini ?

Sejak tahun Piala Dunia di Paris 1938, saat itu Indonesia masih masuk sebagai negara jajahan Belanda, Indonesia tak pernah masuk lagi sebagai finalis Piala Dunia.

Saya sendiri pernah ikut mendukung timnas pada turnamen tingkat Asia Tenggara pada final Piala Tiger 2004 di Singapura, sambil mengusung spanduk “Bangkit Indonesia !” (foto) harus belajar menelan kecewa. Ponaryo Astaman dan kawan-kawan kalah di kandang atau pun di tandang melawan sang juara Singapura !

Suporter sepakbola Indonesia, marilah bermimpi agar timnas kita berhasil menapak pentas dunia. Langkah pertama untuk itu, marilah bergerak untuk ikut serta membersihkan bugs pada tubuh PSSI kita. Manfaatkan media-media sosial itu secara bijak dan bermanfaat untuk mempercerdas diri, di mana hal itu kini dibutuhkan untuk menggulirkan revolusi. Target kita dalam jangka pendek adalah : memensiunkan Nurdin Halid dan kroni-kroninya dari kursi PSSI.

Karena mereka bercokol di PSSI semata untuk mempertahankan sumber uangnya, sementara urusan tentang prestasi adalah masa bodoh, kita bisa mengumpulkan koin demi koin untuk bekal pensiun mereka. Agar di ujung ikhtiar ini rakyat Indonesia mampu merebut haknya, untuk memiliki PSSI-nya kembali !

Sahabat-sahabat sesama suporter sepakbola Indonesia, saya berbangga bisa berbagi impian dengan Anda.

Anda ikut menentukan masa depan sepakbola Indonesia ! Sebagai pemangku kepentingan sepakbola Indonesia, kini saatnya Anda ikut bergerak. Yaitu bergerak dalam merevolusi tubuh PSSI saat ini. Dengan cara yang mudah. Silakan klik di sini Lalu tulislah tanggapan Anda. Sekarang juga !

Dengan cara itu maka bola salju gagasan revolusi kita tersebut akan mampu bergulir lebih cepat, menyebar, serta meluas, sehingga tepat pula dalam melabrak sasaran demi kejayaan kembali sepakbola Indonesia !


Wonogiri, 18 Maret 2010

Labels: , , , , , , , , , , ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates