Thursday, February 04, 2010 

Budaya Selebritis Cengkeram Jantung Sepakbola Kita




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


nurdin halid gagal di pssi

Impian saya gagal.
The Henin Syndrome hanya membuahkan kesedihan.

Kisah dongeng dua petenis Belgia yang come back dan meraih juara, tak terjadi. Kim Clijsters telah sukses di Amerika Serikat Terbuka 2009. Tetapi Justine Henin kandas di tangan Serena Wiliams di final Australia Terbuka 2010 (30/1/2010).

Toh Henin menerima kekalahan itu dengan mengesankan. Mengingatkan ujaran ratu tenis dunia era 70-an, Chris Evert : “Bila kau mampu bereaksi sama baik ketika menang atau kalah, itu prestasi yang luar biasa. Kualitas tersebut penting karena akan selalu bersamamu pada sepanjang hidup dan karena akan hadir kehidupan di luar tenis yang jauh lebih panjang dibanding kehidupan bermain tenis.”

Tak ada gurat kekecewaan di wajah Henin. Setelah memperoleh nampan perak sebagai penanda juara kedua dari legenda tenis Australia, Margaret Court, Henin antara lain mengatakan tekadnya : “Sampai jumpa tahun depan.” Ia yang selama permainan nampak condong didukung audiens, memperoleh tepuk tangan meriah dari penonton.

Sementara itu Serena Williams yang mencoba bercanda tentang tangannya yang penuh membawa piala dan boneka, “sehingga cek hadiah saya terpaksa saya tinggalkan di meja,” tidak memperoleh sambutan apa pun.


Piramida Maslow. Saat upacara itu saya baru ngeh tentang adanya perbedaan unik dalam upacara selebrasi para pemenang. Misalnya apa yang terjadi di pentas tenis Australia Terbuka itu dengan memperbandingkan, misalnya, dengan turnamen bulutangkis atau liga sepakbola di Indonesia.

Di Australia itu, hadiah uang diwujudkan berupa cek yang dimasukkan dalam amplop. Sementara di Indonesia, saya juga pernah dua kali mengalaminya sendiri di panggung tingkat nasional, nilai nominal hadiah uang dan nama sponsor selalu tertera dalam sebuah giant check yang mencolok mata.

Ironinya, oleh para fotografer media, benda satu itu justru selalu mereka usahakan untuk tidak bisa masuk dalam jepretan kamera mereka !

Apakah perbedaan itu menyimbolkan pandangan yang berbeda tentang uang. Di Australia, apakah “uang itu tidak lagi penting,” dan sementara di Indonesia, “uang adalah segala-galanya ?”

Wartawan olahraga Kompas, Samsul Hadi (30/1/2020) ketika mengupas kebobrokan penyelenggaraan olahraga sepakbola kita selama ini, telah mengutip pendapat Peter Withe yang terpajang di situs Goal.com (27/1/2010). Pria Inggris yang sukses gemilang melatih timnas Thailand tetapi gagal mengangkat prestasi timnas Indonesia, di Hotel Amara, Tanjong Pagar, Singapura (16/1/2005) dengan senang hati menuliskan tanda tangan di kaos saya yang bertuliskan “I Believe The Withe Magic, ” mengatakan hal menarik :

“Pemain Thailand termotivasi bermain demi Raja dan negara. Banyak pemain Indonesia yang menyedihkan, termotivasi oleh uang.”

Lalu saya teringat Piramida Maslow (1954) mengenai hirarki kebutuhan hidup manusia. Berdasar tesis Maslow tersebut maka motif para pemain sepakbola kita nampaknya berada pada piramida tingkat terbawah. Motif mereka bersepakbola semata demi pemenuhan kebutuhan fisiologis manusia yang bersifat primitif.

Meliputi pemenuhan agar terhindar dari rasa lapar dan haus, kebutuhan yang relatif sederhana, sekaligus mementingkan diri sendiri, dan yang paling pokok untuk mendukung kelangsungan hidup itu sendiri. Sementara pemain bola Thailand, bermain dalam tataran yang jauh lebih tinggi, di puncak Piramida Maslow : untuk aktualisasi diri.

Melihat contoh kasus beberapa klub yang berlaga di tingkat atas tetapi terlambat membayar gaji kepada pemain, membuat tuntutan primitif semacam itu dapat dimaklumi. Tetapi bagaimana kalau kebutuhan primer dan bahkan tersier mereka terpenuhi, mereka dapat memiliki rumah, mobil dan tabungan, sementara prestasi tinggi tak juga dapat mereka raih ketika berkostum tim nasional berlambangkan Garuda ?

Ini masalah isi dalam batok kepala.

Bukan semata kepala mereka yang para pemain tersebut, tetapi terutama pada kepala para pengurusnya di kantor PSSI. Para pengurus itu saya suka menyebutnya sebagai para sugar daddy, para bos-bos yang punya banyak uang.

Dari pelbagai kebijakan yang mereka tempuh kita mencatat bahwa mereka cenderung memiliki perspektif bahwa prestasi itu dapat pula mereka beli dengan uang. Pengiriman tim ke Primavera Italia dan yang terbaru ke Uruguay merupakan cerminan sikap mental para sugar daddy itu.

Solusi budaya selebritis !

Dua budaya. Kalangan sosiolog berpendapat bahwa di dunia saat ini sedang bertempur antara dua budaya. Yaitu budaya hero, pahlawan, melawan budaya pesohor, selebritis. Budaya hero bercirikan suatu upaya pencapaian prestasi dengan bekerja keras, tekun, sabar, berproses langkah demi langkah, alami dan memakan waktu.

Hal universal ini, menurut Stephen R. Covey dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People (1989), berlaku untuk semua tahap kehidupan, pada semua bidang perkembangan. Apakah belajar main piano atau berkomunikasi. Juga berlaku untuk setiap individu, dalam perkawinan, keluarga, atau pun organisasi.

Prinsip atau fakta mengenai pentingnya proses ini kita fahami dan kita terima bila berlaku pada bidang yang bersifat fisik. Tetapi untuk memahaminya di bidang emosional, hubungan antar manusia dan bahkan dalam karakter pribadi, ternyata tidak mudah dan lebih sulit. Bahkan ketika pun kita memahaminya, menerimanya dan hidup selaras dengan prinsip tersebut, ternyata merupakan hal yang lebih sulit lagi.

Akibatnya, kita selalu mudah tergoda untuk mencari terobosan, jalan pintas, mengharap dengan melompati beberapa langkah vital guna menghemat waktu dan usaha, tetapi tetap mampu meraih hasil yang maksimal.

Sikap mental getol mengambil jalan pintas, itulah perwujudan budaya selebritis, yang cenderung ingin sukses secara instan dengan mengingkari proses alami suatu perkembangan. Anda ingin kaya raya tanpa perlu dibarengi kerja keras dalam waktu lama ? Maka tak ayal, mewabahlah budaya korupsi.

Ingin nampak berpendidikan tinggi, tetapi tak mau bersusah payah berkuliah dan membaca-baca literatur tebal ? Budaya jual-beli gelar akademi palsu meruyak dimana-mana. Sehingga pantaslah kalau kalangan sosiolog menyimpulkan betapa budaya selebritis itu berimpit ketat dengan budaya kriminalitas.

Sekali lagi : budaya kri-mi-na-li-tas !

Jadi, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, menjadi tidak aneh bila dalam tubuh PSSI terdapat petingginya yang pernah tersangkut dalam tindak kriminal, korupsi. Hebatnya lagi, walau mengaku gagal memimpin PSSI (Kompas, 2/2/2010), tetapi dirinya tetap saja emoh untuk mengundurkan diri.


Wonogiri, 4 Februari 2010

Labels: , , , , , , , , , ,

Tuesday, February 02, 2010 

Kutukan Empu Gandring dan Suporter Sepakbola Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Kutukan Empu Gandring masih bersama kita.
Vengeance. Revenge. Vendetta.

Mata balas mata. Darah balas darah. Tangan balas tangan. Nyawa balas nyawa. Bakar balas bakar. Luka balas luka.

Seorang teman saya, Bakhuri Jamaluddin, punya daftar lebih panjang (termasuk melebihi 4 gelar akademisnya, plus gelar haji) tentang fenomena mengerikan di atas. Ia yang seusai kuliah di tahun 1980-an pernah mengajak saya ke Kuningan untuk menonton tim sepakbola putri, Buana Putri, karena kiper cantiknya Muthia Datau yang juga artis, yang kemudian menjadi istri aktor Herman Felani.

Juga sama-sama menonton ke Senayan untuk menyaksikan timnas Indonesia draw 3-3 melawan tim Corinthians dari Brasil yang dimotori dokter berbadan burung bangau yang memiliki operan back heel yang ajaib, termasuk ketika menjagal tendangan penalti : Socrates. Termasuk berbagi trik a la Indonesia tentang bagaimana bila kita ingin menjadi seorang wasit yang segera mudah terkenal.

Bakhuri bilang : “Bayar saja pemain untuk memukuli diri kita !”

Bakhuri kini bicara tentang suporter sepakbola Indonesia. Tulisnya : “Oh ya, bagaimana masalah suporter sepakbola ? Kini kok jadi tren ya, tawur antarsuporter, tawur suporter vs warga sekitar stadion, tawur suporter sesama klub yang sama, tawur suporter Persija vs warga Ciputat, tawur suporter Persitara vs warga Kuningan Jakarta Selatan, dan tawur bonek vs stasiun kereta api, bagaimana ini ?

Aneh lagi, jenis sanksi yg diterapkan adalah PERTANDINGAN SEPAKBOLA TANPA PENONTON. Aneh tapi nyata ! Pasti BH bisa mengupas masalah tersebut !"

Terima kasih, Bakhuri.

Saat insiden rombongan kereta api bonek Surabaya-Bandung pp mencetuskan huru-hara, harian Jawapos memuat artikel Dr. Sonny Elizaluchu, MA, berjudul “Kekerasan kolektif bonek” (Jawapos, Senin, 25 Jan 2010 : 6). Hari Minggu, 24/1, saya mengirimkan artikel ke koran Solopos berjudul “Ancaman Bonek dan Sepakbola Kita,” tetapi nampaknya malah tidak dimuat.

Berita terbaru di Suara Merdeka kemarin (1/2/2010), oknum suporter Semarang ditangkapi karena melempari bis yang ditumpangi suporter Persijap, Jepara. Harian Jawapos (1/2/2010) lalu menyajikan bahasan fenomena aksi anarkis bonek, suporter Persebaya, dalam pandangan guru besar UNAIR emeritus, Prof. Sutandyo [“kalau kau masih ingat, istri beliau, almarhumah Ibu Asmi Tandyo yang ramah itu, pernah menjadi muridku dalam mata kuliah Media Teknologi, di JIP-FSUI”).

Insiden saat rombongan kereta api bonek Surabaya-Bandung pp yang diadang masyarakat Solo yang marah (“lalu diberi label sebagian dari mereka adalah suporter Pasoepati asal Solo”), 23-24/1/2010, juga mengimbas kepada diri saya. Kolom boks bengok blog saya, Suporter Indonesia ramai dengan komentar berisi sebutan binatang yang menyalak.

Lucunya, pengirimnya yang berlabel “pasopati anjink” tetapi isi pesannya berupa omelan tentang “diri sendiri” : “Pasopati emang idiot, masa kereta GBM yang isinya penumpang biasa di lempari dan dibakar, isinya banyakan ibu2x dan anak2. Dimana nurani anda?”

Saya ikut sedih.
Saya pun prihatin atas kejadian di atas.

Pasoepati yang berbuat anarkis, juga harus dikutuk. Bahkan harus pula dihukum, seperti suporter Solo yang pada tahun 2000 berbuat anarkis dengan membakar mobil milik pendukung Semarang. Ia meringkuk selama 20 bulan di penjara. Aksi hukum tegas ini, sayangnya tak pernah merembet ke kota-kota lain.

Berbicara tentang nurani kelompok suporter, sebuah definisi berikut ini mudah-mudahan dapat menjelaskan. Bahwa gerombolan orang-orang atau mob adalah : an angry group with many hands but no brains. . Gerombolan merupakan sekelompok orang yang marah, yang memiliki banyak tangan tetapi sama sekali tidak memiliki otak.

Kalau Anda belum pernah menjadi suporter sepakbola secara total, Anda pasti belum merasakan ekstasi ketika kita tidak memiliki otak sama sekali. Atau bila masih punya, tinggal otak reptil kita yang masih bekerja. Itu otak paling primitif, sumber dari rasa ketakutan.

Tetapi karena kita saat itu bersama-sama : siapa takut ? Saat itu identitas diri kita lumer, atau hilang tak berbekas, kita semua lebur menjadi sebuah kelombok tribal, suku, dengan mata hanya mampu melihat bahwa suporter lain sebagai lawan yang harus kita basmi.

Untuk teorinya, carilah nama Gustave LeBon. Atau bertanya ke Mas Ito, Prof Sarlito W. Sarwono. Atau kawan saya Aji Wibowo, lulusan Sosiologi UGM yang menulis skripsi tentang denyut persaingan suporter sepakbola di Yogyakarta.

Kasarnya, saat kita bersama itu, demi sepakbola pun kita rela mati.

Yang terjadi kemarin, memang terdapat suporter bonek yang mati. Tercatat dalam tur Surabaya-Bandung 23-24/1/2010 ada yang meninggal di Madiun dan juga Purwokerto. Mereka naik di atas gerbong, lalu terjatuh kena portal. Mati yang mengenaskan.

Mungkin seperti juga nasib Beri Mardias, suporter PSP Padang asal Jatiwaringin yang tewas dikeroyok suporter Persija, tepat hari ini (2/2) 8 tahun yang lalu. Atau suporter Persija, Fathul Mulyadin (6/2/08) yang tewas dikeroyok suporter Persipura. Keduanya terjadi di Senayan. Masihkah kita mengingat mereka itu sebagai manusia ?

Mungkin tidak. Suporter sepakbola itu, ketika bersama, oleh orang lain dan oleh orang kebanyakan, seringkali bukan lagi disebut sebagai manusia. Tetapi sebagai gerombolan. Berandal. Orang-orang jahat. Yang harus mereka hindari. Orang-orang yang terkena penyakit lepra. Hina. Petugas keamanan pun hanya akan melihatnya sebagai musuh. Atau bahkan sebagai sampah.

Sebaliknya, media massa menyukai gerombolan suporter tersebut. Suporter yang naik di atas bis Mayasari, metromini Jakarta, atau di atas gerbong KRL, merupakan gambar yang catchy dan seksi untuk liputan mereka. Saya pernah mendengar seorang wartawan bilang : “Saya tidak tahu menahu tentang sepakbola. Saya dirikim ke stadion untuk berharap akan ada kerusuhan saja.”

Apalagi bila dalam kerusuhan itu ada atau banyak yang mati karena ulah ceroboh para suporter itu, wartawan dan media akan menyukainya.

PSSI juga menyukai aksi kerusuhan suporter ini. Termasuk aksi seorang suporter idiot yang masuk lapangan saat tim nasional kita kalah melawan Oman. Media-media massa kita yang juga ketularan wabah idiot justru mengglorifikasikan ulah bodoh semacam itu sebagai perbuatan hero.Katanya, ulah itu sebagai koreksi bagi PSSI dalam pengelolaan sepakbola Indonesia.

Aksi rusuh suporter itu membuat PSSI “punya kerjaan,” termasuk punya “proyek” bagi mereka. Minimal, pekerjaan menjatuhkan sangsi yang tidak bergigi bagi tim yang suporternya rusuh. Dalam bingkai besar, aksi anarkis suporter merupakan bom asap untuk mengalihkan perhatian masyarakat, sekaligus sebagai tabir untuk menutupi jeblognya kinerja Nurdin Halid dan kroninya selama ini mengelola PSSI.

“A riot is at bottom the language of the unheard.”
Kerusuhan merupakan inti bahasa mereka yang tidak terdengar.

Kata-kata pejuang hak sipil AS, Martin Luther King (1929–1968) itu membias dalam analisis Prof. Sutandyo tentang bonek. Saya kutip dari buku yang berjudul Bonek : Berani Karena Bersama (1997). Buku yang menghimpun 14 karya tulis pelbagai kalangan ini mungkin satu-satunya buku yang membahas fenomena suporter sepakbola di Indonesia.

Bonek memang bikin kita semua pusing”, keluh Soetandyo Wignyosoebroto, guru besar emeritus Universitas Airlangga. “Tetapi mereka harus direngkuh. Anak-anak itu merupakan bagian dari warga masyarakat kita yang terampas, baik sumber dayanya, pendidikannya, asosiasi sosialnya, dan pertumbuhan kejiwaannya” (h. 13).

Suporter Solo, Pasoepati, 6 April 2000, pernah merengkuh bonek dengan cinta. Dengan penghargaaan. Kami menyambutnya secara baik-baik di Solo. Kemudian saat Pasoepati melurug ke Surabaya dengan mencarter kereta api 12 gerbong, a real glorious journey, untuk menyapa hati suporter tim asal Kota Pahlawan itu. Pasoepati saat itu membawa tagline yang dikreasi presidennya, Mayor Haristanto : “From Solo With Love.”


Dalam perjalanan, ketika tiba di Surabaya, saat bertanding, dan saat pulang, semua relatif aman dan damai. Esoknya, koran Surya (7/6/2000) terbitan Surabaya memajang foto indah : senapan otomatis anggota Brimob yang menjaga keamanan bersematkan rangkaian bunga ungu, yang kami bagi-bagikan sepanjang jalan saat Pasoepati melakukan long march,, Stasiun Gubeng-Tambaksari.

Tetapi bangunan persahabatan antarsuporter itu, juga dengan suporter lainnya, yang kami gelontorkan saat itu berdasarkan ide mulia bahwa sepakbola tak ada apa-apanya bila tanpa suporter, kini rupanya kembali lagi menjadi abu. Revolusi suporter atraktif dan bukan destruktif itu, semakin tahun tidak semakin terang nyalanya.

Di tahun 2000-an di mana saya sebagai salah satu pelaku di antara kawan-kawan seperjuangan dalam pengejawantahan gagasan itu, dalam bingkai revolusi yang dimulai dari isi kepala, antara lain dengan mencetuskan tanggal 12 Juli sebagai hari Suporter Nasional yang tercatat di MURI. Kini cita-cita itu ibarat hanya sebagai bangunan kertas belaka.

Demikian pula pesan-pesan indah dan bernas dari filmnya Andibachtiar Yusuf, Romeo dan Juliet, juga hanya ibarat olesan balsem dalam psike komunitas suporter kita.

Bangunan yang dibuat oleh tukang kayu yang terampil pun akan mudah roboh oleh sepakan segerombolan keledai. Apalagi oleh keroyokan berandal sepakbola, yang menurut ujaran penyair dan nasionalis Skotlandia Hugh MacDiarmid (1892–1978) disebut : “fanatisme dalam sepakbola dan intelektualitas yang tinggi jarang berjalan bersama.”

Justru mungkin karena rendahnya kadar intelektual tersebut yang membuat gerombolan beringas menarik untuk sengaja dipelihara. Oleh aktor-aktor intelektual tertentu. Dalam wawancara dengan jaringan Radio 68 H yang disiarkan secara nasional (5/1/2007), saya menyatakan kelompok suporter sepakbola Indonesia kebanyakan tidak independen.

Pentolannya, mencari uang (recehan) dari klub. Pentolan itu kebanyakan, walau tidak semuanya, adalah para gali. Dalam posisi seperti ini, kelompok suporter yang masif itu mudah digunakan untuk ditekak-tekuk guna mendukung agenda bos klub bersangkutan, di luar masalah sepakbola. Misalnya, untuk memenangkan pilkada.

Suporter sepakbola kita memang tidak hidup dalam ruang hampa. Penyakit kerusuhan yang kronis itu, sejatinya menguntungkan beberapa fihak tertentu. Fanatisme mereka yang dipicu oleh rasa lapar, fisik sekaligus batin, merasa tidak berharga, sementara dalam hatinya selalu berkobar api untuk melakukan balas dendam, menggiurkan banyak fihak yang berkepentingan untuk menungganginya.

Sehingga, lihatlah, terus saja terjadi pembiaran saat terjadi pelbagai aksi mereka : Mata balas mata. Darah balas darah. Tangan balas tangan. Nyawa balas nyawa. Bakar balas bakar. Luka balas luka.

Padahal seorang satiris Romawi, Juvenal (60-130 Masehi) mengatakan : “Sejatinya, tindakan balas dendam merupakan kenikmatan bagi mereka yang papa, lemah dan tipis nuraninya.”

Itulah wajah Indonesia masa kini.

Kutukan Empu Gandring tak hanya berkobaran di dunia suporter sepakbola, tetapi mudah pula ditemui di mana-mana. Dalam pelbagai sendi kehidupan bangsa ini pula.


Wonogiri, 2 Februari 2010

Labels: , , , ,

Monday, February 01, 2010 

Revolution in the Head : The Beatles, PSSI dan Kita



Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


The 1966 World Cup 1966 :
“…the entire world humming Beatles tunes, the eight World Cup got underway.”

The 1966 World Cup 1970 :
“The world lost its music : the Beatles broke up, due to an overdose of success, and due to an overdose of drugs guitarist Jimi Hendrix and singer Janis Joplin took their leave.”

Petikan dari isi buku Football in Sun and Shadow.
Buku sepakbola yang indah.

Buku karya novelis Uruguay itu, Eduardo Galeano, terbit tahun 2003. Buku ini hadiah dari sineas dan evangelis sepakbola Indonesia, Andi Bachtiar Yusuf. Saya terima lewat istrinya, mBak Tika, 29 Maret 2006, di “Piccadily Circus” (proliman), bukan di London tetapi di Sukoharjo.

Untuk menulis buku setebal 226 halaman itu, setelah saya hitung-hitung terdapat 152 rujukan. Sebagian besar berupa buku dan belasan lainnya dari artikel, baik surat kabar dan majalah. Terdapat rujukan dari The Comedy of Errors dan King Lear, dua naskah drama William Shakespeare, buku karya antropolog Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981), sampai buku tentang holiganisme Bill Bufford, Among the Thugs (1992).

Rujukan-rujukan itu benar-benar telah memperkaya konteks cerita tentang sesuatu peristiwa sepakbola. Dalam buku ini pun, misalnya, Indonesia juga masuk dalam cerita tentang peristiwa sepakbola dunia. Yaitu terkait Piala Dunia tahun 1938, 1966 dan 1998.

Tahun yang pertama, Indonesia bisa ikut Piala Dunia 1938 di Paris tetapi masih berada dalam kungkungan penjajah Belanda. Selain kedua tahun sisa itu, yaitu tahun-tahun penyelenggaraan Piala Dunia sampai Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan nanti, tak ada lagi cerita tentang sepakbola Indonesia di dalamnya.

Tetapi terkait Piala Dunia 1966 itu Galeano telah menulis : “the military were bathing Indonesia in blood, half a million, a million dead, who knows how many, and General Suharto was inaugurating his long dictatorship by murdering the few reds, pinks or questionables still alive.”

Tahun 1998, ia menulis lagi tentang Suharto. “Asian stock markets lay prostrate, as did the long dictatorship of Suharto in Indonesia, emptied of power even while his pocket remained heavy with the sixteen billion dollars power had placed there.“

Suharto tumbang oleh badai reformasi yang digalang mahasiswa. Menurut koran The Boston Globe, Suharto merupakan rejim pertama yang tergusur dari kekuasaan akibat kedigdayaan Internet. Saat itu milis apakabar@clark.net menjadi bacaan wajib kaum reformis, ketika media arus utama dibungkam.

Sebelumnya, Shah Iran tumbang akibat penyebaran pesan-pesan Ayatolah Khomeini melalui kaset dan sesudahnya, Joseph Estrada di Filipina roboh akibat konsolidasi demo besar-besaran melalui sms di telepon genggam.

Walau yang ditumbangkan bukan berstatus sebagai presiden, kita kini menjadi saksi dan barangkali juga pelaku cause ketika Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah dan Prita Mulyasari mampu memperoleh kemenangan dalam perkara hukumnya. Kemenangan itu antara lain berkat peran media sosial yang masif : blog dan Facebook.

Sementara di latar belakang yang buram kini, nampak potret sepakbola Indonesia yang kepalanya terpenggal pedang kegagalan di ajang SEA Games Laos 2009. Juga ambrol ambisinya untuk bisa ikut final Piala Asia 2011. Salah satu pimpinan PSSI, Rahim Sukasah, berkilah dengan mengatakan dalam wawancara di Kompas bahwa “walau dipimpin oleh malaikat pun, sepakbola Indonesia tak mampu berjaya.”

Terima kasih, Rahim Sukasah.
Kata saya : “Dipimpin malaikat saja tak akan berhasil, apalagi oleh setan ?”

Sepakbola Indonesia harus direvolusi.

Rejim yang sekarang ini bercokol di Senayan, sudah saatnya pergi. “You say you want a revolution,” demikian lirik lagu “Revolution” (1968) dari The Beatles. “Well you know ; we all want to change the world.”

Untuk berhasil mengubah dunia, semua revolusi itu harus dimulai dari kepala. Meminjam dari judul bukunya Ian MacDonald, Revolution in the Head: The Beatles' Records and the Sixties (2005), yang mengupas isi lirik-lirik lagu karya The Fabulous Four tersebut.

Untuk konteks sepakbola Indonesia, revolusi itu harus meledak dari kepala-kepala Anda yang merasa sebagai pemangku kepentingan kejayaan (kembali) sepakbola Indonesia.

Ledakkan ide-ide Anda. Bersuaralah terus. Gunakan media-media sosial sedahsyat mungkin. Utamanya dengan bersumber pada kebencian terkait mandegnya prestasi sepakbola kita dipentas dunia. Camkan selalu ujaran novelis, penyair dan dramawan Perancis Jean Genet (1910–1986) :

“What we need is hatred.
From it our ideas are born.“


Wonogiri, 1 Februari 2010

Labels: , , , , , , , ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates