Revolution in the Head : The Beatles, PSSI dan Kita
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
The 1966 World Cup 1966 :
“…the entire world humming Beatles tunes, the eight World Cup got underway.”
The 1966 World Cup 1970 :
“The world lost its music : the Beatles broke up, due to an overdose of success, and due to an overdose of drugs guitarist Jimi Hendrix and singer Janis Joplin took their leave.”
Petikan dari isi buku Football in Sun and Shadow.
Buku sepakbola yang indah.
Buku karya novelis Uruguay itu, Eduardo Galeano, terbit tahun 2003. Buku ini hadiah dari sineas dan evangelis sepakbola Indonesia, Andi Bachtiar Yusuf. Saya terima lewat istrinya, mBak Tika, 29 Maret 2006, di “Piccadily Circus” (proliman), bukan di London tetapi di Sukoharjo.
Untuk menulis buku setebal 226 halaman itu, setelah saya hitung-hitung terdapat 152 rujukan. Sebagian besar berupa buku dan belasan lainnya dari artikel, baik surat kabar dan majalah. Terdapat rujukan dari The Comedy of Errors dan King Lear, dua naskah drama William Shakespeare, buku karya antropolog Desmond Morris, The Soccer Tribe (1981), sampai buku tentang holiganisme Bill Bufford, Among the Thugs (1992).
Rujukan-rujukan itu benar-benar telah memperkaya konteks cerita tentang sesuatu peristiwa sepakbola. Dalam buku ini pun, misalnya, Indonesia juga masuk dalam cerita tentang peristiwa sepakbola dunia. Yaitu terkait Piala Dunia tahun 1938, 1966 dan 1998.
Tahun yang pertama, Indonesia bisa ikut Piala Dunia 1938 di Paris tetapi masih berada dalam kungkungan penjajah Belanda. Selain kedua tahun sisa itu, yaitu tahun-tahun penyelenggaraan Piala Dunia sampai Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan nanti, tak ada lagi cerita tentang sepakbola Indonesia di dalamnya.
Tetapi terkait Piala Dunia 1966 itu Galeano telah menulis : “the military were bathing Indonesia in blood, half a million, a million dead, who knows how many, and General Suharto was inaugurating his long dictatorship by murdering the few reds, pinks or questionables still alive.”
Tahun 1998, ia menulis lagi tentang Suharto. “Asian stock markets lay prostrate, as did the long dictatorship of Suharto in Indonesia, emptied of power even while his pocket remained heavy with the sixteen billion dollars power had placed there.“
Suharto tumbang oleh badai reformasi yang digalang mahasiswa. Menurut koran The Boston Globe, Suharto merupakan rejim pertama yang tergusur dari kekuasaan akibat kedigdayaan Internet. Saat itu milis apakabar@clark.net menjadi bacaan wajib kaum reformis, ketika media arus utama dibungkam.
Sebelumnya, Shah Iran tumbang akibat penyebaran pesan-pesan Ayatolah Khomeini melalui kaset dan sesudahnya, Joseph Estrada di Filipina roboh akibat konsolidasi demo besar-besaran melalui sms di telepon genggam.
Walau yang ditumbangkan bukan berstatus sebagai presiden, kita kini menjadi saksi dan barangkali juga pelaku cause ketika Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah dan Prita Mulyasari mampu memperoleh kemenangan dalam perkara hukumnya. Kemenangan itu antara lain berkat peran media sosial yang masif : blog dan Facebook.
Sementara di latar belakang yang buram kini, nampak potret sepakbola Indonesia yang kepalanya terpenggal pedang kegagalan di ajang SEA Games Laos 2009. Juga ambrol ambisinya untuk bisa ikut final Piala Asia 2011. Salah satu pimpinan PSSI, Rahim Sukasah, berkilah dengan mengatakan dalam wawancara di Kompas bahwa “walau dipimpin oleh malaikat pun, sepakbola Indonesia tak mampu berjaya.”
Terima kasih, Rahim Sukasah.
Kata saya : “Dipimpin malaikat saja tak akan berhasil, apalagi oleh setan ?”
Sepakbola Indonesia harus direvolusi.
Rejim yang sekarang ini bercokol di Senayan, sudah saatnya pergi. “You say you want a revolution,” demikian lirik lagu “Revolution” (1968) dari The Beatles. “Well you know ; we all want to change the world.”
Untuk berhasil mengubah dunia, semua revolusi itu harus dimulai dari kepala. Meminjam dari judul bukunya Ian MacDonald, Revolution in the Head: The Beatles' Records and the Sixties (2005), yang mengupas isi lirik-lirik lagu karya The Fabulous Four tersebut.
Untuk konteks sepakbola Indonesia, revolusi itu harus meledak dari kepala-kepala Anda yang merasa sebagai pemangku kepentingan kejayaan (kembali) sepakbola Indonesia.
Ledakkan ide-ide Anda. Bersuaralah terus. Gunakan media-media sosial sedahsyat mungkin. Utamanya dengan bersumber pada kebencian terkait mandegnya prestasi sepakbola kita dipentas dunia. Camkan selalu ujaran novelis, penyair dan dramawan Perancis Jean Genet (1910–1986) :
“What we need is hatred.
From it our ideas are born.“
Wonogiri, 1 Februari 2010
Labels: andybachtiar yusuf, bambang haryanto, jean genet, nurdin halid dan kroninya, rahim sukasah, revolusi pssi, revolution, suporter indonesia, the beatles