Ora Nonton Piala Dunia, Ora Pateken !
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Galilah sumur sebelum haus.
Sukses masa lalu pegangan jelek sukses masa depan.
Kedua nasehat mulia itu saya abaikan.
Dampaknya, hari-hari ini saya terkena hukumannya : sebagai penggemar sepakbola tetapi tidak bisa menonton helat akbar Piala Dunia 2010 Afrika Selatan itu pula.
Nasehat pertama itu merupakan pepatah Cina. Terkait Piala Dunia 2010, jauh-jauh hari saya tidak menggali sumur itu terlebih dahulu. Saya abai terhadap realitas bahwa akses siaran televisi dari kota saya, Wonogiri, memiliki kendala yang kronis. Masuk area blank spot. Karena topografi Wonogiri kota yang terkepung gunung, membuat akses siaran itu mengalami kendala berat.
Selama ini, entah mengapa, pemerintah daerah tak hirau akan hal itu. Mereka nampak tidak ada prakarsa untuk misalnya, mendesak fihak televisi swasta agar membangun pemancar penguat di gunung-gunung sekitar pusat Kota Gaplek ini. Kemungkinan lain, karena rakyat sudah dianggap mampu menemukan solusinya sendiri : dengan memakai jasa operator televisi kabel lokal.
Operator televisi kabel ini oleh bos media raksasa Rupert Murdoch disebut sebagai splendid entrepreneur. Lima tahun lalu saya telah menulis surat pembaca, tentang hal itu seperti di bawah ini :
Murdoch vs SCTV dan TV7
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Jumat, 23 Desember 2005
Berita majalah Gatra (8/10/2005) mengenai kiprah raja media Rupert Murdoch memiliki sebagian saham televisi swasta AnTV, mengingatkan kiat bisnisnya yang unik. Seperti diceritakan oleh majalah Business Week (6/3/1995) saat siaran televisi satelitnya Star TV dicuri oleh penduduk di India dan dijual kembali melalui jaringan kabel, Murdoch justru membiarkan hal itu.
Para pencuri siarannya tersebut justru ia sebut sebagai wiraswastawan yang cerdas, splendid entrepreneur. Karena dengan semakin meluasnya jangkauan siaran bagi Star TV membuka peluang Murdoch untuk menaikkan biaya pemasangan iklan di stasiunnya tersebut.
Kiat cerdas Murdoch itu di dalam negeri justru disingkiri oleh stasiun televisi SCTV dan TV 7 yang masing-masing memiliki hak eksklusif dalam menyiarkan Piala Dunia Sepakbola 2006 dan Liga Inggris. Seperti di daerah saya, yang topografinya terkepung pegunungan membuat sebagian besar siaran televisi nasional sulit masuk. Termasuk SCTV dan TV 7.
Kami sedikit berlega hati ketika muncul wiraswastawan cerdas yang membisniskan siaran satelit seperti yang disebut Rupert Murdoch. Dengan biaya ringan, tiap rumah tangga kini dapat lebih jelas menonton televisi lewat jaringan kabel. Tetapi untuk acara sepakbola pada kedua stasiun tersebut telah dilakukan pengacakan, yang membuat kami tidak bisa menonton Liga Inggris dan terancam besar kemungkinan tidak bisa nonton Piala Dunia 2006 nanti.
Bisakah kedua stasiun televisi tersebut segera membangun stasiun penguat sehingga membuka akses warga kota kami untuk bisa nonton siaran sepakbola yang mereka pancarkan ?
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Syukurlah, siaran Piala Dunia 2006 Jerman di Wonogiri saat itu bisa terakses melalui jasa operator televisi kabel lokal. Dari awal sampai saat Italia berjaya sebagai juara. Tetapi sukses di masa lalu itu, ternyata kemungkinan tidak terulang pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kali ini. Gelagatnya sudah tercium sejak hari pertama Piala Dunia 2010 digulirkan.
Pathet Lao. Pada pertandingan pertama, Afrika Selatan-Mexico (11/6/2010), saluran RCTI dan GlobalTV blank, kosong melompong. Syukurlah, di terminal angkot Wonogiri ada siaran nonton bareng yang diselenggarakan Supermi. Saya ikut menonton bersama ribuan warga Wonogiri. Saat pulang, tetangga saya mengeluarkan pesawat televisi di halaman rumah dan ditunggui beberapa orang. Di Bauresan, ada poskamling dengan pesawat televisi, juga diminati warga sekitar.
Apakah sudah normal siaran sepakbolanya ? Betul juga rupanya. Dalam pertandingan kedua, dini hari, Uruguay vs Perancis (12/6/2010), siaran itu telah hadir. Tetapi yang muncul di layar televisi Wonogiri adalah TV3 Laos. Tulisan yang muncul di layar seperti huruf Palawa atau huruf Jawa. Saya saat itu tergoda untuk merasa sebagai warga negara Laos ketimbang sebagai warga negara Republik Indonesia. Apa boleh buat !
Satu-dua hari kemudian, televisi Laos itu terus saja muncul, membuat saya terpercik ide : ingin mempelajari istilah-istilah pertandingan sepakbola dalam bahasa dari negeri pemilik gerakan Pathet Lao dukungan Vietnam Utara yang berkuasa di Laos sejak 1975 itu. Rasanya ingin pula bisa berteriak dalam bahasa Laos ketika favorit saya Jerman (14/6), berkat gol-gol dari Podolsky, Klose, Muller dan Cacau, telah menekuk Australia 4-0.
Tetapi sedih juga, karena Australia itu separo mewakili Asia dan menyingkirkan Indonesia dalam babak kualifikasi. Tim Cahill yang dapat kartu merah benar-benar tak berkutik di kaki anak-anak negeri asal Franz Beckenbauer yang oleh Henry Kissinger dijuluki sebagai The Emperor of Soccer, Sang Kaisar Sepakbola, ketika berlangsung Piala Dunia 2006 di Jerman.
Kejutan terjadi di dini hari, saat tayangan Korea Utara yang dengan gagah berani dan ulet melawan Brasil (16/6) walau kalah 1-2. Karena saat itu di layar telah muncul siaran dari RCTI. Ada rasa lega, ada harapan bahwa hari-hari ke depan siaran seperti Piala Dunia 2006 akan berlangsung lancar dan normal.
Karena sehari sebelumnya, saat Selandia Baru vs Slowakia, saluran dari Laos itu malah menghilang. Digantikan sajian siaran dengan logo "MRTV," yang dari iklannya sepertinya saluran itu dari negeri Burma. Tayangannya pun hitam putih. Dini hari (17/6), tidur saya kebablasan. Tidak menonton tuan rumah Afrika Selatan saat dibantai Diego Forlan dkk. dengan 3 gol tanpa balas. .
Berkah terselubung. Tuan rumah Afrika Selatan yang kesakitan didera kekalahan itu mengingatkan saya akan artikel yang ditulis kolumnis sepakbola Rayana Djakasurya di majalah Esquire edisi Indonesia, terbitan Juni 2010. Pada majalah yang sama, pada artikel tentang epidemi kerusuhan suporter di Indonesia yang berjudul "Menghapus Noda Merah," halaman 144-147, pendapat saya yang masih pendapat lama dan klise tentang situasi mutakhir dunia suporter sepakbola Indonesia dimuat. Nama saya disebut tiga kali :-)
Edisi itu lalu saya komentari isinya dan saya kirimkan kepada Syarief Hidayatullah, Junior Editor. Tak sangka, ia malah menawari saya 'pekerjaan' sebagai komentator kritis untuk tiap-tiap terbitan Esquire Indonesia.
Untuk itu ia akan mengirimi majalah tersebut secara gratis setiap bulannya. Dan bahkan -bila saya sempat- Syarief pun mengajak saya untuk bisa ngopi pagi di Jakarta, guna membicarakan majalah ini, dan topik terkait lainnya. Balasan semacam ini merupakan kehormatan, karena sebenarnya majalah ini sudah sangat bagus sajiannya. Well, mungkinkah itu berkah terselubung bagi saya dari Piala Dunia ?
Bagi saya, edisi Juni itu merupakan sebagai edisi encounters of the third kinds bagi minat saya. Karena, antara lain, meliput tiga topik yang saya sukai. Antara lain, tentang komedi, dengan sajian profil dan wawancara mendalam dengan Tina Fey, komediene top AS yang kelahiran 18 Mei 1970. Kemudian topik teknologi informasi, ada profil Onno W. Purbo dan ulasan menguak eforia digitalisasi media yang menderu-deru di Indonesia saat ini.
Dan tentu saja, tentang sepakbola. Selain reuni dengan sobat saya yang pencinta sepakbola dan sineas Andibachtiar Yusuf yang terpilih sebagai salah satu dari 10 best dressed real men 2010 dengan foto kerennya terpajang di edisi itu pula, hadir pula Rayana Djakasurya dengan judul tulisan "Mimpi Menjadi Tuan Rumah." Bung Ray ini seolah menertawakan impian, tegasnya (menurut saya sebagai) tipuan kehumasan, yang dilakukan oleh para petinggi organisasi sepakbola Indonesia ketika berambisi mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Sambil mengutip peringkat timnas kita yang kini hanya mampu pada posisi 135 Ranking FIFA, ia pun menyeletuk : "Jika tim nasional Garuda kalah dengan angka lima belas gol tanpa balas, hal ini akan menjadi masalah besar dan kutukan yang bisa saja diberikan FIFA."
Merujuk kekalahan tuan rumah Afrika Selatan, saya menerawang : untuk tiga kali pertandingan di babak penyisihan, bisa jadi Indonesia akan mengalami kebobolan 45 gol tanpa balas di ajang seakbar Piala Dunia. Lalu saya ingat obrolan dengan Ponaryo Astaman, 6 November 2006 di Solo, bahwa pemain sepakbola Indonesia tidak pernah di-drill peraturan yang baku dan benar dalam bermain sepakbola.
Yang terjadi kemudian betapa para pemain sepakbola kita mematuhi dan menghayati peraturan hanya dijalani dengan proses trial and error belaka. Keadaan kronis ini, bila dinilai secara sarkastis, berpeluang menimbulkan konsekuensi di mana 13 dari 11 pemain kita mudah terancam memperoleh kartu merah dalam laga internasional. Sementara kartu merah lainnya ekstra untuk para pengurus dan kemudian juga bagi suporternya !
Dampak neo-liberalisme ? Hari suram Piala Dunia 2010 di Wonogiri akhirnya tiba. Tanggal 17 Juni 2010, sore hari hari muncul telop di layar televisi. Inti pengumuman itu : "Karena memperoleh larangan dari fihak yang berwenang, terpaksa siaran Piala Dunia tidak bisa kami tayangkan."
Anda mungkin tahu bahwa pemegang lisensi Piala Dunia 2010 Afrika Selatan ini adalah PT Electronic City Entertainment. Perusahaan ini lalu menunjuk PT Dunia Digital secara eksklusif sebagai pemegang hak siaran satelit dan televisi kabel. Jadi konsumen yang daerahnya termasuk blank spot seperti Wonogiri, harus membeli antene penerima merek Matrix Bola dari PT Dunia Digital itu.
Sementara perusahaan itu juga menegaskan tidak bekerja sama dengan perusahaan televisi kabel mana pun dalam redistribusi siaran 2010 FIFA WORLD CUP SOUTH AFRICA itu. Mereka nampak tidak main-main.
Di Makasar, Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri) telah melakukan razia dan penyegelan terhadap PT Prima Vision, sebuah perusahaan TV berlangganan di Makassar. Penyegelan dilakukan karena perusahaan milik Waris Halid ["saudara Nurdin Halid ?"- BH] tersebut diduga melakukan siaran langsung Piala Dunia 2010 secara ilegal. Menyiarkan tanpa ijin, operator televisi kabel dapat didenda sebesar lima milyar.
Kontrak dagang semacam itu yang oleh sebagian orang dapat disebut sebagai perwujudan mazhab ekonomi neo-liberalisme, kemudian membuat sebagian warga rendahan di Wonogiri, juga tak sedikit di bagian dari Tanah Air ini, menjadi mundur untuk kembali memasuki era kegelapan. Istilah "dunia digital" yang bagi saya mudah mengingatkan buku Being Digital (1995) karya nabi media digital Nicholas Negroponte dari Media Lab, MIT, yang bermakna pembebasan, di Indonesia menyiratkan hal sebaliknya.
Ia bilang, "The global nature of the digital world increasingly erode former and smaller demarcations," yang menegaskan betapa dalam dunia digital ini lalu lintas informasi tak ada lagi batas-batasnya. Demikian pula istilah digital selalu berkonotasikan sebagai keadaan di mana sajian informasi serba berkelimpahan, karena unsurnya semata berasal dari butir-butir pasir, quartz, yang melimpah di bumi ini.
Seturut pemikiran besar itu maka dalam laporan majalah Business Week (6/3/1995) dengan judul "The Technology Paradox," dinyatakan bahwa produk-produk teknologi tinggi sekarang ini merupakan produk-produk murahan. Agar laku sebaiknya justru harus diobral murah, karena semakin banyak yang memakai akan semakin bernilai. Kemudian produsennya justru berpeluang menangguk untung jauh lebih besar dengan model bisnis yang lebih canggih lagi. Sekedar contoh, telepon seluler dijual murah, sementara untung ditangguk dari penjualan pulsa !
PT Dunia Digital nampak belum canggih dalam mengelola model bisnis mutakhir itu.Mereka ibarat penjual kelontong, ingin dagangannya cepat-cepat laku. Tidak ada niatan menjaga loyalitas konsumen dalam jangka panjang. Mereka hanya berkonsentrasi untuk menjual pelat-pelat besi dan sinyal-sinyal listrik belaka. Bahkan merek dagang mereka itu justru menyiratkan makna sebaliknya, dengan dampak mengakibatkan warga yang sudah papa dan paling butuh hiburan ternyata tidak semuanya memiliki akses terhadap informasi terkait pesta yang berlabel sebagai piala dunia itu.
Begitulah, barangkali nama-nama dan merek di atas itu mungkin akan sulit kami lupakan. Yang pasti : sukses dan kegembiraan warga biasa di Wonogiri yang bisa menonton siaran Piala Dunia 2006 sepertinya tidak terjadi lagi di tahun 2010 ini.
Nasehat The Rolling Stones. Untuk mencoba mencari solusi, saya telah menulis untuk wall di Facebook, mengirimkannya sebagai message ke Arief Suditomo, Putra Nababan ("gagal"), Y.A. Sunyoto (Pemred Harian Solopos), Restu Santoso (wartawan olahraga koran Seputar Indonesia), Arista Budiyono (suporter dan pengelola situs suporter.info, yang langsung ia pajang !), Broto Happy W. (wartawan Tabloid BOLA), juga Triyanto Hery Suryanto yang pengurus Persiwi Wonogiri dan wartawan koran Solopos. Malam harinya, juga saya kirimkan ke RCTI.
Selain itu saya juga sms ke kandidat calon bupati Wonogiri. Ada dua tokoh. Tokoh pertama, langsung merespons agar saya mencari solusi dan kemudian meminta solusi itu dibincangkan bersama dirinya. Untuk itu kemudian saya mengirimkan email ke PT Dunia Digital untuk minta informasi syarat redistribusi siaran 2010 FIFA World Cup South Africa. SMS untuk kandidat calon bupati Wonogiri yang kedua, saya kirimkan melalui kalangan yang dekat dengan dirinya. Sampai saat artikel ini ditulis (18/6), belum ada kabar kelanjutan.
Galilah sumur sebelum haus.
Saya dan juga warga kota saya, tidak melakukannya.
Tetapi, sudahlah.
Dari pelbagai ikhtiar kecil tersebut di atas, syukurlah saya sudah bersiap untuk mengantisipasi hal terburuk untuk terjadi. Yaitu : tidak bisa memperoleh akses siaran langsung Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kali ini.Lagu topnya Mick Jagger dan kawan-kawan, "You Can't Always Get What You Want," sudah mulai saya putar-putar di rongga kepala ini.
Toh hidup harus terus berjalan. Saya yakin, saya tidak sendirian. Apalagi sebelumnya saya memperoleh email dari rekan saya di Melbourne, Lasma Siregar, berisi cerita tentang jutaan warga Bangladesh yang tak nyaman menonton Piala Dunia 2010. Karena persediaan tenaga listrik negaranya yang cumpen, terbatas.
Tulis Lasma Siregar : "Saat tim kesayangan mereka lagi seru-serunya bermain bola dan kian mendekat kearah gawang lawannya, mendadak lampu padam! Ya ngamuklah para penggila sepakbola dan menyerbu kantor semacam PLN-nya Bangladesh! Mereka diancam kalau terus-terusan begini, 'tahu sendiri-lah !'"
Syukurlah, sejauh ini, tidak ada amuk massa di Wonogiri. Walau konon pernah ada kajian bahwa pesta Piala Dunia mampu menurunkan tingkat tindak kriminalitas, saya tidak tahu apakah akan hadir dampak sebaliknya ketika Piala Dunia 2010 secara praktis memang telah berakhir di Wonogiri ini.
Tiba-tiba saya menjadi ingat Pak Harto. Ucapan khas Pak Harto, yang pernah besar pula di Wonogiri, mungkin dapat dijadikan sebagai terapi rasa kecewa sekadarnya bagi warga kota ini. Kata-kata Pak Harto sebelum lengser 21 Mei 1998 itu kiranya bisa juga saya gunakan untuk meledeki nasib diri sendiri terkait Piala Dunia 2010 kali ini.
Sambil tetap saja dengan tertawa-tawa. Tawa orang yang getol sepakbola tetapi saat Piala Dunia 2010 saat ini harus berusaha hidup tanpa Piala Dunia.
"Ora nonton Piala Dunia, ora pateken !"
Wonogiri, 18 Juni 2010
Labels: bambang haryanto, blank spot, diacak, esquire indonesia, globaltv, rupert murdoch, sepakbola indonesia, siaran piala dunia 2010, splendid entrepreneur, syarief hidayatullah, televisi kabel, wonogiri